JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan dan pelatihan teknik dan kejuruan atau technical and vocational education and training atau TVET semakin penting. Namun, persepsi atau pandangan terhadap TVET belum dianggap setara dengan pendidikan akademik.
Tantangan untuk memperkuat persepsi dan pengakuan yang semakin baik pada TVET mengemuka dalam dialog Kebijakan Regional Ke-5 tentang TVET yang bertajuk ”Tren dan Inisiatif Terbaru untuk Meningkatkan TVET” di ASEAN di Jakarta, Rabu (29/3). Acara yang digelar Sekretariat ASEAN dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit ini dihadiri sekitar 50 peserta yang terdiri dari perwakilan kementerian pendidikan dan tenaga kerja, pembuat kebijakan, dan praktisi TVET di level nasional dan regional, termasuk dunia usaha, dari negara-negara ASEAN dan ahli dari Jerman.
Deputi Sekretaris Jenderal, Departemen Masyarakat Sosial Budaya, Sekretariat ASEAN, Vongthep Arthakaivalvatee mengatakan, kebutuhan tenaga profesional di ASEAN semakin tinggi yang dapat dihasilkan TVET. Tantangannya adalah untuk membangun pendapat publik secara umum bahwa TVET bukan kelas dua, sama pentingnya dengan pendidikan tinggi.
”Dialog kebijakan ini sangat penting agar negara-negara ASEAN punya rujukan untuk mengembangkan TVET yang menghasilkan profesional yang dibutuhkan pasar kerja. Apalagi dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, mobilitas pekerja profesional sangat terbuka,” kata Vongthep.
Eunsang Cho dari UNESCO Bangkok mengatakan, Korea Selatan 10 tahun lalu ketika mengembangkan TVET juga awalnya belum mendapatkan citra positif. Lulusannya sebagian besar memilih melanjutkan ke perguruan tinggi daripada bekerja.
”Lalu dibuat perubahan paradigma, dengan memperkuat kolaborasi institusi TVET dengan industri. Pengajar dan kepala sekolah dari praktisi membuat pendidikan sejalan dengan industri. Keterserapan lulusan TVET di dunia industri semakin meningkat. Minat ke TVET pun mulai meningkat,” ujar Eunsang. (ELN)