Punggung saya terasa panas. Mungkin ”Mbak Kunti” hadir dan merangkul saya dari belakang, lantas ikut membaca tulisan saya tentang dia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Saya paling tidak suka nonton film horor. Thriller juga tidak suka. Pikir saya, habis nonton, kok, bukannya senang, malah lemas dan jantungan.
Suatu ketika, meskipun tidak suka cerita seram, saya tetap menyanggupi saat senior di kantor, Mbak Sri Rejeki, mengajak saya membuat konten Tutur Visual tentang hantu Nusantara.
Tutur Visual adalah konten khusus Kompas.id yang memadukan tulisan, audio, dan visual interaktif. Mbak Sri Rejeki, yang saya panggil Mbak EKI, adalah salah satu penanggung jawab Tutur Visual di redaksi kala itu.
Kami membuat Tutur Visual untuk menandai hari Halloween pada akhir Oktober 2019. Walaupun Halloween itu produk budaya Barat, Indonesia tetap kecipratan euforianya.
Kata seorang pengamat yang pernah saya wawancara, Halloween merupakan produk globalisasi dari Barat. Halloween juga mengalami komodifikasi sehingga tetap dirayakan di banyak negara meski negara itu tidak punya akar budaya atau relevansi dengan Halloween.
Agar Halloween tetap terasa lokal, kami berencana mengangkat kisah hantu-hantu ”endemik”, hantu-hantu yang hanya ada di Indonesia.
Tulisan nantinya akan bercerita seputar mitos asal-usul hantu, daerah asal, hingga fakta-fakta menarik yang menyertai eksistensi hantu. Kami memilih beberapa hantu untuk ditulis: kuntilanak, tuyul, kuyang, pocong, genderuwo, dan sundel bolong.
Gaib yang rasional
Sebenarnya saya galau luar biasa saat ikut proyek ini. Kompas, kan, rasional banget. Apa-apa harus ditulis berdasarkan fakta atau paling banter mengikuti omongan narasumber kredibel. Lah, kalau hantu?
Hantu, kan, tidak bisa dimintai klarifikasi. Kalaupun kami melakukan mediasi dengan hantu (seperti video-video di Youtube), apa materinya sahih untuk standar Kompas? Kejadian supranatural juga tidak bisa diverifikasi. Padahal, mantra Kompas adalah ”verifikasi, verifikasi, verifikasi”.
Saya sempat berharap ketemu hantu supaya punya materi tulisan. Lantas saya ingat bahwa saya penakut. Cepat-cepat saya buang keinginan itu. Di sisi lain, saya benar-benar khawatir tulisan saya tidak bisa dipertanggungjawabkan. ”Kalau tulisanku jadi kayak komik-komik azab gimana, Gusti.…”
Singkat cerita, saya diberi beberapa buku untuk referensi menulis. Sebenarnya saya ingin mengusulkan agar kami mewawancarai orang. Tapi, sekali lagi, bagaimana ucapan narasumber soal hantu diverifikasi? Buku pun menjadi sumber paling aman saat ini.
Saya membuka halaman daftar isi lebih dulu. Ada daftar literatur berbagai macam hantu. Saya menandai halaman hantu-hantu yang sudah kami pilih agar pekerjaan lebih efisien. Hmm, sebenarnya efisiensi itu hanya dalih agar tidak perlu membaca kisah hantu yang lainnya.
Kepanasan
Saya memutuskan segera menulis setelah dapat cukup bahan. Namun, baru menulis beberapa kalimat soal kuntilanak, punggung saya terasa panas. Panasnya merambat, dari punggung bagian bawah lalu menyebar ke seluruh area punggung. Rasanya seperti dipeluk hawa panas yang tidak enak. Saya ingat betul saat itu tidak sedang minum soju di kulkas.
Refleks, saya menjauhkan jari dari papan ketik laptop lantas banyak-banyak minum air putih. Setelah panasnya hilang, saya mulai menulis lagi. Tapi, rasa panas itu selalu datang setiap saya menulis.
Nyali saya yang memang tidak seberapa ini jadi makin ciut. Saya langsung beranjak dari kursi sambil berdoa dalam hati. Tak lupa menyugesti diri. ”Aku enggak takut. Aku enggak takut.”
Saya butuh waktu lumayan lama untuk menulis artikel tersebut. Padahal, isinya tidak terlalu banyak. Seharusnya bisa selesai dalam hitungan jam. Kalau tidak salah, saya baru selesai menulis setelah empat atau lima hari.
Alasannya? Sudah pasti karena saya takut.
Tapi takutnya lebih karena takut pada deadline. Saya khawatir dicap tidak bertanggung jawab jika melanggar tenggat. Apalagi kalau molornya pakai alasan karena takut hantu. Sungguh terdengar sangat tidak profesional dan tidak masuk akal.
Gara-gara itu saya jadi ingat pernah melihat hantu waktu sekolah dasar (SD). Pengalaman itu terjadi di rumah kerabat di Pulau Jawa. Si hantu berdiri jauh dari saya dengan kaus putih dan celana hitam. Bentuknya laki-laki. Dia memanggil saya dengan melambai-lambaikan tangan.
Pengalaman kedua terjadi waktu main voli sore-sore saat SMP. Ketika memungut bola di sudut sekolah yang sepi, ada bocah perempuan lewat. Dia mengenakan seragam batik sekolah saya. Tapi, penampilannya ganjil.
Saya tatap dia dalam-dalam dengan dahi berkerut. Sambil berlalu, ia balas menatap saya tanpa ekspresi, lalu naik ke tangga. Saya tidak pernah melihat dia turun setelahnya.
Kedua pengalaman itu terjadi saat saya tidak pakai kacamata. Jadi, saya tidak terlalu sadar sedang melihat hantu. Tidak sangka mata rabun saya ada manfaatnya juga.
Lain lagi dengan punggung saya yang tidak bermasalah. Saat menulis tentang kuntilanak, saya tiba-tiba merasakan panas yang menjalar di punggung. Kemungkinan terburuknya adalah subyek tulisan datang, lalu menempel di punggung sambil mengecek tulisan saya. Saya dengar, kuntilanak suka datang jika ada yang membicarakan dirinya.
Syukurlah, setelah ketakutan berhari-hari, akhirnya tulisan saya selesai juga. Teman-teman desainer grafis dan pengembang di Kompas membuat Tutur Visual edisi kali ini jadi sangat cakep dan keren: Hantu Penguasa Sinema Nusantara. Saya harap pembaca suka.
Baiklah, dari sebuah hotel tua nan sepi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, saya tutup tulisan ini seiring malam yang semakin larut. Sembari menulis, dari tadi saya merasa ada yang mengamati dari sudut kamar yang luas ini. Ah, semoga cuma perasaan saya saja….