logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanAnak-anak Bukan Alat Politik...
Iklan

Anak-anak Bukan Alat Politik Praktis

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Anak bukan corong ataupun penambah jumlah massa di dalam kegiatan politik praktis. Pelibatan mereka di dalam politik justru melanggar hak mereka atas perlindungan, kesempatan memahami kebebasan berpikir, dan menarik mereka ke hal yang belum semestinya mereka alami."Orang-orang dewasa di sekitar anak tumbuh dan berkembang jangan menanamkan wawasan kebangsaan selain Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Itu pun harus melalui teladan perilaku, bukan sekadar doktrin," kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Anshor, di Jakarta, Selasa (28/3). Baru-baru ini beredar video sejumlah anak sekolah dasar berseragam merah putih mempromosikan sebuah organisasi keagamaan transnasional di internet. Belum diketahui waktu dan lokasi pengambilan video serta identitas anak-anak tersebut. Namun, yang jelas, anak-anak dalam video itu telah menjadi alat, bahkan korban politik praktis. "Orangtua dan guru jangan paksakan ideologi politik mereka kepada anak dan menjadikan anak sebagai moda kampanye. Sekolah semestinya tempat anak belajar berbangsa dan bernegara, di dalamnya termasuk kemajemukan," kata Maria.Ia mengatakan, KPAI bersama Komisi Pemilihan Umum telah menandatangani nota kesepahaman bahwa anak tidak boleh diikutsertakan di dalam kampanye politik karena bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Undang-Undang Perlindungan Anak.Maria juga mengingatkan, segala aksi yang berhubungan dengan kepentingan politik ataupun lembaga tertentu harus bebas dari keterlibatan anak. Misalnya, tidak boleh mengajak anak mengikuti unjuk rasa. "Kesadaran aparat penegak hukum menindak tegas orangtua yang bersikeras mengajak anak harus dilakukan," tuturnya. Selain rentan sebagai alat, anak juga rentan menjadi korban politik praktis. Salah satu contoh adalah foto surat kaleng yang diterima seorang anak SD di Jakarta. Ia menerima hinaan dan ancaman karena pilihan politik orangtuanya. Dari bentuk dan cara penulisan surat tersebut, diduga pelakunya juga masih berusia anak-anak. "Artinya, anak tumbuh dengan kebencian yang ia serap dari orang-orang di sekitar," ujar Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo. Narasi kedamaianMenurut Henny, kewajiban orangtua dan guru adalah mengubah narasi diskriminatif yang ada di sekeliling anak menjadi narasi kedamaian dan keindahan. Di dalam proses itu, anak belajar mengenai kekuatan dia mencerna informasi menurut pola pikirnya. Orangtua dan guru memandu agar mereka bisa melihat informasi yang bias dari sisi lain.Henny mencontohkan, orangtua bisa berdialog dengan anak dan meminta tanggapan mereka atas narasi diskriminatif yang mereka lihat dari media sosial hingga spanduk di jalanan. Beri mereka pertanyaan kritis, seperti bagaimana menurutmu jika kamu diperlakukan seperti itu; atau menurutmu apakah kita bisa memilih kesukubangsaan kita saat dilahirkan.Khusus guru, lanjut Henny, mereka sejatinya tak boleh membawa pendapat pribadi atas politik ke dalam kelas. Guru justru harus mengembangkan kemerdekaan berpikir dan sikap kritis siswa karena dua hal itu merupakan modal siswa menjadi pemimpin di masa depan. Selain itu, buka ruang seluas mungkin bagi siswa untuk bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Hal ini agar mereka memahami bahwa perbedaan adalah kekayaan di dalam kehidupan dan kekuatan pembangunan masyarakat."Indoktrinasi diskriminatif adalah pengkhianatan terhadap keguruan. Guru harus meninjau kembali falsafah mereka di dalam mendidik siswa," ucap Henny. (DNE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000