Mualnya Sudah Hilang, tetapi Terus Terkenang
Kami mendapati seorang pemulung bernama Rohadi yang baru saja menemukan sebungkus roti sobek. Roti yang diambil dari tumpukan sampah yang penuh lalat beterbangan itu langsung disantapnya. Kami pun tercengang dibuatnya.
Bulan Ramadhan yang berujung pada Lebaran mengingatkan kami akan pengalaman hampir setahun lalu. Saat itu, kami liputan tentang sampah makanan yang kemudian hasil tulisannya terbit setelah Lebaran.
Bukan sekadar hasil liputan itu yang menyedot banyak perhatian, melainkan pengalaman saat liputanlah yang bikin kami seperti ditampar kenyataan.
Saat liputan di TPST Bantar Gebang, empat pemulung yang kami temui tidak segan makan roti sobek, kue kering, dan keripik pisang dari tumpukan sampah.
Rasa mual ingin muntah sekaligus miris mengaduk-aduk perasaan. Liputan soal Sampah Makanan yang terbit pada Mei 2022 itu meninggalkan kenangan yang begitu membekas bagi kami bertiga yang tergabung dalam tim Jurnalisme Data Kompas.
Mulai dari aroma sampah Bantar Gebang yang rasanya terus nempel di indera penciuman hingga berhari-hari, syok melihat para pemulung yang dengan enaknya makan sampah makanan, hingga salah satu anggota tim yang terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit.
Meski demikian, pengalaman tersebut membuat kami berjanji pada diri sendiri untuk tidak sembarangan membuang makanan dan selalu menghabiskan makanan di piring. Setidaknya, untuk mengurangi tumpukan sampah makanan di Bantar Gebang.
Menggali data sampah
Ide liputan jurnalisme data ini berawal dari keinginan untuk mengangkat isu lingkungan. Setelah tema Kota-Kota Terendam yang terbit pada Agustus 2021, tim Jurnalisme Data kembali ingin mengulas tema lingkungan yang menjadi tema keenam sejak Kompas membentuk tim jurnalisme data.
Sempat ingin membahas soal tata kelola sampah setelah mengobrol dengan seorang pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang rendahnya retribusi sampah di kabupaten dan kota di Indonesia.
Namun, setelah mengubek-ubek data tentang sampah, kami mulai menemukan arah untuk lebih berfokus pada sampahnya ketimbang manajemennya. Pilihan ini diambil karena ketersediaan data sampah yang cukup bervariasi di laman Sistem Informasi Persampahan Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Data di SIPSN tak hanya soal volume sampah per kabupaten/kota tapi juga jenis dan komposisi sampah. Data itu tersedia dari tahun 2018 hingga 2021. Setelah melihat data tersebut, ternyata komposisi sampah makanan lebih besar dibandingkan jenis sampah lainnya, seperti sampah plastik, elektronik, kayu/ranting/daun, ataupun kertas. Kami bertiga pun sepakat mengambil tema sampah makanan.
Selanjutnya, tema tersebut beserta dua tema lainnya kami usulkan kepada pemimpin redaksi dan jajaran redaktur pelaksana dalam ”sidang” penentuan tema. Di luar dugaan, tema sampah makananlah yang dipilih. Alasannya, sampah makanan dirasa akan lebih menarik keterbacaan pembaca, dengan waktu penayangan seminggu setelah Lebaran.
”Tema ini pas ditayangkan setelah Lebaran. Biasanya saat puasa hingga Lebaran, kan, potensi makanan terbuang lebih besar karena berlebih,” kata Mas Adi Prinantyo, Redaktur Pelaksana Harian Kompas, yang biasa dipanggil ADP.
Baca juga: Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Awalnya, kami sempat tidak percaya diri menggarap tema ini karena dua minggu sebelumnya sebuah media daring telah membuat liputan mendalam mengenai sampah makanan. Visual infografiknya yang cukup interaktif sempat membuat kami ”keder” karena jarang-jarang hasil liputan jurnalisme data ditampilkan demikian.
Namun, kami segera menepis keraguan tersebut dan melangkah percaya diri bahwa liputan kami akan berbeda. Syukur-syukur juga bisa sekadar mengingatkan pentingnya bersikap bijak dalam konsumsi agar tidak perlu membuang makanan.
Kami mencoba membahas sampah makanan dari hulu ke hilir. Di hulu, kami tampilkan perilaku masyarakat yang masih menyisakan makanan dan membuangnya. Kami juga mengingatkan masyarakat tentang dampak sampah makanan melalui pendekatan ekonomi. Dari hasil perhitungan, kami yakin angkanya akan membuat pembaca cukup terenyak.
Di hilir, kami menampilkan beberapa komunitas masyarakat yang membagikan makanan berlebih kepada pihak yang membutuhkan atau mendaur ulang sisa makanan dengan bantuan maggot.
Sebagai langkah awal, kami berdiskusi dengan pengelola SIPSN untuk mempelajari data tentang sampah lebih dalam. Dari penjelasan Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar, kami jadi tahu bahwa data di SIPSN itu diisi oleh dinas kebersihan atau dinas lingkungan hidup masing-masing kabupaten/kota.
Novrizal saat itu didampingi stafnya, Adi Ramly dan Agus atau yang akrab dipanggil Puyi. Menurut mereka, karena keterbatasan sumber daya, data dari kabupaten/kota dalam periode 2018-2021 itu tidak semuanya lengkap.
Dengan kondisi tersebut, akhirnya kami hanya memilih data tahun 2019 sebagai basis analisis karena periode tahun itu memuat data kabupaten/kota lebih lebih lengkap dibandingkan periode tahun lainnya.
Baca juga: Lima Kenangan di Gunung Ijen
Observasi warteg
Sambil mengolah data, salah satu dari kami, yakni Puteri, melakukan observasi awal di sebuah warteg di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Tujuannya, untuk mengamati apakah rata-rata konsumen yang makan di sana punya kebiasaan menyisakan makanan atau tidak menghabiskan makanan mereka.
Hasilnya, dari 12 pengunjung warteg, lima di antaranya masih menyisakan nasi, sayur, serta lauk pauk. Bahkan ada satu piring yang isinya hanya termakan dua sendok.
Jadi dari observasi awal saja sudah tergambar bahwa masyarakat masih punya kebiasaan tidak menghabiskan makanan di piringnya.
Jadi dari observasi awal saja sudah tergambar bahwa masyarakat masih punya kebiasaan tidak menghabiskan makanan di piringnya. Kondisi ini menjadi bahan ilustrasi tulisan jajak pendapat mengenai perilaku menyisakan makanan.
Selanjutnya, kami bertiga berkunjung ke Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) Benua Lestari di kawasan Kota Tangerang. Menurut informasi Pak Puyi, TPS3R yang dikelola oleh Pak Aan Oktiana tersebut, sudah berhasil memanfaatkan maggot atau larva lalat buah, untuk mendaur ulang sampah makanan.
Baca juga: Nyaris Viral Akibat Terjatuh Saat Memotret Peti Jenazah
Rupanya liputan ke TPS3R itu menjadi ajang ”pemanasan” bagi kami sebelum berkunjung ke Bantar Gebang. Tak lama setelah pintu gerbang TPS3R dibuka, aroma ”semerbak” sampah langsung menyapa hidung. Hampir saja kami bertiga muntah mencium bau yang mengejutkan tersebut.
Beruntung, saat itu perut kami masih kosong sehingga hanya batuk-batuk. Pak Aan yang menyambut senyum-senyum saja melihat tingkah kami. ”Kaget, ya, dengan baunya? Masuk saja, yuk, ke kantor, untuk mengurangi bau,” kata Pak Aan sambil masih terus tersenyum.
Untunglah, selama wawancara di kantor TPS3R, bau busuk sampah jauh berkurang. Tapi, tetap saja, jika ada angin lewat, bau akan kembali tercium. Syukurlah proses wawancara, pengambilan foto dan video yang terkadang ditemani bau sampah itu, dapat dirampungkan.
Namun, rupanya kami masih harus mengendus bau tak sedap itu karena masih ingin di sana untuk melihat proses daur ulang sampah dan budi daya maggot. Akhirnya, kami berkeliling TPS3R sambil sering-sering menahan napas. Kecuali, saat melewati tumpukan sampah anorganik dan organik yang baru datang yang ternyata tidak terlalu berbau. Jauh beda dengan sampah fermentasi.
Baca juga: Menerjang Banjir dengan "Kapal" Matic
Berjumpa pemulung Bantar Gebang
Selain ke TPS3R, hasil pengumpulan data juga mengarahkan kami untuk mengunjungi tempat pembuangan sampah DKI Jakarta, yakni Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat. Kami berharap dapat mengangkat kisah masyarakat yang setiap hari bersentuhan dengan sampah makanan dari wilayah Jakarta.
Belasan tahun silam, salah satu anggota tim, Satrio, teringat dengan cerita guru SMA-nya tentang komunitas warga di sekitar Bantar Gebang yang bekerja sebagai pemulung. Para pemulung itu terbiasa ”menyelamatkan” makanan dari tumpukan sampah lalu mengonsumsinya.
Gambaran ini cocok dengan kebutuhan tulisan kami. Namun, karena terjadinya belasan tahun lalu, kami tidak yakin fenomena itu masih ada. Jika sudah tidak ada, tentu kami merasa lega karena berarti para pemulung di Bantar Gebang itu tidak perlu lagi mencari makanan di antara sampah.
Akhirnya pada Selasa (26/4/2022) pagi, dengan berbekal surat izin dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, kami berkunjung ke TPST Bantar Gebang di Bekasi. Berangkat dari kantor Kompas di Palmerah, Jakarta Pusat, kami butuh kurang lebih 2 jam untuk tiba di lokasi.
Kira-kira 6 km menjelang tujuan, bau busuk serasa sudah memenuhi udara di kabin mobil yang kami tumpangi. Entahlah, apakah ini hanya sugesti atau memang benar-benar berbau.
Bau pun terendus semakin kencang ketika lokasi TPST semakin dekat sesuai panduan Google Maps yang kami ikuti. Sesampainya di sana, kami terheran-heran dengan tumpukan sampah yang menyerupai bukit yang sangat tinggi.
Baca juga: Kota-kota Penyumbang Sampah
Sambil menunggu bisa bertemu dengan staf TPST dan Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto, kami duduk di sofa empuk yang ada di ruang tunggu Kantor TPST. Dari balik ruang kaca yang ber-AC sejuk itu, pemandangan bukit sampah bikin takjub.
Setelah bertemu staf TPST, kami diminta mengenakan helm, rompi oranye terang, dan sepatu bot warna kuning. Rasa penasaran dan khawatir mulai bergelayut. Dalam balutan kostum ”tempur” itu, kami diajak menuju kaki bukit sampah yang becek oleh air lindi.
Ditemani Pak Bagong dan staf TPST, kami melihat dari dekat bukit sampah di beberapa lokasi. Di salah satu lokasi, kami bertemu dengan ratusan pemulung yang sedang mengais sampah yang mereka anggap masih berharga.
Saat itu juga hati kami runtuh, lumer tak berbentuk. Dalam hati kami menjerit betapa kejamnya dunia.
Waktu itu, bertepatan dengan kedatangan puluhan truk dari segala penjuru Jakarta yang hendak membuang muatan. Ketika hendak mencari satu dua pemulung untuk diwawancarai, kami mendapati seorang pemulung bernama Rohadi (47) yang baru saja menemukan sebungkus roti sobek. Roti yang diambil dari tumpukan sampah yang penuh lalat beterbangan itu langsung disantapnya. Kami pun tercengang dibuatnya.
”Makanan masih layak seperti ini, ya, dimakan,” kata Rohadi.
Belum selesai keheranan kami, pemandangan serupa bermunculan. Para pemulung lain melakukan hal yang sama dengan Rohadi, menyantap makanan yang mereka temukan di tumpukan sampah karena menganggapnya masih layak. Saat itu juga hati kami runtuh, lumer tak berbentuk. Dalam hati kami menjerit betapa kejamnya dunia.
Baca juga: Berbagi Makanan, Kurangi Sampah
Selesai eksplorasi di kaki bukit sampah, kami bergeser mengunjungi salah satu gubuk tempat tinggal pemulung dan bertemu Engkar (43). Ia gemar mencari makanan kemasan atau makanan siap masak, di sela menyortir sampah kertas dan plastik. Makanan kemasan sering ia dapatkan dari bawaan truk yang datang ke TPST Sumur Batu, Bekasi.
Mirisnya, ada sedikit nada bangga saat Engkar menunjukkan berbagai pangan hasil temuannya, seperti sebotol madu, adonan puding instan, makaroni kering, sekantong kacang almond, hingga sebungkus lembaran kulit taco, makanan khas Meksiko. Ada juga sebungkus saus gochujang khas Korea.
Ketika kami tanyakan tentang tanggal kedaluwarsa makanan yang ia kumpulkan, Engkar mengaku tidak pernah mengkhawatirkannya. ”Saya sih enggak pernah melihat tanggal kedaluwarsa. Lha, saya enggak bisa baca,” tukasnya.
Baca juga: Akar Kebiasaan Membuang Makanan
Terserang demam berdarah
Belum seminggu pascaliputan di TPST Bantar Gebang, salah satu anggota tim kami tumbang. Krisna mengalami demam tinggi. Obat warung dan susu murni kalengan yang biasanya menjadi andalan tidak mempan menghalau gejala sakit yang ia rasakan.
Akhirnya Krisna periksa di klinik terdekat dan tes darah. Hasilnya menunjukkan ia terserang demam berdarah. Lagi-lagi terasa ”kejam”-nya dunia ini. Liputan sudah ditunggu tenggat, malah salah satu anggota tim kami tumbang.
Otomatis kerja kami pun sedikit pincang. Namun life must go on. Tepat seminggu sebelum terbit, Krisna dinyatakan sembuh. Kami bertiga langsung gas pol menyelesaikan tulisan, menyiapkan bahan infografik, serta mengumpulkan foto dan video, untuk kebutuhan penerbitan hasil liputan.
Salah satu yang menantang adalah saat harus merancang visual infografik tumpukan sampah makanan. Untuk menggambarkannya, kami putuskan menggunakan tumpukan nasi kotak sebagai ilustrasi. Setiap kotak nasi kami perkirakan bobotnya untuk menentukan jumlah kotak yang dibutuhkan untuk menggambarkan ribuan ton sampah makanan yang terbuang.
Dengan menggunakan alas kerucut berupa tumpukan sampah seluas Stadion Utama Gelora Bung Karno, hasil penghitungan menunjukkan, sampah makanan Indonesia tingginya melampaui gedung-gedung tinggi di Jakarta. Ilustrasi yang ”nendang” ini kami harapkan bisa turut memunculkan rasa kegentingan masyarakat tentang sampah makanan.
Harapan itu sedikit banyak terwujud. Infografik kerucut sampah makanan tersebut menarik perhatian warganet yang kemudian membagikannya ke berbagai media sosial, seperti Twitter, Whatsapp, dan Facebook. Mereka menambahnya dengan pesan ”Jangan membuang sampah makanan, yes”.
Gerakan stop boros pangan
Setelah menjadi perbincangan di media sosial, tak kami sangka liputan sampah makanan ini kemudian menjadi referensi pemerintah untuk membuat himbauan agar masyarakat tidak membuang makanan berlebih.
Empat bulan kemudian, salah seorang di antara kami diminta mewakili Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra untuk menghadiri focus grup discussion yang diselenggarakan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Diskusi ini membahas upaya sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan di bidang pangan untuk mengurangi sampah makanan. Bapanas mengundang berbagai pihak yang selama ini fokus pada kegiatan pengurangan sampah makanan, yakni lembaga non-profit bank makanan, seperti FOI dan Foodcycle; pelaku retail seperti Superindo; akademisi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Kementerian Kelautan Perikanan, selain harian Kompas.
Diskusi yang digelar luring dan daring ini juga dihadiri Dinas Pangan kabupaten/kota seluruh Indonesia dan berakhir dengan peluncuran Gerakan ”Stop Boros Pangan”.
Sebelumnya, Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) juga mengajak umatnya untuk membentuk habitus baru menghargai pangan. Caranya, mengupayakan pola makan secukupnya, tidak membuang makanan, serta mengadakan gerakan solidaritas berbagi bahan makanan sehat. (Kompas.id, 22/10/2022)
Habitus baru tersebut digaungkan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius dalam peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 2022 pada Oktober lalu.
Gerakan tersebut, menurut penuturan Ketua Pengembangan Sosial Ekonomi KAJ, dilatarbelakangi liputan Kompas soal sampah makanan. ”Kebetulan kami menemukan liputan Kompas soal sampah makanan yang menginspirasi” ujar Romo Adri melalui wawancara Zoom. (Kompas.id, 22/10/2022)
Bahkan, beberapa infografik liputan sampah makanan juga ditampilkan dalam Youtube Surat Gembala Bapa Uskup Agung Jakarta. Dua hal tersebut membuat kami terharu dan sedikit berbangga. Setidaknya jerih payah kami berhasil memberi dampak luas bagi masyarakat dan memengaruhi kebijakan pemerintah.
Bagi kami pribadi, pengalaman menyaksikan begitu berharganya sisa makanan begitu mengetuk kesadaran. Makanan yang bagi sebagian orang sudah menjadi sampah bagi sebagian lainnya adalah sumber kehidupan mereka yang berharga. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbesit di pikiran.
Kami bertiga kemudian menghayati, makanan yang terhidang di piring, sesederhana apa pun, adalah anugerah yang patut selalu disyukuri dan semestinya dihabiskan. Kami pun turut terpacu untuk ke depan dapat bersikap lebih baik terhadap makanan.