logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanIntervensi Belum dari...
Iklan

Intervensi Belum dari Perspektif Lokal

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pendefinisian kembali istilah afirmatif untuk masyarakat Papua dan Papua Barat, terutama kaum perempuan, perlu dilakukan. Hal ini bertujuan agar program pemulihan, perlindungan, dan pemberdayaan mereka dari kekerasan bisa dilaksanakan sesuai kebutuhan masyarakat Papua, bukan berdasarkan anggapan orang-orang di luar Papua."Saat ini, segala bentuk pemberdayaan dirancang masyarakat di luar Papua dan Papua Barat. Saat diterapkan, tak bisa menyasar pada akar masalah," kata Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Azriana Rambe Manalu, dalam diskusi peluncuran buku Sa Ada di Sini: Suara Perempuan Papua Menghadapi Konflik yang Tidak Kunjung Usai di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Rabu (18/10).Buku ini merupakan hasil riset selama empat tahun Lipi beserta Asian Justice and Rights dan organisasi-organisasi pemberdaya perempuan Papua lainnya. Sebanyak 170 perempuan dari 7 kabupaten atau kota di Papua dan Papua Barat menjadi subyek penelitian. Mereka menerangkan sejumlah tindak kekerasan yang mereka alami, baik oleh keluarga maupun aparat negara. Kekerasan berlapisAzriana mengatakan, perempuan Papua dan Papua Barat mengalami kekerasan berlapis. Kekerasan pertama berada di ranah domestik karena perempuan merupakan istri, ibu, ataupun anak dari laki-laki Papua yang mengalami impunitas oleh negara. Impunitas ini di ranah domestik dilampiaskan sebagai kekerasan kepada perempuan. Kedua, perempuan mengalami kekerasan politik karena identitas mereka sebagai suku bangsa Papua. Mereka distigma sebagai warga negara kelas dua, bahkan separatis, sehingga mendapat perlakuan sewenang-wenang.Adapun alasan ketiga adalah perempuan Papua mengalami kekerasan akibat identitas mereka sebagai perempuan. Saat dihadapkan pada masalah tak ada akses pada pelayanan dasar, tidak memiliki keamanan, dan miskin, mereka menjadi korban."Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, serta Percontohan Wilayah Bebas Kekerasan terhadap Perempuan di Papua Barat hingga kini belum diterapkan," kata Azriana.Anggota DPRD Papua Barat Fraksi Otonomi Khusus, Frida Kelasin, menjelaskan, identitas perempuan masih dilihat dari identitas ayah. Saat ia menikah, identitas perempuan disangkutkan menjadi milik suami.Apabila seorang perempuan kehilangan ayah dan suami, identitasnya tak dianggap masyarakat. "Apalagi, mereka tidak punya akses kepada kepemilikan aset, seperti rumah dan tanah. Harus ada pengakuan pada identitas perempuan sebagai individu terlebih dulu, baru bisa bergerak kepada masalah lain," kata Frida, yang juga anggota Kelompok Kerja Perempuan Papua.Terkait dengan hal itu, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti menegaskan, harus ada rekonsiliasi dengan cara mengungkap kebenaran terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat. Jika hal tersebut bisa didiskusikan secara terbuka, proses pemulihan korban kekerasan dan pemberdayaan bisa dilaksanakan secara berkelanjutan. "Masalah di Papua adalah soal kita semua yang berpengaruh pada kemajuan bangsa," ujarnya. (DNE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000