Sebuah Nama untuk Hadirkan Keadilan...
Biarkan dunia melihat, pada sehelai tinta emas
Kalam kehidupan hati yang bersinar, yang mekar pada setiap nurani
Bertekun melakoni insinyur kepribadian, kini menjadi profesor kebahagiaan
Belum sekalipun gentar menuliskan arah
Benar pula menjabarkan setiap langkah
Seraya tak lepas menenteng cahaya, pada dinding bangsa
Sebuah nama akan terus terbaca
Penggalan puisi berjudul "Perjalanan Sunyi" karya dokter dan kolumnis Handrawan Nadesul itu seakan memastikan, sebuah nama akan terus terbaca kalau membicarakan makna keadilan di negeri ini. Puisi itu, dalam keseluruhan baitnya, dalam pigura nan sederhana, terpampang di kediaman mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto (85) di kawasan Rempoa, Kota Tengerang Selatan, Banten.
Puisi yang ditujukan bagi mantan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) itu pun dibacakan Handrawan saat Adi Andojo meluncurkan buku tentang dirinya berjudul Menjadi Hakim yang Agung, yang ditulis A Bobby Pr dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas, awal tahun ini, di Bintaro, Tangerang Selatan. Buku itu mengisahkan kehidupan Adi Andojo sejak dini hingga menjalani masa pensiun, termasuk berbagai putusan yang dibuatnya, sehingga menyeretnya dalam konflik di lingkungan kerjanya, MA.
"Saya tidak terlalu dekat dengan hakim, khususnya di lingkungan MA. Bahkan, saya sempat dikucilkan. Namun, tidak sedikit hakim yang memberikan dukungan, terutama hakim di daerah, tetapi mereka tidak berani terbuka karena khawatir kariernya terganggu," ujar Adi Andojo di kediamannya, pekan lalu. Ia didampingi istrinya, Hj Tuti Sirdariati.
Nama Adi Andojo mencuat di publik, dan diidentikkan dengan keberanian untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), khususnya di lembaga peradilan kala tahun 1996 ia memunculkan dugaan kolusi terkait penanganan perkara Gandhi Memorial School. Perkara ini melibatkan hakim agung sehingga terdakwa Ram Gulumal atau V Ram yang sebelumnya dinyatakan bersalah dan dihukum di tingkat pengadilan negeri dan tingkat banding justru dibebaskan di tingkat kasasi. Adi Andojo sebagai ketua muda MA pidana umum, setelah mengetahui adanya dugaan kolusi dan penyimpangan lainnya, menunda pelaksanaan putusan kasasi itu demi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Jaksa pun diminta mengajukan upaya hukum peninjauan kembali agar perkara itu bisa dibuka kembali.
Sikap Adi Andojo yang mencoba melawan penyimpangan itu bukan didukung sebaliknya mendapatkan "perlawanan" dari pimpinan MA ataupun sejumlah hakim agung. Mereka menyatakan, dugaan kolusi yang disampaikan Adi Andojo hanya sebuah kesalahan prosedur. Bahkan, Ketua MA (saat itu) Soerjono meminta kepada Presiden Soeharto agar memberhentikan Adi Andojo dengan hormat karena melakukan tindakan indisipliner.
Namun, usulan pimpinan MA itu dilawan masyarakat yang melalui berbagai organisasi dan individu mendukung Adi Andojo. Bahkan, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam suratnya tertanggal 6 September 1996 meminta Presiden menolak usulan pimpinan MA. Pemberhentian Adi Andojo, menurut DPA yang diketuai Sudomo, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA dan akan semakin merusak citra MA. Usulan pemberhentian Adi Andojo juga dinilai hanya sebagai upaya menutupi kemelut di MA.
Meski tidak lagi diberikan kewenangan untuk membagi perkara dan terlibat dalam rapat di MA, padahal itu adalah tugas dan haknya sebagai ketua muda MA, Adi Andojo pensiun sebagai hakim agung sesuai ketentuan, yakni ketika berusia 65 tahun, pada 11 April 1997. Hakim agung yang juga menangani perkara pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan kasus pidana Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Muchtar Pakpahan itu meneruskan kiprahnya untuk mewujudkan keadilan di negeri ini melalui jalur pendidikan, kemasyarakatan, dan penulisan.
Ketika kemampuan penglihatannya terganggu, setelah terserang stroke dan penyakit gula (diabetes mellitus), Adi Andojo tetap menulis dan mengajar, menularkan semangat memperbaiki hukum yang bobrok di negeri ini. Bahkan, saat tak mampu lagi melihat sejak tahun lalu, seperti Dewi Keadilan yang matanya tertutup, Adi Andojo yang dibantu istri dan anaknya tetap menyuarakan keadilan melalui tulisannya. Ia tak pensiun untuk melawan KKN meski terkadang lelah juga karena kondisi hukum dan keadilan di negeri ini tak sepenuhnya membaik.
Lawan terbesar dari setiap upaya melawan korupsi dan ketidakadilan di negeri ini, ujar Adi Andojo, justru datang dari elite politik, bukan dari rakyat. "Seperti sekarang, untuk apa DPR mempersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan hak angket? Ya, sebab KPK banyak menangkap anggota DPR yang korupsi. Namun, saya percaya KPK akan menang. Rakyat mendukung KPK," ujarnya.
Adi Andojo pun pernah memimpin Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 2000. Tim ini pun bergerak cepat dengan membuka kasus dugaan korupsi di tubuh MA. Namun, Peraturan Pemerintah No 19/2000 tentang Pembentukan TGPTPK pun dibatalkan MA dalam pengujian materi (judicial review). TGPTPK bubar.
Berangkat dari keluarga
Adi Andojo berasal dari keluarga hakim. Bapaknya, Mas Soetjipto Wongsoatmodjo, pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro, Jawa Timur, dan Kepala Tata Usaha MA. Dari bapak dan ibunya, Raden Nganten Soetjiati Sosrodihardjo, itu pula Adi Andojo belajar mengenai makna kejujuran dan keadilan. Bapaknya acapkali menolak sogokan. Adi Andojo pun tahu.
Tumbuhnya laku adil, jujur, dan sikap antikorupsi, kata Adi Andojo, harus dimulai dari keluarga. Orangtua harus dapat menjadi teladan saat mendidik anak-anaknya. "Bapak (Adi Andojo) tak mengizinkan anak-anak menggunakan mobil dinas, misalnya untuk ke sekolah meskipun diantar sopir. Mobil dinas itu, menurut Bapak, ya untuk urusan dinas saja," kata Tuti Sirdariati, istri Adi Andojo. Menumpang ke sekolah pun mereka tak pernah.
Keempat anaknya pun terbiasa memakai angkutan umum untuk ke sekolah atau melakukan aktivitas lain. Namun, ujar Tuti, suatu saat Adi Andojo melihat kedua putrinya bergelantungan di bus ketika pulang dari sekolah. Mereka tak tega. Dengan tabungan yang ada, mereka membeli mobil untuk urusan keluarga, khususnya untuk antar-jemput anak-anak.
Dalam keluarga, Adi Andojo juga menanamkan sikap patuh pada hukum. Ia tidak mengizinkan anak-anaknya mengendarai kendaraan dan mempunyai surat izin mengemudi (SIM) hingga mereka berusia 17 tahun. Oleh sebab itu, ia prihatin dengan sejumlah pelanggaran lalu lintas, termasuk kasus tabrakan, yang pengemudinya masih di bawah umur. Orangtua sering kali tidak mampu menolak permintaan anak, atau tak jarang orangtua mau "lepas tanggung jawab" menjaga anaknya. "Misalnya, anaknya meski belum 17 tahun tetap dicarikan SIM dan boleh membawa kendaraan sendiri karena angkutan umum di daerahnya sangat jarang. Ini tak boleh terjadi. Orangtua harus bertanggung jawab," kata Adi Andojo lagi.
Sikap tegas dan jujur Adi Andojo membuat keluarganya dapat menikmati hidup dengan tenang meskipun tinggal di rumah dinas. Ketika menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat, tahun 1974, Adi Andojo belum mempunyai rumah pribadi pula. Dia baru mampu membangun rumah pribadi pada 1975, antara lain setelah mendapat pinjaman dari Gubernur Jabar (saat itu), Aang Kunaefi, yang boleh diangsur dari potongan gajinya dan honorarium sebagai pembicara.
Adi Andojo mengakui, dalam situasi saat ini, saat konsumerisme kian merebak dan kehidupan dipenuhi dengan berbagai kemudahan, memang tak mudah menjaga kejujuran, keadilan, dan antikorupsi dalam keluarga sekalipun. Namun, ia percaya, jika keluarga mampu menerapkan budaya malu, bisa dipastikan akan terhindar dari persoalan hukum, termasuk korupsi. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, JE Sahetapy, dalam pengantar untuk buku Adi Andojo, menuliskan, membumikan budaya malu, terutama dalam keluarga, menjadi kunci agar bangsa ini bisa terbebas dari korupsi.
Dalam artikelnya, Adi Andojo pun menuliskan, kalau sudah kekenyangan, pasti ketahuan boroknya. Seorang pencuri, misalnya, yang sudah kekenyangan mencuri, suatu ketika pasti tertangkap polisi. Seorang koruptor, kalau sudah kebanyakan makan uang negara, pasti akan ditangkap KPK. Seperti ungkapan bahasa Belanda: "Earste keer doet zeer, Twede keer, nog meer, Derde keer", Nah lu ketahuan! (Pertama kali, nikmat, kedua kali, mau tambah lagi, ketiga kali... nah lu kamu ketahuan) (Kompas, 21/11/2015). Malulah mulai melakukan kejahatan! (tri agung kristanto)