Menggandeng Tangan Bapak di Tanah Suci
Saat diantar, bapak-bapak jemaah haji ini selalu menggandeng tangan. Maklum, mereka menumpukan harapan pada saya dan kawan petugas agar tak lagi tersesat atau mendapat bantuan secepatnya.
Bapak meninggal 28 tahun lalu ketika saya belum lulus kuliah. Saat berkesempatan menjadi petugas haji, saya persembahkan pengabdian kepada jemaah lansia demi melapangkan jalan Bapak di akhirat.
Pak Asbullah, anggota jemaah haji asal Tangerang, Banten, Kamis (15/6/2023) malam, itu ibarat ”didatangkan” ke saya, sewaktu dia tersesat di dekat Terminal Syib Amir, Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi. Seorang anggota jemaah asal Indonesia mengantar Pak Asbullah sambil berkata, ”Tolong, bapak ini enggak tahu jalan. Mau ke hotelnya.”
Spontan saya bertanya, ”Ingat enggak, naik bus nomor berapa dan dari terminal mana?” Pertanyaan itu segera terlontar karena memang tiap hari ada sekian banyak jemaah yang kesasar di Masjidil Haram yang begitu luas karena salah masuk terminal.
Ternyata, Pak Asbullah tidak naik bus saat menuju Masjidil Haram. ”Hotel saya di sini (Masjidil Haram). Tadi keluar dari hotel ya langsung ke tempat shalat. Enggak naik bus,” ujar Pak Asbullah, yang terlihat sudah kepayahan.
Saya lalu ngobrol dengan Mas Anton, nama lengkapnya Sandya Anton Bayu Rheandra, wartawan Radio Elshinta Jakarta, yang malam itu menjadi ”tandem” saya saat bantu-bantu jemaah di Masjidil Haram. Kami berkesimpulan, Pak Asbullah termasuk jemaah haji khusus, nonreguler, yang pengelolaannya langsung oleh biro umrah dan haji, tidak melalui Kementerian Agama.
”Sepertinya ini termasuk haji khusus, Mas. Bukan haji reguler yang mayoritas itu,” kata Mas Anton. Saya merespons, ”Kalau haji khusus ya bener, hotelnya deket-deket sini saja, di seputaran Masjidil Haram. Itu yang saya dengar dari Mas Erwin (Erwin Dariyanto, Detik.com),” jawab saya.
Namun, Pak Asbullah lupa nama hotel dan posisi hotelnya. Tidak mungkin juga Pak Asbullah tidak dibantu, hanya gara-gara bukan jemaah reguler. Sesama warga Indonesia ya harus dibantu. Terlebih, saya dan Mas Anton memakai seragam plus rompi bertuliskan ”Petugas Haji Indonesia”.
Saya dan Mas Anton bersepakat mengantar Pak Asbullah ke Zamzam Tower, di situ ada Hotel Pullman. Siapa tahu itu hotel Pak Asbullah.
Namun, ternyata dari titik itulah perjalanan panjang baru akan dimulai. Jarak dari Terminal Syib Amir menuju Zamzam Tower, jika ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 700 meter hingga 1 kilometer. Jarak bisa menjauh jika jalan-jalan tertentu ditutup asykar, petugas masjid.
Jarak itu cukup berat untuk Pak Asbullah yang sudah tersesat sejak setelah maghrib, sekitar pukul 19.30. Sementara dia bertemu kami sekitar pukul 22.30. Fisiknya jauh terkuras sehingga hanya bisa berjalan pelan. ”Saya kesasar setelah maghrib karena mencari-cari istri saya dan enggak ketemu, sampai sekarang. Mau kembali ke hotel, enggak tahu jalan juga,” ujarnya.
Baca juga : Lansia yang Tersesat dan Tersesat Lagi di Masjidil Haram
Sepanjang perjalanan, Pak Asbullah menggandeng tangan saya. Kebanyakan, anggota jemaah haji asal Indonesia yang kesasar memang girang bukan kepalang saat bertemu petugas haji Indonesia sehingga mereka ada perasaan enggan terpisahkan. Ujung-ujungnya, selalu memegang tangan atau pundak saat diantar. Saya mengalir saja, toh supaya mereka nyaman juga.
Sekitar 30 menit kami bertiga berjalan kaki, sampailah di depan Zamzam Tower. Muka Pak Asbullah masih tetap belum lega. Rupanya, hotel dia bukan Pullman yang ada di Zamzam Tower. Sama-sama lelah, akhirnya saya, Mas Anton, dan Pak Asbullah duduk sejenak di emperan mal.
Mas Anton berinisiatif meminjam ponsel Pak Asbullah, untuk ditelusuri nomor kontak terdekatnya. Dia juga menawarkan power bank untuk ponsel Pak Asbullah yang kehabisan daya. Siasat yang jitu karena kemudian kami terhubung dengan sesama anggota rombongan yang lantas memberi petunjuk di mana hotel mereka.
Alhasil, saya dan Mas Anton berhasil mengantar Pak Asbullah ke hotelnya, Jabal Omar Premiere, yang lokasinya tidak terlihat secara langsung dari luar. Pak Asbullah berulang kali mengucapkan terima kasih sembari bertanya apa yang bisa dia berikan sebagai bukti terima kasih. Saya dan Mas Anton bergantian menjawab, ”Sudah bisa mengantar sampai hotel, kami sudah senang.”
Jadi sasaran pertanyaan
Menjadi petugas haji, tepatnya anggota Media Center Haji (MCH), artinya ke mana-mana wajib berseragam petugas. Konsekuensinya, saya dan kawan-kawan selalu menjadi sasaran pertanyaan jemaah haji Indonesia jika sedang di keramaian, baik itu di Masjidil Haram maupun di Mina.
Bahkan, sesekali kami ditanya jemaah non-Indonesia. ”Mungkin karena seragam kita ini benar-benar terlihat di keramaian. Demonstratif,” ujar Savic Ali, pendiri Islami.co yang juga anggota Media Center Haji. Jemaah negara lain juga ada petugasnya, tetapi jumlah petugas sedikit dan seragamnya kurang menonjol.
Singkat kata, mengantar jemaah tersesat sudah lazim adanya. Ibaratnya, keluar hotel barang 1 kilometer pun harus siap membantu jemaah. Apalagi, tabu bagi petugas jika ada jemaah minta tolong lalu menjawab, ”Wah, itu bukan tugas saya. Tugas saya meliput.”
Kebetulan, beberapa yang dibantu anggota jemaah laki-laki sudah lanjut usia (lansia) dan saat diantar, bapak-bapak ini menggandeng tangan. Maklum, mereka menumpukan harapan kepada saya dan kawan petugas untuk segera mengakhiri ketersesatan atau mendapat bantuan secepatnya.
Selain Pak Asbullah yang saya gandeng dari Syib Amir hingga hotelnya, ada juga Pak Soenadji yang asal Tuban, Jawa Timur, saya gandeng dari dalam Masjidil Haram menuju Syib Amir. Pak Gusram Numan asal Binjai, Sumatera Utara, saya bantu bersama Mas Erwin untuk segera membayar jasa kursi roda. Maklum, sudah terpisah dari rombongannya sehingga pasrah saja waktu penyedia jasa kursi roda menawarkan diri. Namun, waktu itu tidak membawa uang.
Pak Suwito asal Sragen, Jawa Tengah, sedikit berbeda kisahnya. Fisiknya yang menurun karena terlambat makan saat puncak haji membuatnya susah berjalan jauh menuju maktabnya di Mina, Maktab 68. Akhirnya, Pak Suwito bersama istrinya, Sumini, saya temani berobat di klinik Mina. Pulang ke maktabnya saya antar.
Beragam kisah ini mengingatkan saya kepada Bapak, Maharso (alm). Bulan-bulan terakhir sebelum Bapak meninggal, 18 Juni 1995, saya sudah jarang pergi berdua dengan Bapak. Jangankan menggandeng tangan, berjalan seiring saja amat jarang. Makin renggang hubungan itu, sejak saya bekerja di sela-sela kuliah, yang membuat saya makin sering pulang malam.
Beruntung, saat dirawat di rumah sakit, saya yang lebih sering menunggui Bapak di rumah sakit. Sepulang bekerja, saya menginap di rumah sakit dan paginya berangkat bekerja lagi. Begitu seterusnya.
Ketika menggandeng tangan bapak-bapak anggota jemaah Indonesia yang tersesat atau perlu bantuan, saya teringat Bapak. Andai pada saat-saat terakhir sebelum Bapak meninggal saya meringankan langkah untuk lebih banyak menemani Bapak, pergi berdua sembari menggandeng tangan walau sebentar, mungkin itu bermanfaat bagi kesehatannya.
Bertahun-tahun penyesalan itu terpikir. Sejauh ini hanya kirim doa setelah shalat yang bisa menjadi solusi. Namun kini, seiring posisi sebagai petugas haji, saya dedikasikan pengabdian saya untuk bapak-bapak anggota jemaah haji, yang sekiranya dengan izin Allah SWT, bisa memperluas ladang amal saya sehingga doa saya untuk Bapak terkabul.
Baca juga : Di Balik Berita