Menggantikan Tukang Ojek sampai ”Hoek-hoek” Saat Cycling de Jabar
Wartawan ”Kompas”, Wisnu Wardhana Dany, muntah-muntah saat meliput Cycling de Jabar, sementara rekannya, Angger Putranto, terpaksa berperan ganda dengan memboncengi tukang ojek gara-gara kang ojek yang kurang sat-set.
Gelaran Cycling de Jabar (CdJ) yang diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali digelar untuk kedua kalinya. Sukses gelaran pertama ingin diulang, kekurangan pada perhelatan sebelumnya ingin diperbaiki.
Salah satunya, Departemen Media Sosial harian Kompas kali ini mengirim dua orang untuk melaporkan dari lokasi, yakni Angger Putranto dan Antonius Sulistyo Prabowo. Keduanya berbagi tugas untuk etape ke-1 dan ke-2, yakni mengirimkan foto dan video gelaran CdJ untuk kanal media sosial.
Konten tersebut hampir menyerupai reportase langsung. Karena langsung diabadikan di lokasi, dikirim untuk diolah teman-teman di Jakarta, dan diunggah langsung di akun-akun resmi media sosial harian Kompas di platform Instagram, Twitter, dan Facebook.
Demikian pula dengan wartawan dan fotografer, hanya saja mediumnya adalah kanal digital Kompas.id dan koran cetak Kompas. Kali ini yang bertugas adalah wartawan tulis Fransiskus Wisnu Wardhana Dany dan Wisnu Aji Dewabrata, serta fotografer Hendra A Setyawan dan videografer Hendricus Arga.
Angger Putranto dan Fransiskus Wisnu Wardhana Dany membagi kisahnya secara terpisah saat meliput ajang CdJ.
Baca juga: "Lucky Journalism", Ilmu Jurnalistik yang Tidak Bisa Dipelajari
Pengalaman Angger Putranto
Malam sebelum penyelenggaraan CDJ, saya dan Mas Anton berbagi tugas. Di etape ke-1 saya akan menempel para pesepeda, sementara Mas Anton akan membawa mobil untuk menunggu para pesepeda di titik tertentu, yakni di titik intermediate sprint dan king of mountain. Sebaliknya untuk etape ke-2. Mas Anton akan menempel para pesepeda, sedangkan saya membawa mobil.
Semula panitia menjanjikan ada pesepeda motor marshal yang akan mengantar kami selama balapan. Namun, ternyata pada hari-H, panitia menyampaikan bahwa kami tidak akan diantar oleh marshal.
Hal serupa dialami fotografer dan videografer kami. Meski terkejut, mau tak mau harus kami jalani.
Sebagai gantinya, kami dicarikan ojek yang mau mengantarkan kami dari titik start etape ke-1 di Ciletuh, Sukabumi, hingga finis di Rancabuaya. ”Ha piye neh? Timbang ra entuk gambar blas. (Mau bagaimana lagi? Daripada tidak dapat gambar sama sekali),” ujar Arga.
Tiga tukang ojek berumur 40-50 tahunan telah menanti. Tiga sepeda motor matik siap berjuang bersama kami, melibas rute sejauh 199,7 km.
Setelah mengabadikan momen flag off di garis start, kami langsung mencari ojek yang akan mengantar. Belum juga 1 KM berjalan, tukang ojek yang mengantar saya sudah mengeluh.
”Sebenernya saya tadi enggak mau (ngojek untuk acara CdJ), Mas. Karena awalnya hanya diminta ngojek dari Ciletuh ke Cibuaya. Eh ternyata sampai Rancabuaya,” ujarnya.
Sepertinya ia terkejut karena jarak Ciletuh ke Ranca Buaya sejauh 199,7 km. Padahal, dalam bayangannya, ia hanya perlu mengantar dari Ciletuh ke Cibuaya yang jaraknya hanya 28 Km.
Baca juga: Tidak Ada Berita Senilai Nyawa…
Pergantian ”pemain”
Pada 50 km awal, saya masih bisa menempel para pesepeda. Sesekali berhenti untuk mengabadikan beberapa momen, mengirimkan foto dan video untuk segera diunggah sebagai reportase langsung dari lokasi. Selanjutnya harus kembali menggeber sepeda motor untuk menempel para pesepeda dan ngonten lagi.
Namun, setelah beberapa pemberhentian, jarak kami dengan peloton (rombongan) pesepeda elite makin jauh. Padahal, momen para pesepeda beradu kecepatan dan ketangguhan hanya bisa didapat kalau saya menempel peloton pesepeda elite.
Sebisa mungkin kami terus mendekati peloton. Namun, hingga km 80, peloton tak juga terkejar. Hingga akhirnya hujan gerimis mengguyur. ”A’ gimana kalau kita berteduh sebentar? Ngopi enak nih,” ujarnya.
”Hah?? Ngopi enak?” ujar saya membatin.
Saya kaget setengah mati mendengar ide tukang ojek itu. Dalam posisi kami tertinggal jauh dari para pesepeda, dia justru memberi ide untuk ngopi dulu.
Belum sempat saya memberi jawaban, sepeda motor sudah memelan. ”Kita berhenti di sini A’. Ngopi segelas, nanti pasti udah terang. Setelah itu kita jalan lagi,” ujarnya mengambil keputusan.
Saya menduga keputusan itu diambil karena tukang ojek yang saya tumpangi mengantuk. Beberapa kali saya melihatnya menguap. Apa boleh buat. Kami berhenti barang 15-30 menit. Kesempatan itu saya gunakan untuk menggali kompetensi tukang ojek yang mengantar saya.
Baca juga: Liputan Itu Pembuktian
”Sehari-hari biasa ngojek di Sukabumi kota atau di Ciletuh aja, Pak?” kataku santai.
”He-he-he, saya itu sehari-hari petani cabai, Mas. Tapi jangan khawatir saya tahu kok jalan di sini. Tadi kita ngelewatin kebon cabai saya,” tuturnya tak kalah santai.
Jawaban tersebut cukup membuat saya mengerti mengapa kami sulit mengejar rombongan peloton para pesepeda. Setelah satu cangkir tandas, kami melanjutkan perjalanan untuk berusaha mengejar para pesepeda.
”Pak setelah ini kita langsung jalan, kebut aja dan baru berhenti di Karang Potong (titik intermediate sprint),” pintaku.
”Waduh, punten A’ Karang Potong teh di mana? Saya enggak tahu,” katanya sambil memasang helm dan menyalakan mesin sepeda motor.
Saya hanya bisa menghela napas panjang. ”Ya, udah pokoknya kita jalan terus enggak berhenti-henti. Saya pandu lewat Google Maps. Jalan, Pak!” perintahku.
Sepeda motor pun berjalan dengan kecepatan seperti sebelumnya. Pos water station tempat para pesepeda beristirahat untuk makan dan minum kami lintasi begitu saja. Kami juga tidak berhenti di SPBU Tegal Beleud yang ada di Km 90 etape ke-1.
Baca juga: Di Sungai Kutemukan Kerusakan Lingkungan hingga Ekspresi Kehidupan
Mendekati Km 100, perjalanan kembali memelan. Kali ini tukang ojek beralasan mencari penjual bensin eceran terdekat. ”Kita isi bensin dulu ya A’ baru setengah perjalanan ini,” ujarnya.
Saya hanya bisa mengangguk-anggukan kepala. Dalam hati berujar, ”Kenapa ga isi di SPBU Tegal Beleud tempat water station tadi sih!?”
Sambil menunggu motor diisi bensin. Tebersit pikiran untuk mengambil alih kendali. Biar saya yang menyetir. Jadi saya bisa menentukan kapan harus berhenti, dan berapa kecepatan yang saya butuhkan. Motor pun selesai diisi penuh. Saya beranikan menyampaikan ide ini.
“Pak, gimana kalau saya yang setir motornya? Bapak saya bonceng,” kataku. Tidak butuh waktu lama untuk berpikir, ia langsung setuju dan mengambil posisi di jok belakang, bagian penumpang.
Baiklah, 99 km hingga finis, aku yang akan bawa motor ini. Baru beberapa meter, ia berpesan. “Hati-hati ya A’ remnya yang berfungsi baik cuma yang kiri. Rem kanan agak keras,” kata dia.
Saya hanya menjawab singkat dan langsung menggeber motor matik itu.
Baca juga: Berkelana di Jepang Berbekal Telepon Genggam dan Kata-kata: ”I Want This”
Anak saya tiga
Saat rute mencapai 120 km dan kecepatan motor tembus 90 km/jam, tiba-tiba saja pundak saya ditepuk. Rupanya “penumpang” saya ingin mengajak berbincang.
“Mas udah lama jadi wartawan?” tanyanya membuka percakapan. Pertanyaan itu saya jawab sambil tetap menggeber sepeda motor dan fokus pada jalan berliku dan aspal yang mulus.
Usai pertanyaan pertama dijawab, ia kembali menanyakan pertanyaan kedua. “Mas-nya sudah berkeluarga? Anaknya berapa?” tanyanya. Pertanyaan itu saya jawab sambil tetap fokus pada sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Saya sudah siap dengan pertanyaan ketiga saat dia justru ganti bercerita. “Anak saya tiga, yang pertama baru aja kerja di Jakarta. Kalau yang kedua masih SD dan yang ketiga masih bayi. He-he-he, pelan-pelan aja nyetirnya, Mas,” tuturnya.
Gusti Allah, ternyata pertanyaan itu kode permintaannya agar saya melambatkan laju kendaraan bermotor. Rasa hati ingin menyanggah perkataannya. Tetapi saya teringat dengan target harus segera mengejar para pebalap. Mau bagaimana lagi?
Baca juga: Angga dan Magh Firotika Juara Klasifikasi Umum Cycling de Jabar 2023
Akhirnya kecepatan sedikit saya kurangi. Setelah itu, tak ada lagi cerita soal keluarganya. Tukang ojek di belakang saya, cukup menikmati perjalanan sembari mengisap rokok.
Saat melintasi Km 120, si tukang ojek kembali menepuk pundak saya. “Apalagi ini? Mau request apa lagi sih pak?” tanyaku dalam hati.
“A’ pesepeda itu kuat ya. Nge-gowes jauh, jalan naik turun. Saya aja yang naik motor capek. Mereka makannya apa ya?” tanyanya.
Perlahan saya mulai memahami orang yang baru saya kenal ini. Perjalanan sejauh 120 km tampaknya sudah memunculkan chemistry di antara kami.
“Kita berhenti istirahat makan di depan ya, Pak. Di Karang Potong, setelah titik intermediate sprint,” tutur saya. Saya menduga, si bapak ojek ini lapar. Lagi pula ini memang sudah jam makan malam.
Dewi Fortuna kelihatannya lebih berpihak pada dirinya. Jauh sebelum tiba di Karang Potong, mobil panitia yang membawa konsumsi menghampiri kami dan memberi nasi kotak. Jelas tidak mungkin kami meneruskan perjalanan sembari membawa dua nasi kotak.
“Yuk, Mas kita makan dulu,” ajaknya
“Hmmm….,” jawabku singkat.
Usai makan, saya mendapat laporan dari Arga, bahwa pebalap pertama dan kedua sudah mencapai garis finis. Kocak memang, saat para pesepeda berjuang menuntaskan rute sejauh 199,7 km, saya dan tukang ojek sahabat baru saya ini justru sedang berjuang menuntaskan nasi kotak jatah makan siang kami.
Baca juga: Panas Menyengat dan Angin Kencang Jadi Tantangan di Etape Kedua Cycling de Jabar
Pengalaman Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
Cycling de Jabar 2023 adalah pengalaman pertama saya meliput ajang balap sepeda. Maklum, sehari-hari saya bertugas di Desk Regional dengan fokus liputan isu metropolitan di Jabodetabek.
Ini juga pertama kalinya saya ke Jawa Barat bagian selatan, lokasi berlangsungnya Cycling de Jabar.
Dari Jakarta saya berangkat ke Ciletuh di Kabupaten Sukabumi bersama Mas Wisnu Aji Dewabrata (editor Desk Olahraga) dan Mas Hendra (fotografer). Kami bertiga semobil, beriringan dengan Mas Angger (wakil manajer Medsos), Mas Anton (Medsos), dan Mas Arga (videografer) di mobil lainnya.
Perjalanan terasa menyenangkan walaupun minim hiburan karena perangkat musik mobil kami gagal terhubung dengan gawai Mas Hendra, sumber lagu-lagu. Obrolan akhirnya jadi penyelamat kami untuk menghidupkan suasana perjalanan.
Untuk mempercepat waktu tempuh, kami melalui Jalur Cikidang, Kabupaten Sukabumi, jalan alternatif yang banyak dilintasi kendaraan pribadi dari Jakarta.
Jalur Cikidang membentang sejauh 42 kilometer, antara Cibadak sampai Palabuhanratu. Sepanjang jalan ini terhampar tanjakan, turunan, dan tikungan. Jalurnya juga diselingi jurang dan tebing.
Bersama Wapres Amin Dikejar Hujan
Rasanya seperti nostalgia karena jalur Cikidang ini mirip dengan Jalan Trans Flores, di tempat asal saya. Apesnya, nostalgia tak berlangsung lama. Sampai pada satu tikungan, perut saya rasanya mulai tak enak. Rasa itu diikuti liur yang bertambah dan mual.
Awalnya ketidakenakan itu masih bisa ditahan. Namun, lama-kelamaan makin menjadi hingga akhirnya hoek-hoek. Mas Wisnu sigap menepi, mengambil tisu basah, dan obat pereda masuk angin, mual, perut kembung, dan pusing.
Obat ditenggak, mobil pun kembali melaju. Kami menuju Palabuhanratu untuk mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan ke Ciletuh. Saya hanya mampu melahap seperempat porsi sop daging dan nasi yang disajikan karena perut masih tak bersahabat.
Dalam perjalanan menuju Ciletuh, sekali lagi hoek-hoek. Kali ini yang keluar hanya cairan. Duh masuk angin ini. Saya kembali meminum obat pereda masuk angin, mual, perut kembung, dan pusing.
Setibanya di penginapan, saya bergegas bersih-bersih kemudian membalurkan minyak angin ke sekujur tubuh. Tak lama berselang, Mas Che (Kepala Biro Kompas Jawa Barat) datang. Dia berbaik hati memijat kaki saya untuk meredakan masuk angin.
Keesokan harinya, tubuh saya sudah lebih baik. Kami mengawali pagi dengan menengok lokasi pembukaan Cycling de Jabar di Geopark Ciletuh, melihat pesepeda yang tengah berlatih, dan berbincang-bincang dengan warga setempat. Semuanya berjalan lancar.
Tibalah hari-H pelaksanaan Cycling de Jabar 2023. Mata saya serasa dimanjakan karena sehari-hari lebih banyak bersua hutan beton di Jakarta. Etape ke-1 dari Geopark Ciletuh hingga Ranca Buaya, Kabupaten Garut, menyuguhkan tanjakan dan turunan dengan hamparan hutan.
Sementara etape ke-2 sejauh 169,3 kilometer dari Rancabuaya hingga Alun-alun Paamprokan di Kabupaten Pangandaran, menyajikan jalan datar menyusuri pantai.
Baca juga: "Uji Nyali" di Pulau Beribu Kelokan
Jika saya harus berjuang sejak sebelum CdJ digelar, perjuangan para pesepeda dimulai pada hari pertama. Tentu minus masa latihan.
Rupanya, medan etape 1 membuat para pesepeda bak kena prank. Teten Rohendi dari Liberta Cycling Team Bandung mengalami kram dan hampir kehabisan tenaga karena rute yang panjang.
Pebalap kelas elite Maghfirotika dari GCC Racing Team Surabaya, harus ekstra keras mencapai garis finis. Tanjakan dan turunan berulang telah menguras energi dan mentalnya sampai finis.
Tak heran Heru Sutatio, pehobi sepeda sampai melontarkan "Saya seperti kena prank. Baru mulai etape ke-1 sudah ada tanjakan. Setelah itu saya pikir akan datar. Ternyata dihajar tanjakan dan turunan sampai finis. Jarang-jarang ada lintasan begini,".
Dia terkecoh tanjakan ekstrem di Km 12-25. Dia mengira itu bagian dari king and queen of mountain, ternyata start sesungguhnya baru dimulai.
Jalur intermediate sprint pun dikiranya bakal datar. Rupanya pebalap terlebih dahulu menanjak untuk adu cepat. Bahkan, sebelum finis masih ada satu tanjakan lagi yang tak kalah menguras energi.
Di saat pesepeda merasa kena prank, sekali lagi saya hoek-hoek di tengah etape ke-1. Badan saya belum sepenuhnya bugar. Beruntung setelahnya tak ada lagi hoek-hoek, terutama setelah saya mengonsumsi obat yang diberikan oleh rekan-rekan Kompas.
Baca juga: Angga dan Magh Firotika Penguasa Etape Pertama Cycling de Jabar 2023
Nyambi
Bagaimana dengan hari kedua? Pada hari kedua, Arga dan Hendra masih bertugas. Sementara Angger digantikan oleh Anton. Kali ini mereka sedikit beruntung karena ada motorist marshal yang akan membawa mereka melibas rute etape 2 sejauh 169,3 km dari Ranca Buaya di Garut menuju Alun-alun Paamprokan di Pangandaran.
Kendati demikian, tugas mereka tak lantas menjadi lebih ringan. Mas Anton dan Arga harus nyambi di sela tugas utama mereka mengabadikan momen-momen balap sepeda.
"Di beberapa titik water station aku harus membantu marshal nge-loading minuman dan pisang. Nanti kalau di tengah jalan ketemu pesepeda yang minta asupan, aku harus ngacungin tangan sambil narik pesepeda," ungkap mas Anton.
Hal senada diceritakan Arga. Dia bahkan punya pengalaman lebih. ”Aku ora gur feeding (menyuplai minum/makanan). Aku yo melu mbengkel. Pas ning tengah jembatan kae Mas, kui aku ngewangi ganti ban. Mulane kebeneran ketemu Mas Angger, aku titip tas ning mobil. (Aku juga ikut memperbaiki sepeda. Waktu di tengah jembatan itu, aku ikut membantu mengganti ban sepeda. Kebeneran ketemu Mas Angger, aku titip tas untuk dibawa di mobil),” cerita Arga.
Setelah didera mual-mual, hari kedua bagi Dany berlangsung penuh gelak tawa. Tim mengakhiri hari dengan berburu seafood. Cumi-cumi, udang, dan ikan. Semuanya mulus masuk ke lambungnya dan tak ada hoek-hoek hingga kembali ke Menara Kompas.
Bagi Angger, Cycling de Jabar mengajarkannya untuk cepat mengambil keputusan. Apa pun harus dilakukan demi mengamankan liputan.
”Tidak masalah menggantikan tukang ojek, tidak masalah ikut ngebengkel, tidak masalah ikut feeding makanan/minuman. Yang penting dapat mengabadikan momen-momen seru sepanjang rute balapan,” katanya.