Kesaksian Jakob Oetama yang Banyak Terlupakan
Kesaksian Jakob Oetama dalam perkara gugatan pencabutan SIUPP majalah Tempo, jarang diungkap ke publik. Salah satunya, karena sensitivitas relasi pers dengan pemerintah Orde Baru kala itu
Ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 9 Maret 1995 dipenuhi hadirin, terutama para wartawan. Maklum, sidang PTUN hari itu akan mendengarkan keterangan Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Harian "Kompas", yang juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers.
Kesaksian Pak Jakob sangat penting karena akan mengungkap bagaimana sikap Dewan Pers terhadap pembredelan majalah Tempo, waktu itu bersama tabloid Detik dan majalah Editor. Apakah Dewan Pers sejalan dengan sikap pemerintah yang membredel Tempo, Editor dan Detik? Atau sebaliknya, berseberangan sisi dengan pemerintah?
Buku "Pers Terjebak" yang ditulis Yazuo Hanazaki, terbitan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) 1998, banyak mengulas soal kesaksian Jakob Oetama ini. Setidaknya tiga halaman buku tersebut, mulai halaman 172 hingga 174, mendeskripsikan detail proses persidangan PTUN ini, termasuk inti kesaksian Pak Jakob.
Bab tentang sidang gugatan Tempo ini diawali kesaksian Pemimpin Umum Tempo Goenawan Mohamad pada 9 Februari 1995. Menurut kesaksian Goenawan, Menteri Penerangan Harmoko (waktu itu), membatalkan SIUPP Tempo tanpa berkonsultasi dengan Dewan Pers.
Setelah Goenawan, pada 23 Februari 1995 giliran anggota Dewan Pers Sjamsul Basri didengar keterangannya dalam sidang. Sjamsul yang ketika itu Pemimpin Redaksi "Suara Karya" memberi kesaksian bahwa dia tidak pernah diberi informasi tentang rencana pencabutan SIUPP Tempo.
Dia mengatakan, pada pertemuan 14 Juni 1994, Dewan Pers setuju dengan Menpen bahwa Menteri seharusnya menindak penerbitan yang "bandel". Namun, Dewan Pers mengusulkan agar tindakan yang diambil tetap persuasif.
Jakob Oetama dijadwalkan bersaksi pada 9 Maret 1995. Hanazaki menulis, Menpen telah menekan Pak Jakob agar tidak memberikan kesaksian. Independen, tabloid Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi jurnalis yang saat itu belum diakui Orde Baru, menulis bahwa Sudirwan, Direktur Pembinaan Wartawan di Direktorat Jenderal Pers dan Grafika, meminta Pak Jakob keluar kota untuk menghindari kewajiban bersaksi.
Sesuai fakta
Faktanya, Pak Jakob hadir pada sidang PTUN pada 9 Maret 1995. Artinya, andai benar Harmoko dan Sudirwan meminta Pak Jakob tidak hadir, jelas imbauan itu diabaikan. Dalam kesaksiannya, Pak Jakob juga menguatkan keterangan Sjamsul Basri.
Pak Jakob mengungkapkan, Dewan Pers bertemu dua kali, yakni pada 14 dan 21 Juli 1994, setelah Presiden (waktu itu) Soeharto berpidato (9 Juni) di Teluk Ratai, Sumatera Selatan. Dalam kesaksiannya, pada pertemuan 14 Juni, Dewan Pers menyatakan lebih dari 10 penerbitan dianggap "bermasalah".
Usul Dewan Pers saat itu, bahwa media sebaiknya melakukan introspeksi, menurunkan nada beritanya, dan mengawasi wartawannya. Di sisi lain, pemerintah sebaiknya membujuk media agar melakukan "koreksi diri". Menurut Pak Jakob, bahkan dalam pertemuan 21 Juni, Dewan Pers tidak merekomendasikan pencabutan SIUPP kepada pemerintah.
Meski waktu itu hubungan pers-pemerintah agak kritis, Pak Jakob yakin Menpen tidak ingin melangkah terlampau jauh, sampai mencabut SIUPP. Saat Goenawan Mohamad menghubunginya melalui telepon, Pak Jakob mengatakan bahwa tidak ada tanda-tanda SIUPP Tempo akan dicabut.
Keesokan harinya, 10 Maret 1995, koran-koran di Jakarta menulis kesaksian Jakob Oetama itu secara beragam. Media Indonesia menulis judul: "Kesaksian Jakob Oetama Tentang Pencabutan SIUPP Tempo: Usul Dewan Pers Seolah Tidak Didengar". Adapun Suara Pembaruan memasang judul: "Jakob Oetama: Sidang Dewan Pers Tidak Menyinggung Pencabutan SIUPP".
Harian Kompas sendiri memilih judul, "Kasus Gugatan Tempo, Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers Didengar Keterangannya". Menurut Hanazaki dalam buku "Pers Terjebak", "Judul Kompas yang samar-samar mengesankan pertimbangan-pertimbangan di tubuh Kompas, agaknya dalam upaya menghindari dampak kesaksian pemimpin redaksi-nya yang bisa menyinggung Menpen dan menyeret Kompas ke dalam konflik".
Yang juga mengejutkan adalah keputusan sidang gugatan itu, pada 3 Mei 1995. Pada tanggal yang kebetulan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Pers Dunia itu, Ketua Majelis Hakim PTUN Benjamin Mangkoedilaga memutuskan bahwa keputusan Menpen mencabut izin penerbitan Tempo, tidak berdasarkan hukum. Dia memerintahkan Menpen membatalkan keputusannya itu dan mengembalikan SIUPP Tempo.
Dinamika di redaksi
Dinamika di ruang redaksi Kompas, hari-hari itu juga terpengaruh oleh kesaksian Pak Jakob. Rikard Bagun, kini Redaktur Senior Kompas, dalam tulisan berjudul "Pak Jakob: Tak Ingin Dipersalahkan Sejarah" menulis, "Sehari sebelum tampil bersaksi, Pak Jakob sore-sore datang ke ruang redaksi Harian Kompas di Rumah Bedeng, sebutan untuk bangunan kantor sementara di Palmerah, Jakarta. Sempat mondar-mandir dua kali di lorong meja wartawan, Pak Jakob kemudian terhenti sejenak di Desk Internasional, menyapa wartawan. Suasana terasa agak kaku karena Pak Jakob terkesan sedang menahan sesuatu untuk disampaikan".
Ketika ditanya Rikard, Pak Jakob menjawab,"Tidak apa-apa. Iya, Bung, besok saya harus tampil sebagai saksi dalam sidang pengadilan Tempo. Saya harus menyatakan apa adanya, yang sebenarnya. Dewan Pers sama sekali tidak menyetujui dan merestui pembredelan".
Rikard lebih lanjut menulis, "Setelah menarik nafas sejenak, Pak Jakob dengan nada agak lirih menyatakan, "Jika nasib kita memang harus sampai di sini, kita hanya bisa berserah", sambil menunjuk ke atas. "Saya tidak ingin dipersalahkan oleh sejarah," katanya, sangat jelas.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, bertugas menulis berita sidang PTUN 9 Maret 1995 tersebut, bersama Retno Bintarti, kini sudah purnakarya. Budiman menuturkan suasana serupa dengan yang diungkapkan Rikard.
"Semalam sebelum memberi kesaksian, Pak Jakob datang ke Redaksi Kompas. Pak JO tampak seperti menanggung beban dan tampak gelisah. Dia mampir ke Desk Hukum dan kemudian ke Desk Internasional," ujar Budiman.
Ketika itu, lanjut Budiman, di benak awak redaksi Kompas muncul pertanyaan, apakah pak Jakob akan bersaksi apa adanya, atau membenarkan penguasa. "Saat sidang di PTUN, Pak JO memberi kesaksian yang sebenarnya. Pencabutan SIUPP Tempo tanpa pertimbangan Dewan Pers. Saya merasa plong," tutur Budiman.
Sinyal antisipasi
Pernyataan Jakob Oetama tentang pentingnya berserah kepada Tuhan, ibarat sinyal antisipasi, jangan-jangan Kompas juga dibredel, setelah kesaksiannya sebagai Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers yang apa adanya. Dengan kata lain, kesaksian Jakob juga Sjamsul Basri, selain Goenawan tentunya, melemahkan keputusan pemerintah Orba.
Antisipasi Pak Jakob tentu terkait bredel yang juga pernah dialami Kompas pada 1978. Ketika itu, Kompas bersama 13 media lain, dilarang terbit karena pemberitaannya dianggap terlalu memberi angin kepada gerakan mahasiswa. Ketika itu, mahasiswa dan sejumlah elemen lainnya mengkritisi pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
Pak Jakob, dengan pemikiran bahwa jika Kompas terbit lagi, akan tetap bisa menjalankan fungsi-fungsi pers dan menyediakan lapangan pekerjaan, kemudian menandatangani pernyataan di hadapan Soeharto, sehingga Kompas terbit lagi 6 Februari 1978.
Namun, satu hal yang pasti, kesaksian Pak Jakob dalam sidang gugatan Tempo ini, jarang diungkap dan dibicarakan. Berbeda dengan pengalaman terkait pencabutan bredel Kompas 1978, yang sering diungkapkan ke permukaan, dan kerap disampaikan Pak Jakob di berbagai kesempatan di internal Kompas. Termasuk, bagaimana Pak Jakob menceritakan Soeharto mengatakan, "Ojo maneh, maneh. (Jangan lagi lagi/jangan diulangi lagi)".
Kemungkinan, kesaksian Pak Jakob dalam sidang PTUN 1995 ini jarang diungkap dan dibahas karena sangat berlawanan dengan keputusan pemerintah Orba. Yang layak disyukuri hingga kini, meski kesaksian itu kontra dengan kebijakan Orba, Soeharto tidak mengambil keputusan serupa dengan tahun 1978.