Perjalanan Memabukkan ke Batas Negeri
Tujuh jam kemudian, siksa perjalanan mulai terasa. Saya merasa pusing dan mual. Terlebih saat memasuki perbatasan antara Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu karena jalannya berkelok-kelok, banyak tanjakan dan turunan.
Tiga hari menjelang Idul Adha 2019, Kamis (8/8/2019), saya mendapat telepon dari Kepala Desk Nusantara Kompas. Saya yang berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, diminta untuk berangkat ke Badau, daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Saat dihubungi sore itu, saya diminta untuk menggarap liputan khusus edisi kemerdekaan bertema ”Rupiah di Tapal Batas”. Penugasan itu mendadak karena rekan saya, wartawan Kompas di Pontianak, jatuh sakit. Saya pun menjawab, ”Siap Mas.”
Berdasarkan pengukuran Google, jarak Banjarmasin ke Badau melalui jalan Trans-Kalimantan yang biasa dilintasi orang, sekitar 1.760 kilometer (km). Tentu saja, jalan Trans-Kalimantan itu bukan seperti jalan tol di Jawa, sehingga butuh berhari-hari untuk menyusurinya. Selain itu, angkutan umum yang melintasi jalur itu secara reguler juga sangat jarang dan susah dicari.
Setelah ditelepon, saya langsung mencari tiket pesawat Banjarmasin-Pontianak. Kebetulan, sejak 1 Mei 2019, maskapai NAM Air membuka rute penerbangan langsung dari Banjarmasin ke Pontianak dengan frekuensi sehari sekali menggunakan pesawat ATR 72-600. Sebelumnya, penerbangan Banjarmasin-Pontianak harus transit di Jakarta.
Saya mendapat tiket untuk penerbangan Banjarmasin-Pontianak pada H-1 Idul Adha, Sabtu (10/8/2019). Penerbangan dijadwalkan pukul 14.35 Wita sehingga saya tidak mungkin mengejar pesawat dari Pontianak ke Putussibau (Kapuas Hulu) pada hari itu juga.
Kalaupun saya memilih penerbangan paling pagi dari Banjarmasin ke Pontianak dengan transit di Jakarta, tetap saja tidak terkejar. Sementara keesokan harinya, tidak ada jadwal penerbangan dari Pontianak ke Putussibau.
Karena harus mengejar deadline dan sampai di Badau, Minggu (11/8/2019), mau tidak mau saya harus naik mobil travel dari Pontianak ke Putussibau pada Sabtu (10/8/2019) itu juga. Dengan mobil, Pontianak-Putussibau bisa ditempuh dalam waktu lebih kurang 12 jam sehingga Minggu (11/8/2019) pagi, saya sudah sampai Putussibau dan bisa langsung jalan ke Badau, sekitar 170 km dari Putussibau.
Meskipun berasal dari Kalbar, saya belum pernah ke Putussibau, apalagi sampai ke Badau. Karena itu, sebelum pergi, saya menghubungi adik saya dan adik sepupu di Sekadau. Kebetulan sekali, adik sepupu memiliki teman akrab semasa kuliah di Putussibau, yang saat itu bekerja di Kantor Pemkab Kapuas Hulu.
Adik sepupu lalu menghubungkan saya dengan temannya itu yang kemudian bersedia menjadi pemandu perjalanan saya ke Badau.
Sehari sebelum berangkat dari Banjarmasin, saya pastikan semuanya sudah oke. Tiket pesawat dan tiket mobil travel dari Pontianak ke Putussibau juga sudah dipesan lewat telepon. Selanjutnya, untuk perjalanan dari Putussibau ke Badau, teman adik sepupu akan mengantar dengan sepeda motor.
Baca juga: Gerhana Matahari dan Fakta Eksklusif dari Tuhan
Sabtu (10/8/2019) pukul 15.00, saya terbang dari Bandara Internasional Syamsudin Noor di Banjarbaru. Inilah pertama kalinya saya merasakan penerbangan langsung dari Kalsel ke Kalbar, yang memakan waktu 2 jam itu.
Sebelumnya, rute Banjarmasin-Pontianak tanpa transit di Jakarta, pernah dilayani maskapai Kalstar Aviation. Namun, penerbangan itu juga tidak langsung, melainkan singgah dahulu di Sampit (Kalimantan Tengah), Pangkalanbun (Kalteng), dan Ketapang (Kalbar). Sejak pandemi 2020, penerbangan Banjarmasin-Pontianak kembali harus transit di Jakarta.
Penerbangan saya sore itu berjalan lancar. Cuaca bersahabat sehingga pesawat dapat mendarat tepat waktu di Bandara Internasional Supadio, Pontianak, pukul 16.00 WIB.
Baca juga: Warung Kopi Rahim Inspirasi
Mobil penuh
Turun pesawat, saya buru-buru menuju agen travel Pontianak-Putussibau karena mobil akan berangkat pukul 17.00. Selain itu, saya juga ingin dapat kursi di baris kedua atau di belakang sopir.
”Hari ini cuma satu mobil kami yang jalan ke Putussibau dan penuh. Ini pun karena sopirnya mau pulang merayakan Lebaran Haji. Abang duduk paling belakang (baris ketiga), enggak apa-apa ya,” kata penjual tiket mobil travel di Pontianak.
Waktu yang mepet membuat saya tidak sempat mencari alternatif lain. Mau tidak mau, saya harus naik mobil travel itu. Sebenarnya sempat ingin ngotot minta duduk di baris kedua, tetapi tidak tega juga melihat yang duduk di situ adalah bapak-bapak yang sudah tua, kemudian yang di samping sopir adalah seorang ibu. Yang lebih muda sepertinya memang harus mengalah.
Saya pun dipersilakan lebih dulu naik ke mobil Toyota Innova itu karena duduk paling belakang. Saya duduk sendirian karena bagasi dan kursi di samping saya penuh barang penumpang. Begitu masuk mobil, saya langsung merasa pengap dan tidak nyaman. ”Semoga saja kuat sampai Putussibau,” kataku dalam hati.
Baca juga: Tikar untuk Para Nona
Mobil baru berangkat pukul 17.30 dan ternyata tidak langsung menuju Putussibau, melainkan masuk kota Pontianak dulu untuk mengambil barang titipan di beberapa tempat. Setelah 1 jam putar-putar, barulah mobil meninggalkan kota Pontianak. Dua jam kemudian, mobil singgah di warung makan.
”Jam berapa kita sampai Putussibau, Bang?” tanyaku pada sopir. Saat itu sekitar pukul 21.00. ”Sekitar pukul 06.00-lah, paling lambat pukul 07.00 pagi,” kata sopir. Usai istirahat makan, kami melanjutkan perjalanan melewati wilayah Kabupaten Sanggau, Sekadau, hingga Sintang.
Tujuh jam kemudian, siksa perjalanan mulai terasa. Saya mulai merasa pusing dan mual. Terlebih saat memasuki wilayah perbatasan antara Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu karena jalannya berkelok-kelok, selain banyak tanjakan dan turunan. Saya meminta sopir berhenti karena sudah tak mampu menahan rasa mual.
Perjalanan berlanjut tetapi sekitar 1 jam kemudian, kembali saya minta stop karena perut kembali bergolak. Sayangnya, ketika hendak minta stop untuk ketiga kalinya, sopir tidak mendengar. Pertahanan saya pun ambrol karena tak kuat menahan rasa mual. Mengetahui itu, sopir menghentikan mobilnya dan menyuruh saya turun. Saya minta maaf karena sudah mengotori mobil. Si sopir tampak kesal.
Sudah lama saya tidak pernah mengalami lagi mabuk darat sehingga mabuk kali ini benar-benar terasa menyiksa. Kepala pusing dan badan lemas. Seingat saya, terakhir kali mabuk darat saat perjalanan dari Singkawang ke Sekadau pada tahun 2004 atau berselang 15 tahun sebelumnya.
Mobil akhirnya tiba di Putussibau pukul 06.30. Nino, teman adik sepupu, datang menjemput dan membolehkan saya menumpang mandi dan istirahat di kosnya sebelum kami bertolak ke Badau. Pukul 10.00, kami berangkat dengan sepeda motor. Nino mengendalikan setang.
Dalam perjalanan, beberapa kali saya minta singgah karena masih pusing dan lemas. Saya rebahan sebentar di bangku panjang saat mampir minum di warung. Kami juga sempat singgah di Pastoran Gereja Katolik Santo Dismas, Lanjak, sekalian menengok teman saya yang bertugas di sana.
Infrastruktur bagus
Jalan yang kami lalui sudah beraspal mulus sehingga seharusnya bisa tiba di tujuan dalam 3-4 jam. Akan tetapi karena kerap singgah, kami baru tiba 6 jam kemudian atau pukul 16.00 waktu Badau. Dengan begitu, perjalanan saya dari Banjarmasin ke Badau makan waktu 28 jam dengan tiga moda transportasi, yaitu pesawat, mobil, dan sepeda motor.
Saya menginap dua malam di Badau. Sebagai wajah terdepan Indonesia, infrastruktur di Badau terbilang bagus. Terlebih, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Nanga Badau, waktu itu juga baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2018.
Di Badau, saya liputan ke pasar, terminal, PLBN Badau, Kantor Camat Badau, dan Bank BRI Unit Badau, untuk melihat penggunaan uang rupiah di daerah tapal batas. Di sana, uang rupiah dan ringgit Malaysia sama-sama digunakan dalam transaksi ekonomi sehari-hari.
”Di sini kami menerima keduanya (rupiah maupun ringgit). Namun, alat pembayaran yang utama tetap rupiah karena ini, kan, wilayah Indonesia,” kata Edi Putra, warga Badau yang membuka usaha warung minuman di Terminal Bus Badau.
Lewat tengah hari, Selasa (13/8/2019), saya dan Nino kembali ke Putussibau. Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan masuk kawasan Taman Nasional Danau Sentarum untuk memotret kondisi danau yang mengering akibat kemarau.
Saya menginap semalam di kos Nino karena pada Rabu (14/8/2019) baru terbang ke Pontianak. Di sana, kembali saya harus menginap karena penerbangan dari Pontianak ke Banjarmasin baru ada pada Kamis (15/8/2019).
Jika perjalanan pergi dari Banjarmasin ke Badau ditempuh dalam waktu dua hari satu malam, perjalanan pulang dari Badau ke Banjarmasin ditempuh dalam waktu tiga hari dua malam. Untuk perjalanan pulang, saya kapok naik mobil travel karena khawatir kembali mabuk darat.