Jalan Kesetiaan terhadap Panggilan Hidup
Lebih dari 40 tahun bergabung dengan Centre for Strategic and International Studies, membuat sosok J Kristiadi sulit dilepaskan dari lembaga itu. Keyakinan bahwa menjadi peneliti merupakan panggilan hidupnya, membuat Kristiadi tak akan ke mana-mana, selain di lembaga pengkajian yang berkantor di Jalan Tanah Abang III, Jakarta, tersebut.
”Bagi saya, menjadi peneliti adalah panggilan untuk berbuat baik bagi bangsa, negara, dan iman. Ini yang membuat saya terus di sini. Beberapa kali saya diminta masuk partai, tapi saya tidak mau,” kata Kristiadi di ruang kerjanya di CSIS, pekan lalu.
Sejak bergabung dengan CSIS pada tahun 1976, Kristiadi tak hanya sibuk menjadi peneliti. Ia juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi dan menjadi pembicara di sejumlah acara, terutama terkait politik. Menjelang akhir Orde Baru, Kristiadi juga sempat diperiksa aparat keamanan karena dikaitkan dengan bom yang meledak di rumah susun di Tanah Tinggi, Jakarta, pada Januari 1998. Ketika itu, sejumlah tokoh CSIS sempat dicurigai hendak menggulingkan presiden (saat itu) Soeharto.
CSIS juga sempat mengantarkan Kristiadi menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1987-1992. ”Saat itu, kantor sering menugaskan saya ke Timor-Timur, mendampingi diplomat, wartawan, atau pegiat gerakan masyarakat sipil dari luar negeri. Tujuannya, untuk membuktikan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia atau jika ada pelanggaran di Timor-Timur, sudah ditindak. Ketika itu, Pak Harry Tjan (pendiri CSIS) berpikiran, agar tidak diperlakukan sewenang-wenang, saya lalu dimasukkan jadi anggota MPR, dari unsur utusan daerah dan golongan,” kenangnya.
Lima tahun di MPR, menjadi bagian dari pengalaman Kristiadi atas suasana represif Orde Baru. ”Dulu ada pesan, sebelum memilih, harus melihat kanan dan kiri,” ujarnya.
Kondisi saat ini tentu amat berbeda dengan era Orde Baru. Kereta demokratisasi kini melaju amat cepat. Sejumlah lembaga negara kini bahkan berpotensi tak mampu lagi menampung dinamika dan aspirasi yang dihasilkan kereta tersebut. ”Lembaga negara yang tidak mampu menampung aspirasi akan dilindas oleh populisme yang sifatnya primordial,” kata Kristiadi, mengingatkan.
Pembusukan
Menurut Kristiadi, gejala ketidakmampuan lembaga negara menampung aspirasi masyarakat dapat dilihat dari sejumlah peristiwa. Kengototan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, meski ditentang berbagai elemen masyarakat, jadi salah satu contoh. Polemik kepemimpinan di Dewan Perwakilan Daerah merupakan contoh lain.
Lembaga negara yang gagal menampung aspirasi akan mengalami pembusukan. Jika ini terjadi secara masif, akan membuat negara gagal. ”Negara gagal bukan karena kekurangan sumber daya manusia, kondisi alam, atau budayanya. Namun, karena lembaganya busuk. Korea Utara dan Korea Selatan jadi contoh paling jelas,” ujarnya.
Korea Selatan jadi maju karena lembaga- lembaga negaranya inklusif dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, lembaga negara di Korea Utara cenderung hanya bekerja untuk elitenya. ”Uni Soviet juga bubar karena lembaga negaranya hanya bekerja untuk kepentingan elite,” kata Kristiadi.
Potensi pembusukan lembaga negara di Tanah Air mesti segera diatasi dari ujungnya, yaitu partai politik. Kaderisasi dan transparansi keuangan partai politik menjadi agenda utama. Namun, dua hal itu pula yang paling susah ditertibkan. ”Ini karena nikmat kekuasaan, sulit dikendalikan akal sehat dan ajaran yang baik,” ujarnya. Kondisi ini membuat kekuasaan politik harus dikontrol oleh kekuasaan yang lain, yaitu masyarakat sipil.
Pengalaman selama ini membuat Kristiadi meyakini bahwa politik praktis bukan tempat yang tepat bagi peneliti. Dia punya pandangan seperti cendekiawan terkemuka Indonesia, Soedjatmoko, bahwa peneliti atau cendekiawan sebaiknya berada di luar kekuasaan, untuk mengontrol jalannya kekuasaan dan membangun kekuatan masyarakat sipil.
Apalagi ilmu yang dimiliki peneliti sering kali berbeda dengan kebutuhan politik praktis. Pengalaman ini antara lain dirasakan Kristiadi saat menjadi tim dari Kementerian Dalam Negeri yang menyusun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Butuh 12 tahun untuk membahas RUU itu. Tapi, akhir dari perdebatan itu adalah perhitungan politik. Sejumlah partai khawatir kepentingannya akan terganggu jika tak setuju sejumlah ketentuan, terutama tentang syarat kepala daerah di Yogyakarta,” tuturnya.
Penelitian
Sejarawan Sartono Kartodirjo jadi sosok penting yang mengantarkan Kristiadi menjadi peneliti. Sekitar tahun 1974, Sartono mengajaknya ikut penelitian yang dilakukan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.
Kristiadi, yang bisa kuliah di UGM setelah ayahnya menjual sawah dan ibunya bekerja mencari tambahan penghasilan ini, menyambut gembira ajakan itu. Pasalnya, dia mendapat honor yang amat membantunya melanjutkan kuliah. Lama-lama, ia merasakan kenikmatan saat melakukan penelitian. Hal ini membuatnya memutuskan, setelah lulus dari Universitas Gadjah Mada, bergabung dengan CSIS.
Kristiadi yang lahir di Yogyakarta pada 14 Maret 1948 melihat, hidupnya berjalan dari satu mukjizat ke mukjizat lainnya. Saat kecil, mukjizat itu, misalnya, terjadi ketika dia mendapatkan buku yang diinginkan. Sementara saat di CSIS, dia merasa dapat mukjizat ketika diminta mengambil program doktor pada tahun 1990, dan kemudian dapat menyelesaikan studi itu selama 3,5 tahun pada tahun 1994 dengan predikat cum laude. ”Pergaulan di Jakarta meyakinkan saya bahwa harta bukan jaminan. Membekali anak dengan pendidikan yang baik jauh lebih penting. Mukjizat membuat saya dapat menyekolahkan anak saya di Australia,” kata ayah dari dua anak ini.
Berbagai pengalaman hidup itu makin meneguhkan kepercayaan dan kepasrahannya kepada Sang Pencipta. Baginya, kini yang terpenting adalah berkontribusi yang terbaik untuk bangsa, negara, dan imannya.