Pendekatan Jangan Sekadar Legal Formal
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didesak untuk segera mengambil langkah untuk memahami kondisi lapangan dari persoalan agama tradisi. Sementara pendekatan yang hanya bersifat legal formal berpotensi melahirkan tindakan diskriminasi baru. Selain itu, pemerintah juga diharapkan memulihkan atau memberikan kompensasi atas tidak diakuinya hak seseorang untuk memeluk kepercayaan atau agama tradisi selama ini. Demikian disampaikan Yando Zakaria dari gerakan spontanitas Arkeologi untuk Indonesia (AuI) dan Sandrayati Moniaga, komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, di Jakarta, Selasa (21/11). Sebelumnya, AuI dan Asosiasi Arkeologi Indonesia (AAI) yang didukung sejumlah akademisi dan pegiat di bidang hukum, arkeologi, hak asasi manusia, dan sosiologi mengeluarkan Pernyataan atas Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016. Mereka mendesak pemerintah segera membuat aturan-aturan dan menyusun penyelarasan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan semua warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa baik dalam bidang pendidikan, sosial, hukum, ekonomi, sosial, politik, kemiliteran dan keamanan dengan melibatkan para pakar secara komprehensif dan menyeluruh.Putusan tersebut, antara lain, menyatakan mengakui bahwa kepercayaan merupakan hak asasi atau hak dasar alamiah dan diakui dalam Pasal 28E Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 29 UUD 1945. Berdasarkan putusan tersebut, agama tradisi atau kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama dalam kartu tanda penduduk. Yando mengatakan, "Sebelum melaksanakan Putusan MK tersebut pemerintah harus berkonsultasi dengan para pemeluk yang beragama tersebut. Pemerintah tidak bisa meninggalkan mereka." Menurut dia, jumlah agama tradisi ini bisa 300-400 dengan sistem religinya masing-masing. "Sementara yang terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya 137 organisasi. Yang tidak terorganisasi lebih banyak, terutama yang ada pada masyarakat adat di wilayah terpencil," katanya. Menurut Yando, "Sistem religi ini lebih banyak dianut oleh komunitas adat yang belum terintegrasi dalam pengorganisasian formal. Sehingga, kalau pelaksanaan putusan ini dilakukan dengan pendekatan legal formal, akan banyak sekali (masyarakat) yang tercecer. Hal itu perlu dilakukan dengan hati-hati dan sabar agar tidak melahirkan diskriminasi baru." Dia mengingatkan, sebelum mengambil keputusan, pemerintah harus benar-benar memahami kondisi lapangan dari persoalan agama tradisi ini.Menurut Sandra, dalam melaksanakan Putusan MK No 97 tersebut, pemerintah juga seharusnya membuat kebijakan memberikan kompensasi atau pemulihan atas kerugian karena hak-hak yang telah dilanggar. Kerugian atas hak-hak yang dilanggar ini terjadi pada mereka para pemeluk agama tradisi atau kepercayaan berupa tidak diakuinya perkawinan mereka, tidak terbitnya akta kelahiran bagi si anak, yang pada masyarakat adat hal itu mengakibatkan anak tak dapat sekolah. (isw)