Terus Bergerak Menyebarkan Ilmu
Ditemui di rumahnya di kawasan Gunung Batu, Bandung, Jawa Barat, Senin (19/6), Sawitri Supardi Sadarjoen (74) tengah menyusun buku tentang psikosomatika. Beberapa buku referensi tergeletak di meja kerjanya yang berada di dekat jendela dengan pemandangan halaman belakang yang asri.
"Psikosomatika itu (tentang) keluhan-keluhan (sakit) yang benar-benar menyertakan peran psikolog dalam proses perawatan pasien yang menderita (gangguan) psikosomatik," kata Sawitri, yang sosoknya dikenal publik antara lain melalui tulisannya di rubrik konsultasi psikologi Kompas dalam 20 tahun terakhir.
Sejak awal menjadi psikolog dan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, tahun 1974, Sawitri meyakini bahwa peran psikolog sangat penting bagi proses penyembuhan pasien di rumah sakit. "Pendekatan holistik menyatakan, orang yang sakit fisik itu sebenarnya secara mental juga sakit," kata Guru Besar Psikologi Klinis ini.
Banyak kasus sakit fisik yang dialami seseorang merupakan manifestasi gangguan atau ketegangan emosional yang dialami si penderita. Ketegangan emosional itu disalurkan ke bagian tubuh yang paling lemah sehingga terjadilah gangguan soma (fisik). "Misalnya orang yang mengalami gastritis (sakit maag), berarti maag itu bagian terlemah dari tubuhnya. Setiap orang berbeda. Peran psikolog adalah memahami gejala fisik atau gangguan psikofisiologikal. Perlu konseling, terapi untuk mendampingi proses perawatan medis," ujarnya.
Penyembuhan penyakit kronis, seperti kanker, juga tidak hanya ditentukan oleh faktor medis, tetapi juga psikologis. Rasa marah, tertekan/depresi, cemas, tidak mempunyai harapan hidup akibat menderita penyakit itu, jika tidak ditangani akan bisa membuat harapan hidup orang tersebut lebih pendek. Sawitri mencontohkan mahasiswanya yang mendampingi anak penderita kanker. "Dari semula anak itu tidak mau ngomong, sampai akhirnya ia mau ngomong. Ini bagian penting dalam proses penyembuhan," katanya.
Meskipun demikian, lanjutnya, tidak mudah bagi psikolog untuk membantu menangani pasien, di rumah sakit sudah ada psikiater. Sama-sama mengarahkan pelayanan dalam bidang psikologi dan kesehatan mental, pendekatan yang dilakukan psikiater dan psikolog berbeda. Pelayanan psikiater lebih ke medis, dan juga psikoterapi. Sementara psikolog berperan membantu pemulihan kesehatan aspek mental pasien dengan pendekatan perilaku.
Mengembangkan ilmu
Dengan pertimbangan itu, Sawitri pun berjuang mengembangkan psikologi medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan juga di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) Bandung. Tidak mudah mewujudkan cita-citanya itu, karena banyak pihak tidak setuju, sampai akhirnya direktur RSHS yang waktu itu baru pulang dari luar negeri mendukung rencananya.
"Dia mengatakan, di mana-mana, di Eropa dan Amerika Serikat, di rumah sakit ada bagian psikologinya. Dia ngotot mempertahankan saya dan mengizinkan saya membuka psikologi medis. Banyak pihak (tetap) tidak setuju, tetapi saya juga ngotot," kata Sawitri sambil tertawa mengenang perjuangannya membuka psikologi medis di RSHS Bandung.
Selain sangat penting dalam proses penyembuhan pasien, keberadaan bagian psikologi medis di RSHS juga sangat penting sebagai teaching hospital (tempat praktik) bagi para mahasiswanya. "Supaya mahasiswa berpengalaman," katanya.
Ketika menjabat Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Sawitri pun mengembangkan teaching hospital karena prinsipnya, teori harus diimbangi dengan praktik. Dari upayanya ini, lahirlah Rumah Sakit Immanuel Bandung.
Ingin terus mengembangkan ilmunya, Sawitri memutuskan mewarnai kurikulum di Fakultas Psikologi Universitas Yarsi Jakarta dengan Psikologi Kesehatan. "Mata kuliah Psikologi Kesehatan saya tambah, beda dengan kurikulum nasional," katanya.
Sawitri beralasan, seiring maraknya pembangunan rumah sakit, kebutuhan psikolog di rumah sakit pun meningkat. "Mereka pasti membutuhkan psikolog untuk organisasinya, untuk mengelola sumber dayanya, komunikasi dokter-pasien, dan juga untuk promosi kesehatan. Banyak sekali masalah psikologis yang harus ditangani psikolog," kata Sawitri, yang sejak 2006 "mendobrak" kurikulum nasional untuk jurusan psikologi.
Sejumlah kerja sama pun dijalin, baik dengan industri, yayasan, maupun rumah sakit, untuk memberi kesempatan mahasiswanya menimba pengalaman dan menyalurkan minatnya. Harapannya, para mahasiswanya menjadi konselor dan terapis yang baik sehingga dapat membantu orang lain.
Seiring perkembangan zaman, katanya, tantangan yang dihadapi masyarakat semakin berat. Masyarakat dituntut menyesuaikan diri dengan era digital, kompetisi di segala bidang semakin ketat, belum lagi konsumerisme, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut masyarakat beradaptasi. Bagi beberapa orang, perkembangan-perkembangan tersebut bisa membuat tertekan, dan karena itu harus dibantu mengatasinya.
Meski awalnya menggeluti bidang psikologi secara umum, sejak 1987 Sawitri memilih menekuni psikologi klinis. "Bagi saya, psikologi klinis itu menjadi dasar untuk memahami psikologi-psikologi yang lain dan menerapkan esensi psikologi klinis dalam penanganan kasus-kasus di setting mana pun, setting industri, rumah sakit, sosial, pendidikan, bahkan perkembangan anak," katanya.
Selain itu, pendekatan atau relasi dalam psikologi klinis lebih personal, berbeda dengan psikologi industri yang relasinya supervisial. "Dinamika psikologinya dalam, dari setiap individu yang datang konseling atau terapi (kepada saya). Saya bisa kenal (secara) personal sama klien saya. Sampai-sampai mereka mengibukan saya. Mereka masih suka datang, mengajak anak-anak mereka yang memanggil saya eyang," kata Sawitri yang membuka praktik di rumahnya sejak 1977.
Selama 17 tahun terakhir ini, atau sejak tahun 2000, Sawitri lebih berkonsentrasi ke masalah perkawinan, dan doktornya pun di bidang perkawinan. Tulisannya di Kompas juga banyak tentang keluarga dan perkawinan. Sawitri juga menulis sejumlah artikel di jurnal psikologi dan majalah, serta menulis sejumlah buku untuk menyebarluaskan ilmunya.