Lima Kenangan di Gunung Ijen
Saya ingat, di pendakian keempat itu, sempat terserang asma. Pemicunya karena saya bersenda gurau dan mendaki terburu-buru, terutama di jalur yang terjal. Anak sempat meminta agar saya turun, tetapi saya tolak.
Penugasan meliput kehidupan petambang belerang Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 6-10 Maret 2023, menjadi kesempatan pendakian kelima saya ke Gunung Ijen yang berketinggian 2.769 meter di atas permukaan laut tersebut.
Ijen merupakan gunung yang paling sering saya daki sejak mengenal kegiatan alam terbuka pada 1991. Pendakian ke Ijen terjadi pada 2004, 2005, 2013, 2022, dan 2023. Semuanya saya jalani dalam rentang waktu kehidupan saya sebagai wartawan Kompas sejak Januari 2004.
Dari kelima pendakian itu, yang benar-benar merupakan penugasan ialah pendakian pada 8 Maret 2023. Sementara empat pendakian lainnya berlangsung saat cuti (2004 dan 2013) atau di sela penugasan lainnya dari redaksi (2005 dan 2022).
Meskipun bukan buah langsung dari penugasan liputan, saya yakin berbagai pengalaman itu memperkaya saya dan terbukti kelak menjadi bekal yang berharga untuk tugas-tugas kewartawanan lainnya.
Sebelum bolak-balik ke Ijen, sejumlah gunung di Pulau Jawa pernah saya daki meski tidak semuanya terselesaikan sampai puncak. Pengalaman yang semula dilakukan hanya untuk menyalurkan hobi dan kesukaan saja, siapa sangka, ternyata di masa depan sangat mendukung pekerjaan saya sebagai wartawan.
Pengalaman dan hobi mendaki gunung ini sempat saya paparkan dalam acara roadshow Di Balik Berita yang berlangsung di enam kampus di Surabaya pada 15-17 Maret 2023. Pada saat itu, saya membagikan kisah liputan mendaki dua dari tujuh gunung tertinggi di dunia bersama tim Wanadri, yakni Gunung Kilimanjaro dan Elbrus. Pengalaman mendaki berbagai gunung di Jawa menjadi pembukanya.
Baca Juga: Proses Jurnalistik Menjadi Pembelajaran Hidup Mahasiswa
Rangkaian cerita itu saya mulai dari latar belakang saya yang lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Oleh sebab itu, gunung pertama yang didaki tidak jauh dari Bogor, yakni Salak (di masa kuno bernama Salaka) lalu Halimun. Keduanya didaki pada 1991 dan 1993 semasa remaja meski tidak mencapai puncak.
Lalu, ketika bertugas di Bogor pada 2015, Halimun-Salak yang telah berstatus taman nasional juga sempat saya sambangi. Saya sempat mendaki Gede-Pangrango pada 1994 semasa remaja, 2002 di akhir masa kuliah, dan 2015 ketika bertugas di Bogor untuk Desk Metropolitan.
Dari Bogor, saya pergi ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan SMA lalu perguruan tinggi. Di sini, kesukaan saya bermain ke gunung-gunung cukup terpelihara, terutama di masa kuliah setelah bergabung dengan KPALH Setrajana Fisipol UGM.
Kurun 1996-2003, saya mendaki Ciremai, Slamet, Sindoro-Sumbing, Merapi-Merbabu, Lawu, dan Semeru. Yang sampai tiga kali saya daki dalam kurun itu ialah Merapi dan Lawu.
Setelah menyelesaikan pendidikan di UGM, saya kemudian bergabung dengan Kompas. Ternyata hobi saya masih bisa tersalurkan. Lewat tugas, saya berkesempatan mendaki Penanggungan, Arjuno-Welirang, dan Semeru di Jatim, Kinabalu di Sabah, Kilimanjaro di Tanzania, Elbrus di Rusia, dan Carstenz (Ndugu-Ndugu) di Papua. Pendakian ke Kinabalu, Elbrus, dan Carstenz tidak bisa diselesaikan karena risiko keselamatan.
Baca Juga: Nyaris Viral akibat Terjatuh Saat Memotret Peti Jenazah
Dari semua itu, Ijen menjadi gunung yang paling sering saya daki. Bahkan, pendakian ke Ijen selalu dapat diselesaikan alias sampai puncak. Berbeda misalnya dengan pengalaman tiga kali mendaki Gede-Pangrango di mana baru berhasil mencapai puncak pada 2002.
Demikian pula di Merapi dan Lawu, dari tiga kali pendakian, saya cuma sekali menjejak puncak. Tiga kali saya menyambangi Semeru pada 2002, 2005, dan 2019, tetapi pendakian sampai puncak terjadi di awal semasa masih kuliah.
Dari sejumlah catatan tadi, saya jadi menyadari bahwa Ijen merupakan gunung yang paling bersahabat dengan diri ini yang menjelang usia 44 tahun.
Mengapa demikian? Mungkin karena medan tidak terlalu sulit dan terdapat ragam sarana dan layanan pendukung. Padahal, pendakian ke Ijen sebenarnya berisiko karena potensi gas dan bau yang jika tidak diantisipasi dengan pemakaian masker khusus dapat mengganggu pernapasan.
Baca Juga: ”Kompas” Berbagi Kisah Peliputan di Universitas Airlangga
Pengalaman
Pengalaman pertama mendaki Ijen terjadi pada akhir 2004. Selepas diangkat pada 1 November 2004, saya berkesempatan mengambil cuti yang dua hari di antaranya saya gunakan untuk pergi ke Ijen. Saat itu, saya masih bertugas di Biro Jawa Timur (Desk Nusantara).
Dengan sedikit nekat karena juga masih lajang, di akhir pekan pada Desember 2004, saya pergi ke Banyuwangi naik kereta api. Saya sudah mempersiapkan diri dengan peralatan dan perlengkapan untuk mendaki.
Setiba di Stasiun Karangasem (kini Stasiun Banyuwangi Kota), saya menyewa ojek untuk mengantar sampai Paltuding, pos awal pendakian. Saya berpesan kepada pengojek untuk menjemput saya pada hari berikutnya untuk kemudian mengantar ke Karangasem.
Di Paltuding, saat itu, belum ada penjagaan untuk pendakian sehingga saya mencari teman naik ke Kawah Ijen, yakni petambang belerang. Pendakian itu tidak terlalu sulit. Mungkin hanya menghabiskan waktu maksimal 1 jam.
Saya berdiam cukup lama sejak tengah malam sampai matahari terbit (sunrise) di puncak. Saya habiskan waktu berjam-jam dengan memasak dan menikmati kesendirian. Setelah menikmati sunrise, saya bergegas turun, mendapati ojek yang tengah menunggu lalu kembali ke Surabaya dengan KA dari Karangasem.
Baca Juga: Wisata Ijen Jangan Jalan Sendiri
Pendakian berikutnya terjadi pada Juni 2005. Ketika itu, saya mendapat tugas untuk meliput di wilayah Banyuwangi selama tiga pekan, sekaligus menggantikan Anita Yossihara (NTA) yang sebelumnya bertugas di wilayah itu. Anita kini Wakil Kepala Desk Politik & Hukum.
Di sela peliputan di Banyuwangi itu, saya kembali naik ke Kawah Ijen dengan ditemani dua aktivitis GMNI dan seorang anggota KPU Kabupaten Banyuwangi saat itu.
Saya ingat, salah satu foto suasana sunrise dari puncak Kawah Ijen yang saya setorkan untuk redaksi kemudian dipakai sebagai foto halaman belakang brosur promosi layanan Litbang dan langganan harian Kompas.
Begitulah bawaan wartawan. Walaupun sedang cuti, libur, atau tidak bertugas, kalau ada yang sekiranya menarik untuk diwartakan, hasrat hati ingin tetap menyetorkan hasil foto atau tulisan.
Pendakian pada Juni 2005 itu juga tiada kendala. Padahal, saya memiliki riwayat sakit asma atau gangguan pernapasan meski jarang kambuh. Potensi bahaya, yakni bau belerang yang menyengat di kawasan puncak, dihadapi cuma dengan kain untuk menutup hidung yang di kemudian hari saya sadari sebenarnya amat tidak ideal.
Ketika itu, pendakian bisa selesai dalam waktu 1 jam 15 menit karena di perjalanan kami sempat berhenti lama untuk memasak dan makan.
Baca Juga: Menerjang Banjir dengan ”Kapal” Matic
Untuk pendakian ketiga pada Oktober 2013, saya lakukan saat cuti bersama keluarga menikmati Jember-Bondowoso-Banyuwangi. Saya naik ke Ijen bersama anak sulung yang ketika itu berusia 6 tahun, istri, dan ayah mertua.
Pendakian berjalan lancar, tetapi perjalanannya tidak bisa saya kebut karena harus menyesuaikan dengan kekuatan istri dan anak.
Pendakian baru bisa dimulai pukul 03.30 WIB dari Paltuding. Kami mencapai puncak saat matahari terbit atau setelah 2 jam pendakian. Istri dan anak sangat puas dan gembira karena bisa mencapai puncak.
Baca Juga: Yang Bertaruh Nyawa di Tambang Belerang
Nah, pengalaman pendakian yang keempat terjadi di sela peliputan Liga Selancar Dunia (WSL) di Banyuwangi, yakni pada 2 Juni 2022. Pendakian saya lakukan bersama jurnalis foto senior Kompas, Agus Susanto (AGS), dan dua rekan. Anak sulung saya yang baru lulus SMP dan masuk masa libur sekolah turut bergabung setelah menyusul dari Surabaya.
Pendakian dimulai pukul 02.00 WIB dan kami semua dapat mencapai puncak sebelum matahari terbit. AGS sempat turun ke danau kawah dan memotret api biru (blue fire). Saya dan anak memilih menunggu sunrise di lokasi terujung Kawah Ijen.
Saya ingat, di pendakian keempat itu, sempat terserang asma. Pemicunya karena saya bersenda gurau dan mendaki terburu-buru, terutama di jalur yang terjal. Anak sempat meminta agar saya turun yang kemudian saya tolak.
Setelah menghirup inhaler, berhenti di Pos 2 sekitar 5 menit sehingga ritme pernapasan kembali normal, saya bisa kembali mendaki dan tiada gangguan. Bahkan, saya mengajak anak saya untuk berlari ketika mendekati puncak meski kawasan masih gelap.
”Bapak ini tak kira sudah enggak kuat ternyata malah lari,” katanya saat membuntuti saya mencari lokasi terujung dari Kawah Ijen untuk menikmati sunrise. Pendakian diselesaikan dalam waktu 2 jam.
Baca Juga: Kawah Ijen yang Menarik Wisatawan
Yang terkini, pendakian pada 8 Maret 2023 untuk peliputan kehidupan petambang belerang. Malam sebelum pendakian, saya bersama dua pemandu dari PT Ijen Expedition Tour berkunjung dan mewawancarai petambang bernama Hopit (36) di Dusun Kebun Dadap, Desa Tamansari, Kecamatan Licin.
Kami sepakat untuk bertemu di pendakian atau di Kawah Ijen. Gerbang pendakian dibuka pukul 04.00 WIB. Saat hendak pendakian, ternyata tiket dalam jaringan (online) yang saya pesan keliru tanggal. Saya memesan untuk pendakian 7 Maret 2023.
Telepon seluler saya kehilangan sinyal di Paltuding. Untunglah, gawai milik pemandu Andi Saputra masih bisa ada sinyal sehingga bisa mengaktifkan jaringan internet nirkabel untuk saya memesan tiket secara online. Saya baru bisa memulai pendakian pukul 04.45 WIB sementara Hopit sudah jalan terlebih dahulu.
Baca Juga: Mengambil Hati Warga Wamena
Untuk masuk ke Kawah Ijen, pengunjung terlebih dahulu harus memesan tiket melalui https://tiket.bbksdajatim.org/.
Tarifnya Rp 5.000-Rp 7.500 untuk pengunjung domestik, sedangkan Rp 100.000-Rp 150.000 untuk turis mancanegara. Karena dunia pernah dihantam pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, pengelolaan obyek wisata menerapkan pembatasan kuota pengunjung. Di masa pemulihan saat ini, pembatasan diyakini sebagai bagian dari mitigasi risiko kecelakaan demi menjamin keselamatan pengunjung.
Pendakian terkini itu memerlukan waktu 1 jam 15 menit dengan berjalan pelan agar tarikan dan embusan napas tetap teratur sehingga tubuh tidak cepat letih dan potensi gangguan pernapasan (asma) tidak muncul. Jalur pendakian sudah lebar setidaknya bisa dilintasi satu mobil jelajah. Jauh berbeda dibandingkan situasi pada 2004, 2005, dan 2013.
Empat pos perhentian dilengkapi dengan peturasan serta sudah ada penjual makanan dan minuman. Selain itu, ada penyedia gerobak bagi pengunjung yang tidak kuat atau malas mendaki. Tarifnya Rp 600.000-Rp 700.000 untuk perjalanan pergi pulang dari pos Paltuding. Pengunjung juga dapat meminta ditemani pemandu bertarif Rp 200.000.
Dalam pendakian terkini itu, saya sempat berbincang dengan turis dari Malaysia (Sarawak) dan Singapura. Mereka terkesan dan senang karena pendakian ke Ijen relatif mudah. Cuma berjalan sekitar 2 jam, sudah dapat mencapai kawasan puncak dan disuguhi pemandangan aduhai. Layanan dan fasilitas juga cukup baik. Medan yang terjal hanya menjelang pos 1 dan pos 2. Jalur pendakian yang lebar membuat perjalanan tidak terlalu menyulitkan.
Baca Juga: Kabut Tebal Menyelimuti Pelancong di Kawah Ijen
Namun, ketika berada di ketinggian, terutama di Kawah Ijen, dengan segala kemudahan temasuk kondisi jalur pendakian, sepatutnya semua pengunjung tetap memperhatikan keselamatan.
Penting rasanya untuk membawa masker khusus demi mencegah potensi gangguan pernapasan saat ada ”serangan” bau belerang yang menyengat. Gunakan juga kelengkapan standar untuk kegiatan alam terbuka. Patuhi peringatan petugas dan rambu, terutama larangan mendaki karena potensi bahaya dari aktivitas vulkanik.
Setelah dari Ijen, saya menyiapkan hati dan tekad untuk mendaki gunung yang belum pernah saya sentuh, yakni Raung. Selanjutnya, ingin menyelesaikan pendakian yang tertunda ke Argopuro. Ya, untuk sedikit ambisi yang masih ada dan menyempurnakan pengalaman menjejak seluruh gunung berketinggian di atas 3.000 mdpl di Pulau Jawa. Nantikan tulisannya, ya....