Hak-hak Publik Masih Terabaikan
JAKARTA, KOMPASUpaya melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang tidak juga selesai, kini menimbulkan potensi masalah baru. Dalam rancangan revisi yang digarap DPR, kepentingan publik yang 15 tahun ini terabaikan akan makin tergerus oleh komersialisasi dan kepentingan pemilik lembaga penyiaran.
UU Penyiaran hadir pada 2002 di tengah euforia reformasi, tiga tahun setelah UU Pers disahkan dan menjadi perwujudan kebebasan pers. Namun, setelah 15 tahun berlaku, kepentingan publik ternyata masih terabaikan.
"Penyiaran masih sangat berorientasi komersial, dengan penekanan pada acara-acara yang sensasional dan tidak peduli pada publik atau informasi berkualitas dan hiburan yang sehat," kata pengamat media Ignatius Haryanto dalam Diskusi 15 Tahun Undang-Undang Penyiaran di Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu (6/12).
Penyiaran masih sangat berorientasi komersial, dengan penekanan pada acara-acara yang sensasional dan tidak peduli pada publik atau informasi berkualitas dan hiburan yang sehat.
Menurut Haryanto, industri penyiaran masih dilumuri kepentingan para pemiliknya. Beberapa televisi sengaja membuat isi tayangan penuh puja-puji kepada para pemiliknya atau aneka cara untuk berkampanye terselubung terhadap calon tertentu menjelang pemilihan umum.
Di sisi lain, asosiasi televisi swasta yang ada cenderung tak peduli dengan urusan politik di layar kaca sejauh kapling iklan dan kapling frekuensi tetap mereka kuasai. Tak terlihat adanya keinginan asosiasi televisi swasta untuk menegur pemilik media yang melakukan pelanggaran, apalagi memberikan sanksi atas pelanggaran penyiaran yang adil, berimbang, dan obyektif.
Pengabaian kepentingan publik secara luas juga tampak dari munculnya konten-konten penyiaran yang cenderung sangat "Jakarta sentris" sehingga konten penyiaran menjadi tidak relevan bagi masyarakat di luar Jakarta. "Peran media komunitas di beberapa daerah, termasuk di wilayah bencana, sebenarnya sangat konkret. Namun, mereka justru dinafikan dan sulit mendapat frekuensi," ujar Haryanto.
Proses tertutup
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Nina Mutmainnah Armando, mencium "bau tak sedap" dari proses revisi UU Penyiaran saat ini. Menurut dia, proses penyusunan rancangan revisi UU ini terkesan tertutup bagi publik. "Hingga awal Desember 2017, draf Rancangan UU Penyiaran masih di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Baleg mengubah pasal-pasal substansial dan memberi keistimewaan luar biasa kepada Lembaga Penyiaran Swasta (LPS)," ujarnya.
Beberapa ketentuan yang bermasalah dalam draf RUU Penyiaran Baleg tanggal 3 Oktober 2017, menurut Nina, tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dalam draf tersebut, peran Komisi Penyiaran Indonesia ditumpulkan karena hanya bertugas mengawasi isi siaran semata. Sebaliknya, justru muncul Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) yang bisa didirikan oleh partai politik untuk kepentingan propaganda politik pula.
Pengabaian kepentingan publik juga muncul dalam penerapan Sistem Siaran Berjaringan yang tidak jalan dan justru dilakukan secara akal-akalan. Faktanya, banyak LPS tidak mempunyai stasiun di daerah dan hanya me-relay konten-konten stasiun-stasiun televisi lainnya.
Segelintir orang
Draf RUU Penyiaran yang tengah digodok Baleg DPR juga tidak jelas mengatur tentang pembatasan kepemilikan stasiun televisi. Hal ini tentu saja berpotensi mengukuhkan kepemilikan stasiun televisi di tangan segelintir orang.
Nina juga mengkritisi masih tingginya porsi iklan di lembaga penyiaran. Waktu siaran iklan komersial untuk LPS paling tinggi 30 persen dari waktu tayang setiap program. Persentase iklan yang diatur ini hanyalah untuk iklan spot. Sementara itu, masih ada iklan non-spot yang tidak diatur dalam RUU tersebut.
Rapat terakhir pembahasan RUU Penyiaran 3 Oktober 2017 lalu masih buntu karena setelah diambil voting tentang pilihan operator, ada fraksi yang meninggalkan forum rapat sehingga rapat tidak kuorum.
"Dilihat dari perspektif kepentingan publik, pilihan operator tunggal jauh lebih bermanfaat karena pilihan itu dapat menghentikan oligopoli industri penyiaran," ucap Nina.
Pada prinsipnya, media penyiaran menggunakan spektrum frekuensi radio yang merupakan ranah publik yang sifatnya terbatas. Karena itu, pemanfaatannya harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan dan kemaslahatan publik.
Ketua Panitia Khusus UU Penyiaran 2002, Paulus Widiyanto, membenarkan bahwa pelibatan publik dalam pembahasan RUU Penyiaran sangat terbatas. Tidak ada sosialisasi kepada publik dalam proses penyusunannya.
"Kendala waktu dan momen memasuki \'tahun politik\' (2018 dan 2019) turut menghambat proses legislasi UU Penyiaran. Di sisi lain, peranan lembaga swadaya masyarakat media penyiaran terbatas dan melemah. Siapa mengawal siapa, tentang apa, dan bagaimana hasilnya bagi kepentingan publik?" kata Paulus.
(ABK)