JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Perempuan Indonesia menilai legislator tidak berpihak kepada perempuan karena tidak memprioritaskan suara perempuan dalam daftar usulan Program Legislasi Nasional Prioritas 2018. Hal ini ditakutkan ketimpangan jender dan diskriminatif terhadap perempuan semakin meningkat.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, tahun 2017 merupakan tahun kelam bagi perjuangan mewujudkan kesetaraan jender. Hal itu disebabkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai mampu mendukung terwujudnya kesetaraan jender tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018.
Adapun ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).
”Ketidakadaan tiga RUU itu mencerminkan pemberdayaan perempuan tidak menjadi program prioritas pemerintah, dalam hal ini para legislator. Padahal, ketiga RUU itu telah terlalu lama tertunda,” ujar Dian , di Jakarta, Senin (15/1)
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diusulkan perubahan sejak tahun 2002, terutama untuk menghentikan praktik perkawinan anak. Batas usia minimal perkawinan bagi perempuan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah 16 tahun.
Pernikahan anak
Dian mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sekitar 11 persen dari jumlah perkawinan setiap tahun adalah perkawinan yang salah satu pihaknya berusia di bawah 16 tahun. Menurut dia, perkawinan anak berakibat pada kegagalan menuntaskan wajib belajar 12 tahun.
”Batas usia perkawinan yang ada sekarang masih tergolong usia anak. Apalagi, sekarang Indonesia menduduki urutan ketujuh di dunia dan kedua di Asia Tenggara sebagai negara yang paling banyak memiliki jumlah perkawinan anak,” ujar Dian.
Sementara itu, Dian menjelaskan, RUU PPRT yang dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam telah menyebabkan pekerja rumah tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja, dan upah rendah. Begitu pula dengan RUU KKG yang seharusnya menjadi legislasi strategis untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
”Dari sini sangat disayangkan bahwa tidak ada jaminan keterwakilan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan di dalam anggota legislatif,” ujar Dian.
Ketua Umum Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia menuturkan, seharusnya sasaran kebijakan responsif jender merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Namun, yang ada sekarang jauh panggang dari api.
”Belum ada kemajuan signifikan di tingkat kebijakan untuk kesetaraan jender. Ini bisa makin memojokkan perempuan,” ujar Siti.