GRESIK, KOMPAS — Sebanyak 92 peserta lawatan budaya dari 25 sekolah di Jawa Timur, Minggu (24/9), mengunjungi kawasan kota lama di Gresik, di antaranya Kampung Kemasan dan Gardu Suling. Sebelumnya, mereka mengunjungi makam Siti Fatimah binti Maimun di Desa Leran, Kecamatan Manyar. Mereka juga menyusuri benteng di kawasan Mengare.
Ketua Panitia Lawatan Budaya Gresik V Adib Chilmi mengatakan, kegiatan itu difasilitasi Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari 325 proposal yang masuk, panitia menyeleksi 30 proposal. Gresik termasuk yang dipercaya menggelar kegiatan lawatan budaya.
”Ini juga bisa menghidupkan potensi wisata budaya di Gresik. Di Mengare, peserta tinggal di rumah penduduk yang disulap jadi homestay. Kami berharap warga Gresik lebih peduli pada potensi wilayahnya,” kata Adib.
Ia berharap para pelajar yang menjadi peserta dan guru pendamping setidaknya bisa menularkan virus merawat warisan budaya, terutama bangunan-bangunan kuno yang bernilai sejarah. Di Gresik, sejumlah bangunan kolonial masih terpelihara hingga kini, termasuk Kampung Kemasan dan bangunan rumah Gajah Mungkur di Jalan Nyi Ageng-ageng Arem-arem.
Penanda sejarah lainnya adalah Gardu Suling yang dibangun pada 1929 di Pojok Jalan HOS Cokroaminoto yang dahulu digunakan untuk membunyikan sirene ketika pasukan Belanda datang. Sejumlah bangunan di Kampung Kemasan rata-rata dibangun pada tahun 1990-an.
Salah satu ahli waris dan penghuni rumah di Kampung Kemasan, Oemar Djainoeddien, menuturkan, di Kampung Kemasan dahulu hidup seorang perajin emas keturunan China bernama Bak Liong. Keahliannya amat terkenal sehingga banyak pelanggannya dan kampung itu disebut Kemasan. Sepeninggal Bak Liong, kampung itu terbengkalai.
Lalu, pada 1855, H Oemar bin Ahmad, pengusaha penyamakan kulit, mendirikan sebuah rumah di kawasan itu. Ia pun merintis usaha sarang walet. Enam tahun kemudian ia membangun beberapa rumah lagi. Pada 1896, kesehatan H Oemar menurun. Penyamakan kulit diteruskan anak-anaknya, yakni Asnar, Marhabu, Abdullah, Djaelan, Djaenoeddin, Moechsin, dan Abdoel Gaffar.
Rata-rata rumah peninggalan H Oemar berarsitektur zaman kolonial Belanda dengan sentuhan budaya China. Hal itu terlihat dari konstruksi tiang pada bangunan, daun jendela bergaya klasik, disertai jendela tipuan, dan warna bangunan dominan merah.
”Kami yang menghuni rumah-rumah tersebut tidak mengubah keaslian bentuknya, hanya merawatnya sampai kini,” kata Oemar Djainoeddin, cucu H Oemar, kepada peserta.
Pecak macan
Selain bisa menikmati bangunan kuno, peserta disuguhi pencak macan, kesenian khas pesisir Kelurahan Lumpur. Seni tersebut memadukan atraksi pencak silat, sekaligus seni tradisional mirip jaranan, yang diiringi musik gong, kenong, dan jidor (beduk). Ada yang mengenakan kostum macan dan monyet, ada yang bertopeng mirip gendruwo, dan ada yang berkostum ala kesatria (pendekar) menari-nari mengikuti irama tetabuhan.
Budayawan Gresik, Fattah Yasin, menjelaskan, pencak macan juga tertulis dalam serat macapat Sindu Joyo. Kini ada lima kelompok seni pencak macan. Seni itu dahulu digunakan untuk mengiringi pengantin, mulai dari rumah pengantin pria menuju rumah pengantin wanita. Di tengah perjalanan biasanya diselingi atraksi pencak.
Pencak macan sebenarnya menggambarkan sifat atau watak manusia. Manusia harus mengendalikan hawa nafsunya agar tidak seperti binatang, macan yang cenderung menguasai atau monyet yang usil. Manusia juga harus bisa menjaga diri agar tidak terseret godaan setan yang digambarkan dengan gendruwo.
”Prinsipnya selalu berbuat baik dan meminta perlindungan Tuhan agar terhindar dari berbagai godaan,” kata Fattah.
Ketua Masyarat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mata Seger) Kris Adji menambahkan, pencak macan juga menggambarkan kehidupan suami istri dalam berkeluarga. Jika tidak bisa mengendalikan diri dan menuruti godaan, akan muncul pertengkaran atau perselisihan yang digambarkan melalui pertikaian macan (simbol suami) dan monyet (istri).