logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanHindari Kriminalisasi
Iklan

Hindari Kriminalisasi

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah hendaklah memprioritaskan kepentingan perlindungan perempuan dan anak yang rentan dikriminalisasi karena ketentuan di sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Karena itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta Panitia Kerja RUU KUHP di DPR mengakomodasi rekomendasi yang diserahkan Komnas Perempuan beberapa waktu lalu. Pasal-pasal yang berpotensi menyisakan persoalan pada kemudian hari harus dicabut sebelum RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang. Langkah ini penting untuk menghindari kriminalisasi berlebihan terhadap perempuan dan anak. "Rekomendasi Komnas Perempuan penting karena perempuan dan anak merupakan bagian dari proses politik yang tidak bisa diabaikan pemerintah dan DPR," ujar Sri Nurherwati, anggota Subkomisi Reformasi Hukum dan HAM Kebijakan Komnas Perempuan, pada seminar "Mewujudkan RUU KUHP yang Menghindarkan Kriminalisasi terhadap Perempuan" di Jakarta, Senin (25/9).Oleh karena itu, Komnas Perempuan berharap pembahasan RUU KUHP tetap berdasarkan penegakan hak asasi manusia serta penghormatan atas harkat dan martabat, termasuk penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan korban.Menurut Nurherwati, sebelum menyampaikan rekomendasi, Komnas Perempuan melakukan kajian terhadap beberapa ketentuan pasal dalam draf RUU KUHP, termasuk Bab XI tentang Tindak Pidana Kesusilaan.Perluasan soal zina Kajian Komnas Perempuan antara lain terhadap norma yang diatur dalam Pasal 484 Ayat (1) Huruf (e) yang mengatur perluasan tentang zina. Frasa "pihak ketiga yang tercemar" dalam pasal ini harus dihapus karena memberi peluang terjadinya kriminalisasi yang berlebihan terhadap perempuan. Pasal 488 RUU KUHP mengenai pemidanaan orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan yang sah juga harus dihapuskan. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi orang yang terikat perkawinan, tetapi belum dianggap sah oleh negara karena berbagai hambatan dan persoalan pemenuhan hak pencatatan yang belum dipenuhi negara. Komnas Perempuan juga merekomendasikan bagian perkosaan dan kesusilaan agar dikeluarkan dari Bab Kesusilaan dan dipindahkan dalam Bab tentang Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang.Selain itu, frasa "dan belum kawin" dalam RUU KUHP Pasal 490 Ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 498 Ayat (2) direkomendasikan dihapus karena secara implisit menunjukkan penerimaan terjadinya praktik perkawinan usia anak yang melanggar terhadap perlindungan hak anak. Frasa berkelakuan baik dalam Pasal 496 juga harus dihapus karena berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap korban atas dasar latar belakang keluarga, riwayat kehidupan, pekerjaan, dan identitas sosial.Selain pasal-pasal tersebut, Komnas Perempuan juga merekomendasikan ketentuan pidana mati dihapus dalam RUU KUHP dan mengusulkan pidana alternatif dengan pidana pejara seumur hidup atau pidana penjara lain.Selain Nurherwati, tampil sebagai narasumber dalam seminar tersebut pakar HAM yang juga mantan anggota Komnas HAM, Enny Soeprapto; Suhariyono AR, Tenaga Ahli Pemerintah Kementerian Hukum dan HAM; serta Afdhal Mahatta, staf Komisi III DPR. Enny menyatakan, ketentuan dalam RUU KUHP Pasal 484 Ayat (1) Huruf e, Pasal 488, 490 Ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 498 Ayat (2) haruslah selaras dengan asas dasar HAM, yakni asas dasar nondiskriminasi, hak atas kesetaraan di depan hukum, dan hak atas kehidupan pribadi.Enny bahkan meminta kata-kata "dan belum kawin" dalam RUU KUHP Pasal 490 Ayat (2) harus dihapus karena mengandung arti walaupun belum berusia 18 tahun, tetapi sudah kawin tidak lagi dikategorikan anak. Jika pasal itu dipertahankan, hal itu berarti anak yang berumur 18 tahun jika sudah menikah tidak lagi berhak hak perlindungan khusus yang dijamin UU. Delik paling seksi Suhariyono mengatakan, sejak awal penyusunan draf RUU KUHP, pemerintah selalu berhati-hati. Dia mengungkapkan pengalaman saat menyusun RUU yang bersinggungan dengan kemajemukan penyusunannya tidak sembarangan karena harus mengundang ahli dan antar-kementerian/lembaga, mulai dari penyusunan hingga pembahasan di DPR. "Delik kesusilaan paling seksi karena berkaitan dengan kemajemukan serta banyak agama dan kepercayaan yang memengaruhi latar belakang penyusunan RUU," kata Suhariyono. Afdhal menambahkan, RUU KUHP sebenarnya sudah dibahas pada DPR periode lalu. Namun, karena pembahasan tidak selesai, ketika periode anggota DPR berganti prosesnya dimulai lagi dari awal. RUU tersebut baru masuk lagi di DPR pada Juni 2015. "Targetnya akhir 2017 ini selesai, Oktober, November, atau Desember," ujarnya. (son)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000