Suatu kali seorang kawan mengunggah beberapa foto pemandangan matahari terbit yang dijepretnya dari pesawat udara di media sosial. Banyak kawan berkomentar, ”Keren!” Pada kesempatan lain saya memakai sarung batik milik almarhum ibu. Beberapa teman memuji, ”Kamu keren!” Ketika artikel seorang kawan dipublikasikan di surat kabar terkemuka, muncul pujian, ”Keren!”, yang diungkapkan secara verbal, pun tertulis oleh beberapa anggota grup media sosial.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV mendefinisikan keren sebagai: (1) tampak gagah dan tangkas; (2) galak, garang, lekas marah; (3) lekas berlari cepat (tentang kuda); (4) perlente (berpakaian bagus, berdandan, rapi, dan sebagainya). Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi II memadankan keren antara lain dengan aksi, elegan, flamboyan, kece, mentereng, necis, perlente, elok, menawan, rapi. Dari pengartian KBBI dan padanan kata Tesamoko, keren menunjuk kepada aspek penampilan seseorang atau hal-hal bersifat fisik dan sifat. Flamboyan, perlente, gagah, tangkas serta juga sifat lekas marah, galak, dan garang. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, keren digunakan pula untuk segala sesuatu yang bagus, elok, atau bermutu yang tak berhubungan dengan penampilan atau sifat orang.
Meski sudah terekam dalam KBBI dan Tesamoko, dalam pemakaiannya kata keren merupakan bahasa gaul dan tidak dipandang sebagai bahasa resmi. Kalaupun digunakan dalam tulisan, hanya untuk bahasa lisan atau bahasa gaul yang ditulis. Para penyair tak pernah menggunakan kata keren dalam sajak-sajaknya untuk melukiskan sesuatu yang indah atau memukau. Pun kritikus sastra setahu saya tak pernah memuji suatu karya dengan sebutan keren.
Bahasa pada dasarnya merupakan organisme hidup sehingga pemakaian kata dalam kehidupan sehari-hari bisa bergerak jauh dari pengartian kamus itu sendiri. Kata keren hanya satu contoh, bagaimana pergaulan sosial dan media sosial akhirnya menggerakkan arti kata semakin kompleks dan luas. Namun, saya curiga bahwa pemakaian kata keren untuk segala sesuatu yang dipandang bermutu, bagus, indah, necis, anggun termasuk tulisan ilmiah, lukisan, sastra, atau fotografi didorong oleh kebutuhan akan ungkapan singkat, spontan, dan populer untuk memuji atau mengagumi. Dalam konteks ini, keren menjadi sejajar dengan kata seru: wah, o, atau astaga. Dilihat dari perspektif literasi, memang terjadi simplikasi dan pemiskinan bahasa dan imajinasi. Takkan ada gambaran seperti dalam gambaran tentang Tanah Air sebagai tanah surga dalam lirik lagu ”Kolam Susu” karya Koes Plus: bukan lautan hanya kolam susu/kail dan jala cukup menghidupimu/tiada badai tiada topan kau temui/ikan dan udang menghampiri dirimu.
Muncul juga kecurigaan bahwa meluasnya pemakaian kata keren didorong oleh kemalasan menguraikan secara lebih rinci, ditambah lagi malas mengetik di tombol ponsel atau tablet. Di media sosial, kata keren bahkan sering diganti dengan emosikon (ikon emosi) jempol dan gambar-gambar lain yang searti, sejajar dengan sistem komunikasi hieroglif 40.000 tahun lalu di Mesir atau bahasa gambar dalam budaya-budaya baheula dunia.
Dunia pendidikan tentu takkan kompromi jika siswa atau mahasiswa menggunakan emosikon dalam karya-karya ilmiah mereka untuk menguraikan pemikiran mereka, juga media massa cetak. Era digital telah memperluas dan menghidupkan komunikasi yang mengembangkan bahasa gambar sebagaimana pernah hidup ratusan ribu tahun lalu.
Rainy MP Hutabarat
Cerpenis dan Pekerja Media