logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanWarna Alami Berpijak...
Iklan

Warna Alami Berpijak Tradisi-Lingkungan

Oleh
· 2 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan zat pewarna alami pada batik secara tak langsung mendorong aktivitas industri yang berpijak pada tradisi dan lingkungan. Seiring sambutan positif dari luar negeri, terutama Jepang dan Eropa, maka terbuka ruang pemberdayaan masyarakat sekaligus pelestarian lingkungan."Menggunakan pewarna alami berarti setia melestarikan tradisi bangsa dan kearifan lokal yang sudah dianut nenek moyang. Di sisi tanggung jawab terhadap lingkungan juga baik," kata Ketua Yayasan Batik Indonesia Nita Kenzo dalam acara Kafe BCA bertema "Khazanah Batik Pesona Budaya", Selasa (23/5), di Jakarta."Sebenarnya, Badan Kerajinan Dunia sudah mendeklarasikan sejak 1986 bahwa semua produk kerajinan hendaknya menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Akan tetapi, di Indonesia, baru bisa benar-benar dipraktikkan untuk batik sejak akhir 1990-an," tuturnya. Pewarna alami antara lain bubuk kayu mahoni (Swietenia macrophylla), mengkudu (Morinda citrifolia), dan avokad (Persea americana). Menurut Nita, yang juga perancang busana untuk Galeri Batik Jawa, negara-negara tersebut sudah memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi sehingga saksama mempertimbangkan proses selembar batik dibuat. Galeri Batik Jawa sebagai salah satu pelopor penggunaan kembali pewarna alam fokus menghasilkan batik nila (Indigofera tinctoria) yang berwarna khas biru."Nila adalah bahan pewarna paling kuno di sejarah manusia, termasuk sejarah batik Jawa," ujar Nita. Di dalam pembuatan batik, ada proses medel, yakni ketika batik dicelup pertama kali ke larutan nila sebagai dasar sebelum pencelupan warna soga (warna coklat).Perlu digalakkanRektor Universitas Pekalongan, satu-satunya universitas yang memiliki Fakultas Batik, Suryani mengatakan, di Pekalongan masih jarang rumah-rumah batik yang mau beralih ke pewarna alami. Alasannya, pewarna alami membutuhkan waktu lama untuk diproduksi. Selain itu, warna-warna yang dihasilkan juga tidak secerah pewarna sintetis."Dari sisi konsumen, baru golongan konsumen hijau yang membeli batik pewarna alami. Di Indonesia pemakaiannya belum masif," ujar Suryani.Oleh karena itu, Universitas Pekalongan sering mengadakan seminar untuk para pebatik guna menerangkan keuntungan pemakaian pewarna alami. Warna yang dihasilkan bisa sama pekat dengan pewarna sintetis, tetapi proses pencelupan memang lebih banyak.Dari sisi jenis kain yang diproduksi, pebatik juga diberi tambahan ilmu untuk membuat berbagai pola. Menurut Suryani, untuk jarit tradisional pemakaiannya terbatas pada acara-acara adat. Jarit untuk dijual bebas hendaknya dirancang agar pemakaian atau cara melilitnya bisa variatif. "Perlu juga dikembangkan pola-pola batik tulis dan batik cap untuk pembuatan kemeja, celana, dan rok," tutur Suryani.Direktur Edukasi dan Ekonomi Kreatif Badan Ekonomi Kreatif Poppy Savitri menekankan, variasi produksi batik tetap harus sesuai dengan pakem definisi batik. Batik adalah kain yang pewarnaannya menggunakan bahan perintang dari malam dan setiap motifnya bernilai filosofis. (DNE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000