Melayani dalam Keterbatasan
Angin bertiup sepoi-sepoi di tanah lapang di kompleks Yayasan Ar-Ridwan, Desa Kalisabuk, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah. Sepintas tampak lengang. Seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun duduk melamun di kursi sambil sesekali mengaduk minuman dalam cangkir plastiknya. Matanya awas saat didekati, tetapi ramah ketika menunjukkan tempat pengurus berada.
”Kalau mau cari pengurus, ada di dalam situ,” kata perempuan berambut keriting itu sambil menunjuk sebuah ruangan di dekatnya, Kamis (14/12).
Tidak jauh dari perempuan itu, duduk pula seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun di lantai. Perempuan berambut lurus panjang itu mengenakan daster merah. Sambil bersimpuh, sorot matanya seolah mencari-cari sesuatu dan tidak peduli apa yang ada di depannya. Sesekali tersenyum dan berbisik, dia berulang kali berkata seorang diri: ”Saya sukanya yang di dinas pariwisata.”
Melangkah lagi ke samping rumah KH Himamudin Ridwan sebagai pengasuh pondok pesantren serta Panti Rehabilitasi Fisik dan Mental Ar-Ridwan, tampak sebuah ruangan mirip bangsal berukuran sekitar 15 meter x 5 meter dengan pintu teralis besi.
Di dalamnya tampak beberapa perempuan asyik dengan dirinya sendiri. Ada yang berdiri mematung pada pintu besi. Ada pula yang duduk di lantai menarik-narik bajunya sendiri dan juga membuat gerakan tangan dan jari seperti sedang memilah-milah sesuatu.
Pada sisi lain terdapat sejumlah bilik dan ruangan berbentuk ”L” berteralis besi. Pada bagian atas tembok terdapat kawat berduri. Di dalamnya terdapat beberapa orang laki-laki. Ada yang duduk diam. Ada yang tidur-tiduran berbalut sarung. Ada pula yang hanya bercelana, berdiri diam menggenggam teralis dengan luka-luka koreng di kakinya.
Minim tenaga
Menurut pengurus Panti Rehabilitasi Fisik dan Mental Ar-Ridwan, Abdul Aziz, tempat itu dihuni 80 penyandang disabilitas mental (PDM). Sebanyak 28 di antaranya perempuan dan lainnya laki-laki berusia 16-60 tahun. Sebagian besar merupakan orang tidak mampu. Keluarga sudah habis-habisan mengeluarkan ongkos berobat ke sana kemari untuk pengobatan anggota keluarga PDM, tetapi tidak kunjung sembuh.
Penghuni sebanyak itu hanya dilayani tujuh orang perawat putra dan empat orang perawat putri. Aziz menyampaikan, pihaknya kewalahan merawat setiap pasien. ”Idealnya satu perawat memegang 2-3 orang atau mungkin empat orang. Jika satu perawat memegang 10 orang, cukup kesulitan,” kata Aziz yang merupakan putra dari KH Himamudin Ridwan.
Karena keterbatasan tenaga tersebut, pihaknya memandikan para pasien satu kali pada waktu pagi hari, dan saat itu juga tempat tinggal mereka dibersihkan dari kotoran. Kendati diberi fasilitas mandi cuci kakus, mereka tidak dapat memanfaatkannya. Terpaksa, perawatlah yang membersihkannya.
Pihak panti tak menetapkan tarif perawatan PDM setiap bulan. Biasanya pertama kali PDM datang, keluarga pasien membayar Rp 500.000, dan selanjutnya sukarela. Untuk biaya operasional setiap hari, panti mengelola kebun sayur yang dapat dimanfaatkan untuk makan para pasien. Mereka juga kadang menerima bantuan seperti beras dan bahan makanan dari sejumlah donatur. Belum ada bantuan dari dinas sosial kecuali mereka sering menitipkan pasien-pasien gangguan jiwa di panti ini.
Menurut Aziz, ada sejumlah faktor yang menyebabkan gangguan jiwa, seperti rumah tangga yang tidak harmonis, perceraian orangtua, dan kondisi ekonomi.
Berdiri sejak 1996, panti ini telah melayani rehabilitasi sekitar 5.000 orang dari sejumlah daerah di Indonesia, baik melalui konsultasi, rawat jalan, maupun menginap di sana. Metode penyembuhan yang digunakan adalah pendekatan agama dan juga akupunktur menggunakan jari. Pada siang hari, sebagian diperbolehkan keluar bangsal seperti dua perempuan tadi. Sebagian lainnya tetap dikunci dalam bangsal karena berpotensi kabur. ”Ada juga yang dirantai. Jika tidak, mereka saling berkelahi,” ujar Aziz.
Di desa itu juga ada Jasono, warga di Jalan Al Qodiri yang memberi perhatian serupa. Di bawah naungan Yayasan Assalam Cilacap, Jasono mengasuh dan memimpin Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa dan Narkoba Tanbihul Ghofilin. ”Tanbihul ghofilin artinya mengingatkan orang yang lupa,” kata Jasono yang telah 17 tahun mengelola panti tersebut.
Di panti itu terdapat 18 PDM yang terdiri dari 11 laki-laki dan 7 perempuan. Jasono tak mematok tarif perawatan. ”Keluarga ada yang bayar Rp 1 juta per bulan, ada juga yang tidak bayar sama sekali,” katanya.
Berkebun
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jasono bersama delapan perawat—yang notabene mantan pasien yang sudah sembuh—mengolah sawah, kebun, ternak sapi, pengolahan kayu, dan bengkel. Di kebun terhampar tanaman kacang, pare, labu, cabai, oyong, kangkung, cipir, dan tomat. ”Lumayan cukup buat makan,” kata Jasono.
Menurut Jasono, kendati pantinya pernah mendapatkan bantuan dana operasional Rp 3 juta dari dinas sosial beberapa tahun silam, bantuan pemerintah dinilai masih minim. Bahkan untuk mendatangkan dokter umum dan dokter jiwa, sebulan sekali, pihaknya harus menyiapkan dana Rp 600.000.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak pemerintah mengawasi secara ketat panti- panti rehabilitasi sosial ataupun rumah warga yang menampung PDM (Kompas, 14/12).
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Cilacap Sunarti pun menyampaikan, pihaknya mengalami keterbatasan sumber daya manusia untuk mengawasi penyelenggaraan panti rehabilitasi disabilitas mental.
Dinas sosial malah merasa terbantu dengan adanya panti sosial swasta. ”Jujur saja masyarakat dan dinas terbantu. Ada orang telantar, keluarganya tidak mau menerima, mau ditaruh di mana? Panti eks psikotik penuh, antre. Sementara ini butuh segera penanganan dan ini ada panti swasta yang mau dititipin,” kata Sunarti.
(MEGANDIKA WICAKSONO)