JAKARTA, KOMPAS – Perdamaian dan persatuan menjadi pesan utama Natal 2017. Pesan itu diperteguh untuk mengantisipasi potensi perpecahan bangsa seiring dinamika sosial politik yang terjadi sepanjang tahun ini.
“Gesekan-gesekan akibat perbedaan pandangan hendaknya tidak ditanggapi secara tergopoh-gopoh. Kami mengingatkan untuk menggunakan jalan perdamaian dalam menyelesaikan perbedaan sikap. Persatuan bangsa harus dijaga,” ujar Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Henriette TH Lebang di Jakarta, Jumat (15/12).
Situasi sosial politik tersebut meliputi beragam isu, yaitu mulai dari potensi politisasi dalam perayaan Natal dan hari besar keagamaan, ancaman radikalisme dan terorisme, hingga dampak perbedaan pandangan terkait pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Gesekan-gesekan akibat perbedaan pandangan hendaknya tidak ditanggapi secara tergopoh-gopoh. Kami mengingatkan untuk menggunakan jalan perdamaian dalam menyelesaikan perbedaan sikap. Persatuan bangsa harus dijaga
Henriette mengatakan, setiap menjelang akhir tahun PGI dan Konferensi Waligereja Indonesia selalu mengeluarkan pesan Natal bersama. Tema Natal tahun ini adalah “Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah dalam Hatimu” (Kolose 3: 15a).
Tema itu dianggap merefleksikan kondisi saat ini. Henriette berharap, umat Kristiani menemukan makna Natal yang utama, yaitu kasih dan kedamaian.
Henriette mengingatkan agar Natal dirayakan dengan sukacita sekaligus penuh kepedulian terhadap sesama. Sebab, masih banyak masyarakat belum sejahtera dan membutuhkan pertolongan.
“Rayakan Natal dengan sederhana, tertib, dan hikmat. Hindari perayaan yang cenderung boros dan mewah sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan terhadap kesusahan orang lain,” ucapnya.
Pilkada
Menghadapi tahun 2018 yang berbarengan dengan Pilkada serentak, Henriette berpesan kepada umat Kristiani agar tidak terjebak dalam isu agama. Dia khawatir, ego sektarian dalam berpolitik dapat memicu perpecahan.
Ketua IV PGI Albertus Patty mengatakan, pesan menjaga persatuan bangsa sangat penting kembali ditekankan dalam perayaan Natal. Sebab, dalam dua tahun ke depan, Indonesia akan memasuki tahun politik.
Perbedaan pandangan dan pilihan politik tidak dapat dihindarkan dalam Pemilu. Oleh sebab itu, gereja juga berperan agar perdamaian tetap dikedepankan dalam perbedaan tersebut.
Perayaan Natal tahun ini mengajak masyarakat menyikapi semua persoalan dengan pikiran rasional tanpa membenci kelompok tertentu
“Isu agama berpotensi digunakan pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 sehingga dapat memecah belah bangsa. Perayaan Natal tahun ini mengajak masyarakat menyikapi semua persoalan dengan pikiran rasional tanpa membenci kelompok tertentu,” jelasnya.
Menurut Albertus, ancaman perpecahan bangsa juga dapat disebabkan faktor eksternal. Dia mencontohkan sikap Presiden AS Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
“Sikap sepihak Trump itu menyebabkan pro kontra di antara gereja-gereja. Persoalan Jerusalem sebenarnya masalah politik. Jadi, jangan sampai di Indonesia persoalan itu dijadikan isu agama karena dapat menimbulkan perpecahan,” ujarnya.
Perayaan di Monas
Terkait rencana perayaan Natal di Monas (Monumen Nasional), PGI menyatakan menghormati ajakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu untuk menggelar perayaan Natal di Monas. Namun, PGI menyarankan agar perayaan Natal bersama dilakukan di dalam ruangan, bukan di luar ruangan seperti di Monas.
PGI menyarankan agar perayaan Natal bersama dilakukan di dalam ruangan, bukan di luar ruangan seperti di Monas.
Menurut Albertus, perayaan Natal di tempat terbuka yang berdekatan dengan obyek vital akan dikaitan dengan pengerahan massa. Untuk itu, agar tidak dihubungkan dengan politisasi kegiatan keagamaan, mereka lebih memilih merayakan Natal di tempat lain.
Ketua PGI Wilayah DKI Jakarta Manuel Raintung mengatakan, tradisi perayaan Natal bersama di Jakarta digelar di dalam ruangan, karean itu PGI menyatakan tidak akan ikut perayaan Natal di Monas.