JAKARTA, KOMPAS — Untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak, selain menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana, pemerintah juga menerbitkan PP No 44/2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak. PP ini sangat penting untuk mencegah praktik-praktik pengasuhan anak yang berkedok ”panti asuhan” atau ”lembaga pengasuhan anak”, tetapi sebenarnya melakukan eksploitasi dan penelantaran anak.
Selama ini belum ada aturan yang secara khusus mengatur prosedur pengawasan terhadap anak-anak sedang dalam pengasuhan pihak lain di luar keluarga kandungnya. Akibatnya, banyak anak menjadi korban eksploitasi, bahkan ada yang sampai korban perdagangan orang. Umumnya anak-anak yang di bawah pengasuhan pihak lain tidak terdata dan terdokumentasi sehingga sulit dilakukan pengawasan.
Kehadiran PP No 44/2017 yang ditandangani Presiden Joko Widodo pada 16 Oktober 2017, yang merupakan mandat Undang-Undang No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, menjadi penting. PP ini mengatur tentang pengasuhan anak apabila pada kondisi tertentu anak terpaksa hidup dengan keluarga selain orangtua kandungnya atau di dalam lembaga asuhan anak.
”PP ini diharapkan bisa mencegah malapraktik di lembaga-lembaga pengasuhan anak atau panti-panti asuhan yang tidak berizin, yang berkedok panti asuhan dan menggalang dana. Mereka main asuh anak saja tanpa ada legalitas dan tidak bisa dikontrol. Dengan adanya PP ini, sekarang tidak bisa lagi seperti itu, harus tercatat di dinas kependudukan, dan pengasuhannya sesuai aturan sehingga bisa dikontrol,” kata Kepala Biro Hukum Kementerian Sosial Bhakti Nusantoro pada Dialog dan Sosialisasi Peraturan Pemerintah No 44/2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak di Jakarta, Jumat (17/11).
PP ini diharapkan bisa mencegah malapraktik di lembaga-lembaga pengasuhan anak atau panti-panti asuhan yang tidak berizin, yang berkedok panti asuhan dan menggalang dana.
Sosialisasi PP Pengasuhan Anak yang digelar Yayasan Sayangi Tunas Cilik dan Kemensos dan didukung Australian Aid ini juga dihadiri Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher dan anggota Komisi X DPR, Venna Melinda (perwakilan masyarakat yang mengangkat anak).
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Nahar mengatakan, PP No 44/2017 akan menjadi pedoman pengawasan terhadap pengasuhan anak akan lebih ketat. Ini karena dalam PP ini diatur secara jelas pengasuhan anak di luar dan di dalam panti asuhan sosial, pengaduan dan pelaporan, bimbingan dan pengawasan, serta ketentuan lainnya. PP tersebut juga untuk memastikan bahwa kondisi anak yang terpaksa tidak tinggal bersama orangtuanya, termasuk yang ditempatkan di panti asuhan, tetap terlindungi dan mendapatkan hak-hak dan pengasuhan sebagai anak.
Kendati demikian, PP tersebut membawa pesan bahwa menitipkan anak di panti asuhan adalah upaya terakhir apabila orangtua tidak mampu mengasuh anak.
”Kasus GW di Kebon Jeruk yang akhirnya meninggal, kasus Angeline di Bali, kasus lima anak yang ditelantarkan di Cibubur, kasus kekerasan anak di sebuah panti sosial di Tangerang, Lampung, dan Riau menggambarkan bahwa pola pengasuhan yang salah dapat berdampak buruk untuk anak-anak,” ujarnya.
Pasal 3 PP No 44/2017 bahkan dengan tegas mengamanatkan bahwa setiap anak berhak diasuh oleh orangtuanya sendiri. Selanjutnya PP ini juga mengatur kapan seorang anak harus dipisahkan dari orangtuanya untuk kepentingan terbaik bagi anak dan mendapatkan pengasuhan di lembaga pengasuhan anak.
Menurut Ali Taher, PP tersebut selain merupakan langkah preventif juga memberi kepastian akan pengakuan terhadap jaminan dan perlindungan dari negara bagi masa depan anak-anak di Indonesia. Adapun Vena dalam sosialisasi tersebut berharap dengan adanya PP No 44/2017 akan makin melindungi anak-anak terutama yang ditelantarkan keluarga.
Kemiskinan
Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Sayangi Tunas Cilik Tata Sudrajat mengatakan, PP Pengasuhan Anak diinisiasi dan dikawal sejumlah organisasi masyarakat sipil bersama Save the Children sejak 2007. Save the Children, organisasi anak independen terkemuka di dunia yang berkantor pusat di Inggris, beroperasi di sekitar 120 negara, termasuk Indonesia, dengan misi menyelamatkan nyawa anak-anak, memperjuangkan hak mereka, dan membantu mengembangkan potensi mereka.
”Ada lebih dari setengah juta anak Indonesia yang tinggal di panti asuhan. Sembilan puluh persen dari anak tersebut masih memiliki satu atau dua orangtua kandung dan enam puluh persen di antaranya masih punya ibu-ayah lengkap. Kondisi anak-anak yang tinggal di panti asuhan ini pada umumnya tidak lebih baik dari kondisi jika diasuh keluarga,” kata Tata.
Ada lebih dari setengah juta anak Indonesia yang tinggal di panti asuhan. Sembilan puluh persen dari anak tersebut masih memiliki satu atau dua orangtua kandung dan enam puluh persen di antaranya masih punya ibu-ayah lengkap.
Penyebab utama anak-anak yang memiliki orangtua yang tinggal di panti asuhan adalah kemiskinan. Hasil penelitian Kemensos, Save the Children, Unicef, pada 2007 menemukan kemiskinan menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar anak terhadap kesehatan, nutrisi, dan pendidikan yang baik. Stres yang berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, dan akses yang terbatas pada sumber daya menambah risiko penelantaran anak.
Data dari Program Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 menunjukkan bahwa pada 2011, sebanyak 23,4 juta anak usia di bawah usia 16 tahun hidup dalam kemiskinan dan 3,4 juta anak usia 10-17 tahun bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Mayoritas dari mereka hanya tamat sekolah dasar. Untuk memastikan keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka, banyak orangtua yang mengirim anak-anak mereka ke salah satu dari 5.000-8.000 lembaga pengasuhan anak yang disebut panti yang kebanyakan adalah lembaga swasta.
”Riset itu menyebutkan bahwa tujuan penempatan anak ke panti adalah untuk mendapatkan pendidikan. Fungsi panti kemudian lebih pada penanganan kemiskinan daripada sebagai alternatif pengasuhan,” kata Tata.
Koordinasi pemda
Kepala Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita Direktorat Rehabilitas Sosial Anak Kemensos Puti Chairida Anwar mengatakan, pemerintah hanya memiliki sembilan lembaga pengasuhan anak tingkat regional yang tersebar di sejumlah daerah. Untuk lembaga pengasuhan anak yang dikelola swasta diperkirakan ada 6.000 panti asuhan dan mayoritas anak penghuni panti asuhan masih memiliki keluarga.
”PP ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah karena itu kita harus berkordinasi dengan pemerintah daerah untuk pelaksanaan PP tersebut,” kata Puti.
Setelah PP No 44/2017 terbit, selanjutnya akan dibentuk lembaga pengasuhan anak melalui Peraturan Menteri Sosial (Permensos). Lembaga bersama dinas sosial setempat akan melakukan seleksi terhadap calon orangtua asuh. Selain itu, Kemensos juga menyiapkan modul untuk sertifikasi calon orangtua asuh, serta penguatan kapasitas tenaga-tenaga dinas sosial dan pekerja sosial yang akan melakukan penilaian atas calon-calon orangtua asuh.