logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanKetiadaan KTP Hambat Hak Anak
Iklan

Ketiadaan KTP Hambat Hak Anak

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Birokrasi yang prosedural menjadi kendala anak-anak Indonesia mendapat akses ke pendidikan dan kesehatan. Mereka tidak mendapatkan hak bersekolah ataupun berobat ke fasilitas kesehatan lantaran orangtua tidak memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah anak di Indonesia usia 0-18 tahun 86 juta orang. Namun, jumlah penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berusia 6-21 tahun, yakni di usia sekolah, hanya 17 juta orang.Salah satu kendala adalah sulit mengajak anak-anak yang putus sekolah ataupun tidak pernah mengenyam pendidikan kembali ke bangku pendidikan. Anak-anak itu sukar ditemukan karena mereka tidak berdiam di kampung halaman. Banyak yang merantau ke wilayah lain dan tidak diketahui keberadaannya.Contoh persoalan ini antara lain ditemukan pada kegiatan pemberdayaan anak-anak jalanan ataupun anak dari keluarga kurang mampu yang berusia 2-17 tahun di Cikini, Jakarta Pusat. Banyak anak yang tidak memiliki akta kelahiran sehingga tak mendapat akses ke KIP dan Kartu Indonesia Sehat. "Orangtua mereka juga tak bisa mengurus dokumen ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil karena tak memiliki KTP dan KK," ujar pendiri Sekoci, Ajeng Satiti Ayuningtyas, Sabtu (21/10). Layanan pendidikan yang diberikan Sekoci bukan hanya berupa kognitif, melainkan juga karakter, kebersihan, dan kesehatan reproduksi. Di sela-sela kegiatan sosial Sekoci yang disponsori perusahaan media sosial Bigo Live, Ajeng mengatakan, meskipun minat anak-anak belajar meningkat, mereka tetap sukar melanjutkan pendidikan. Mayoritas orangtua anak-anak asuh Sekoci adalah pendatang dari luar wilayah Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi. Salah satu contohnya Eja (33) asal Pandeglang, Banten. Ia merantau di Jakarta pada usia 19 tahun bersama suaminya. Mereka bekerja sebagai pedagang asongan untuk menghidupi empat anak usia 2-12 taun.Eja sekeluarga tak punya rumah. Ia dan suami tak memiliki KTP dan KK sehingga keempat anak mereka tidak memiliki akta kelahiran. Anak-anaknya tidak satu pun mengenyam pendidikan formal ataupun kesetaraan dan kursus. Anak bungsunya yang berusia dua tahun baru sekali divaksin saat baru lahir.Beberapa anak asuh Sekoci juga memiliki orangtua pemulung. Pada malam hari, mereka tidur di dalam gerobak yang digunakan untuk mengangkut sampah. Saat pemeriksaan kesehatan, anak-anak itu tidak hanya mengalami kekurangan gizi. Beberapa di antaranya juga mengidap gigi busuk dan berlubang, bahkan ada juga yang infeksi telinga. "Orangtua enggan membawa anak ke fasilitas kesehatan karena tak punya biaya. Sekoci kadang yang membawa anak-anak berobat apabila ada dana dari donatur," ucap Ajeng.Terjebak prosedurGuru Besar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin, Makassar, Muhammad Nur Sadik yang dihubungi dari Jakarta, Minggu, menjabarkan bahwa layanan masyarakat di Indonesia masih berorientasi pada prosedur berupa formalitas dan kelengkapan berkas, bukan pada tujuan akhir."Sangat nyata orang-orang miskin tetap tidak bisa mengakses sekolah dan fasilitas kesehatan lantaran secara administratif tidak terdaftar sebagai warga setempat. Padahal, mereka setiap hari hidup di jalanan di sekitar lembaga-lembaga tersebut," katanya.Nur Sadik memaparkan, hendaknya lembaga negara ataupun masyarakat mengutamakan pelayanan terlebih dulu. Misalnya, memberi akses ke sekolah dan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu, bukan mengedepankan kelengkapan berkas. Sebab, percuma juga memberi bantuan berdasarkan dokumentasi wilayah dan kependudukan sementara masih ada kelompok masyarakat yang tidak terjangkau."Bagaimanapun orang-orang miskin itu juga warga negara Indonesia. Hendaknya mereka bisa diberi afirmasi mengakses segala layanan publik di mana pun, baru kemudian secara bertahap dibereskan berkas kependudukannya," ucap Nur Sadik. Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menjelaskan beberapa waktu lalu, pemerintah harus memastikan segala bantuan yang diberikan tepat sasaran. Karena itu, butuh ketelitian pengurusan berkas sejak level kelurahan hingga pusat dari segi nama, tanggal lahir, identitas orangtua, dan alamat.Menurut dia, jika tidak ada pengarsipan yang saksama, bantuan rawan disalahgunakan. Bahkan, bisa juga diberikan kepada orang yang sebenarnya tidak membutuhkan.Kendala terbesar dalam persebaran KIP adalah mencari anak-anak putus sekolah. Kemdikbud mencatat ada 2,9 juta anak putus sekolah dan tak bersekolah. Namun, baru 576.441 orang yang menerima KIP. (DNE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000