Perjuangan Jurnalis yang Menjadi Ibu Menyusui
Kisah wartawan Regina Rukmorini yang jungkir balik memenuhi hak anaknya akan air susu ibu, sembari terus menjalankan tugasnya sebagai jurnalis. Komitmennya memberikan ASI eksklusif diuji saat liputan Borobudur Marathon.
Sebagai wartawan yang bertugas di Magelang, Jawa Tengah, event Borobudur Marathon menjadi agenda liputan rutin tahunan. Liputan ini tidak sekadar memberi pelajaran kepada saya tentang bagaimana meliput kompetisi lari secara keseluruhan, ajang ini juga memberi pelajaran dan pengalaman bagaimana menjalani pekerjaan jurnalistik sembari menjadi ibu menyusui.
Tahun 2017 adalah tahun pertama harian Kompas turut menjadi penyelenggara Borobudur Marathon bersama Bank Jateng. Saat itu, harian Kompas menurunkan tim peliput yang terdiri atas empat wartawan, termasuk saya.
Kami meliput acara ini mulai dari persiapan lomba hingga pengumuman pemenang. Ketika itu, Borobudur Marathon diselenggarakan hari Minggu, 19 November 2017.
Sesuai pembagian tugas, setiap reporter harus melakukan live report sejak para pelari mulai berdatangan ke kompleks Taman Wisata Candi Borobudur hingga perkembangan persiapan panitia. Semuanya dimulai pukul 02.00.
Mempertimbangkan waktu liputan yang dimulai demikian pagi, kami pun diwajibkan untuk menginap di homestay milik Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Borobudur, sejak Sabtu malam.
Bagi saya pribadi, persiapan liputan sudah dilakukan sejak Sabtu sore, yakni sejak saya mengerjakan tugas liputan dan menyelesaikan tulisan hingga sekitar pukul 18.00.
Setelah itu, menjalani kewajiban setiap hari, yakni memerah ASI untuk anak saya yang ketika itu masih berumur 4,5 bulan. Seusai perah, saya tidak tega untuk langsung berangkat dan memilih baru pergi setelah menidurkannya terlebih dahulu.
Saya meluncur sekitar pukul 21.00 untuk menuju balkondes yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumah. Di perjalanan, saya mampir untuk mengisi bahan bakar kendaraan, makan malam di warung tepi jalan serta ke toko di sekitar kawasan Borobudur untuk membeli minum dan titipan lain dari teman liputan.
Baca juga : Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Saya sampai di kamar homestay sekitar pukul 22.00. Teman sekamar saya, sesama wartawan Kompas, Karina Isna Irawan, kemudian mengingatkan, kami akan dijemput tukang ojek tepat pukul 02.00. Tukang ojek inilah yang akan membawa tiap reporter berkeliling, termasuk memantau pelari di sepanjang rute perjalanan.
Waktu yang tersisa tinggal sedikit. Sayangnya, saya tidak bisa langsung pergi tidur karena masih harus mencari es batu untuk pendingin botol penampung ASI perah saya. Kamar yang saya tempati dilengkapi kulkas, tetapi tidak ada freezer.
Selain homestay, balkondes juga memiliki fasilitas restoran, yang untungnya ketika itu buka 24 jam dan menyediakan es batu. Saya baru bisa tidur pukul 23.00 setelah memompa dan mendapatkan dua botol ASI yang kemudian saya simpan di dalam kulkas.
Saya sudah bangun lagi pukul 01.30. Dengan kondisi terburu-buru karena khawatir sudah dijemput tukang ojek, saya hanya bisa memompa hingga takaran 1,5 botol saja. Saya kembali membeli banyak es batu untuk mendinginkan botol-botol ASI di dalam kulkas. Tak berapa lama, tukang ojek pun datang menjemput.
Tujuan pertama adalah ke arena titik start. Setelah melaporkan semua persiapan, baik yang dilakukan panitia maupun pelari, semua reporter segera bersiap bersama tukang ojek masing-masing untuk menyusuri rute lari.
Baca juga : Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Segera setelah aba-aba start dimulai, kami pun langsung menyebar. Sejumlah pelari tampak melesat jauh bahkan mendahului kami yang bersepeda motor. Saya berupaya mengambil sebanyak mungkin video dan foto serta mengirimkan berita-berita singkat untuk menggambarkan detail perjalanan pelari. Termasuk laporan tentang sambutan atau cheering meriah warga sekitar untuk para pelari.
Setelah merasa cukup, sebagian reporter, termasuk saya, bergeser kembali ke area candi untuk memantau pelari yang akan segera mencapai garis finis.
Sekitar pukul 12.00, saya sudah harus berkeliling mencari pelari-pelari dengan karakter unik untuk diwawancara. Karakter unik yang dimaksud adalah pelari dengan usia sangat tua, anak-anak, pelari yang merupakan tokoh publik seperti artis, atau pelari dengan kondisi khusus, misalnya hamil.
Hari semakin siang dan saya pun kian cemas. Dada sudah semakin terasa berat. Seorang teman yang berpapasan mulai mengingatkan saya soal bagian depan baju yang mulai basah karena ASI yang merembes keluar. Sembari menutupinya, saya berusaha terus mengontak tukang ojek agar bisa secepatnya kembali pulang ke penginapan untuk memompa ASI.
Baca juga : Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Sampai di kamar, saya langsung bergerak secepat kilat untuk memompa ASI. Sembari memompa, saya pun terus berpikir bagaimana cara mengirimkan botol-botol ASI ini supaya bisa segera sampai di rumah. Es batu, cooler bag, dan kulkas tanpa freezer tentunya tidak mampu membuat stok ASI bertahan lama.
Saya pun bertambah panik karena tak berapa lama suami menelepon, mengabarkan stok ASI di rumah tinggal tiga botol dan saya bisa pulang jam berapa.
Kami tidak punya pembantu sehingga saat stok ASI menipis, suami tidak bisa serta-merta meninggalkan rumah untuk menjemput stok baru. Saya kemudian mengontak teman saya, pelari asal Semarang yang ikut dalam lomba ini.
Saya hendak menitipkan botol ASI untuk diantar ke rumah dalam perjalanannya pulang. Namun, ternyata, teman saya itu menumpang mobil temannya bersama para pelari lain. Mereka belum akan langsung pulang ke Semarang karena pemilik mobil menghendaki jalan-jalan terlebih dahulu.
Tidak ada jalan lain, anak saya pun terpaksa dititipkan ke tetangga, sementara suami saya berangkat mengambil stok ASI. Namun, karena harus menunggu tetangga pulang bepergian, suami baru bisa pergi mengambil botol ASI dua jam kemudian, sekitar pukul 15.00.
Baca juga : Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Dia kembali ke rumah dengan membawa 5,5 botol ASI. Sembari menunggu kedatangan suami, saya mengetik berita sambil makan siang di restoran balkondes.
Saya lega karena satu masalah berhasil teratasi sehingga saya bisa kembali konsentrasi mengetik berita. Mengetik berita untuk kegiatan ini tidaklah sekejap. Kami harus menggabungkan tulisan dari beberapa teman sehingga harus menunggu satu sama lain.
Di tengah-tengah kesibukan tersebut, kami menerima informasi bahwa kami harus berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti rapat setelah pekerjaan mengetik selesai. Sekitar pukul 18.30, kami pun meluncur ke ”Kota Gudeg” setelah menyelesaikan tulisan dan makan malam.
Dalam kondisi kurang tidur, saya merasa tidak sanggup menyetir sendiri. Terlebih, sebenarnya saya merasa galau karena ingin segera kembali pulang ke Magelang. Saya kemudian menumpang mobil teman agar hemat tenaga saat harus kembali ke Magelang.
Baca juga : Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Rapat dimulai pukul 20.00 dan baru berakhir tiga jam kemudian. Oleh karena suami mengabarkan bahwa kondisi anak baik-baik saja dan stok ASI diperkirakan cukup, saya pun memutuskan untuk menginap di Yogyakarta. Sebelum tidur, seperti biasa, saya memompa ASI terlebih dahulu.
Saya tidur sekitar pukul 00.00. Namun, sekitar pukul 02.30, suami menelepon dengan nada suara panik dengan latar belakang suara tangis anak kami. Tanpa harus mendengarkan penjelasan panjang lebar, saya tahu harus pulang saat itu juga. Saya pun bergegas mengemasi baju, check out dari hotel, dan memesan kendaraan dengan aplikasi di ponsel.
Saya kembali ke penginapan di Borobudur karena kendaraan masih terparkir di sana. Setelah mengemasi barang-barang di penginapan, saya segera memacu gas kembali ke rumah. Perjalanan berlangsung tenang tanpa gangguan telepon.
Setelah sampai rumah sekitar pukul 07.30, ternyata anak dan suami sedang tidur. Setelah suami bangun, barulah saya tahu bahwa ketika saya ditelepon pada pukul 02.30, anak saya rewel sementara stok ASI habis. Oleh karena masih terus rewel dan kami tidak memiliki stok susu kemasan, anak saya lalu diberi minum air hangat dan terus digendong, sampai akhirnya satu jam kemudian tertidur.
Perjalanan selanjutnya sebagai ibu menyusui tetap tidak mudah. Sekitar seminggu kemudian—mungkin salah satunya karena tekanan situasi saat liputan Borobudur Marathon—produksi ASI saya terus merosot, bahkan sempat stop, sampai akhirnya anak saya terpaksa mengonsumsi susu kemasan selama dua minggu.
Baca juga : Berdamai dengan Darah Korban Kecelakaan
Namun, selama itu pula, saya intens konsultasi ke dokter dan melakukan program relaktasi. Saya juga banyak minum vitamin dan makan sebanyak mungkin sayuran setiap hari.
Syukurlah, produksi ASI saya kemudian kembali seperti semula. Setelah anak berumur enam bulan, saya relakan dia minum susu formula. Namun, saya usahakan untuk tetap menyiapkan stok ASI dan sebisa mungkin pulang ke rumah siang hari untuk menyusuinya.
Mungkin, kesalahan yang memicu terjadinya ”keruwetan ” saat Borobudur Marathon adalah karena saya tidak menyiapkan stok ASI yang cukup sebelum masa cuti melahirkan saya berakhir pada Oktober 2017.
Hal ini karena selain produksi ASI saya yang memang tidak terlalu banyak, saya juga ingin memberikan ASI yang lebih segar, bukan stok berbulan-bulan sebelumnya.
Namun, setidaknya Borobudur Marathon telah memberi saya pelajaran, menjadi ibu bekerja tidaklah gampang. Acara itu juga membuat saya menghayati bahwa seorang ibu harus selalu siaga menghadapi berbagai kondisi, yang terburuk sekalipun.
Semoga para ibu tetap tangguh setiap waktu….