MATARAM, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang privat, tetapi juga di ruang publik, termasuk di lingkungan sekolah dan kampus. Karena itu, semua kalangan harus bergerak bersama, termasuk anak-anak muda, untuk melawan dan menghentikan praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan.
Harapan ini mengemuka dalam unjuk bincang bertema ”Ciptakan Ruangmu, Ciptakan Perubahanmu: Anak Muda Bisa Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan” di Gedung Sangkuriang, kompleks Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di Kota Mataram, Senin (15/1).
Hadir sebagai narasumber dalam acara itu Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Hartina, Wakil Rektor UIN Mataram Atun Wardatun, dan Direktur Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Ruby Kholifah.
Kegiatan yang merupakan rangkaian dari Konferensi Anak Muda Pembawa Perubahan itu digelar Oxfam (The Oxford Committee for Famine Relief) Indonesia. Oxfam Indonesia bekerja sama dengan Aliansi Kerukunan Pemuda Lintas Agama (Akapela), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) NTB, Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) NTB, dan sejumlah organisasi yang bergerak dalam kampanye antikekerasan terhadap perempuan.
Pada kesempatan itu, para pembicara mendorong peserta yang berasal dari kalangan anak muda, mayoritas mahasiswa dan aktivis organisasi kepemudaan, untuk menyuarakan kesetaraan jender dan terlibat dalam gerakan stop kekerasan terhadap perempuan.
”Kadang-kadang ada yang tidak sadar ketika melakukan kekerasan, terutama dalam pendidikan ada yang mengatakan tidak ada kekerasan untuk mendidik, itu hanya imajinasi pelaku saja. Kekerasan juga sering tersembunyi. Orang berpendidikan pun tidak jamin bahwa dia tidak akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga,” kata Atun.
Karena itu, menurut Atun, di kampus pun tak luput dari kekerasan seksual dan diskriminasi berbasis jender. ”Selama pikiran-pikiran Anda belum tercerahkan, kekerasan akan muncul dalam berbagai bentuk mulai dari soft hingga yang radikal,” kata Atun.
Perkawinan anak
Adapun Ruby mengatakan,kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam praktik perkawinan anak. Dampak perkawinan anak bagi perempuan sangat mengerikan, bukan hanya merusak organ reproduksi, melainkan juga berdampak pada sumber daya manusia perempuan yang sangat rendah. Ketika menikah dalam usia anak- anak, pendidikan terhenti dan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
”Budaya kekerasan merajalela karena masyarakat sudah terbiasa melihat aksi kekerasan,” ujar Ruby. Dia meminta jika ada anak-anak perempuan yang masih sekolah dipaksa menikah oleh orangtuanya, teman-temannya harus membentuk solidaritas untuk mencegah perkawinan tersebut.
Hartina mengungkapkan, pemerintah saat ini gencar menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan gerakan stop perkawinan anak dengan berbagai program. ”Yang diperlukan adalah sinergi semua pihak karena pemerintah tidak bisa bergerak sendiri,” ujarnya.
Selain tokoh perempuan, Senin petang, sejumlah anak muda yang terlibat dalam aktivitas kampanye dan advokasi antikekerasan terhadap perempuan, termasuk gerakan menyebarluaskan gerakan perdamaian, tampil berbicara dalam forum tersebut. (son)