JAKARTA, KOMPAS — Di tengah riuh rendah peredaran hoaks, sastra dan humaniora ditantang agar bisa menjadi ruang pembelajaran alternatif. Dengan keunikannya, karya sastra bisa membuka ruang-ruang dialog dan membuka perspektif dunia dengan cara berbeda.
Kini, dunia memasuki era pasca-kebenaran di mana yang terpenting bukan lagi kebenaran dan fakta obyektif, melainkan opini terkait emosi dan keyakinan personal. ”Banjir informasi terjadi dan tidak ada penjaga gawang untuk menyaring informasi, untuk menyaring mana yang benar dan tidak benar,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta, Rabu (17/1), dalam acara Bincang Tokoh #10 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara ini digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan mendatangkan moderator penulis sekaligus sastrawan Zen Hae.
Konteks global saat ini diwarnai dengan perubahan-perubahan besar, seperti surutnya pengaruh agama, berkembangnya ilmu pengetahuan/rasionalisme, kapitalisme media cetak sebagai pembangun komunitas seperti disebut oleh almarhum Ben Anderson, meningkatnya konservatisme agama, maraknya pengetahuan populer melalui media sosial, fenomena generasi muda ber-selfie, hingga fenomena ultranasionalisme, xenofobia, serta terorisme transnasional. Dalam situasi seperti ini, media sosial justru menjadi pembelah masyarakat. Semua orang berlomba-lomba meneruskan pesan anonim, mengulang apa yang sudah dikirim orang tanpa sempat menelaah kebenarannya.
Cermin masa kini
Sastra tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, termasuk peredaran hoaks yang sangat tinggi. Bahkan, dengan kemampuannya mengkritisi masa lalu dan masa kini, banyak karya sastra lama yang bisa mencerminkan kondisi masa kini. ”Sastra adalah fiksi tetapi mempunyai kebenaran simbolik yang lebih benar. Ia kaya akan rekaan yang mengungkap kebenaran. Sementara itu, hoaks adalah rekaan yang diinginkan untuk melawan kebenaran,” ujar Melani.
Kritik sastra masa lalu banyak yang akhirnya terjadi di masa kini karena sastra bisa mengimajinasikan kecenderungan yang berulang. Manuskrip-manuskrip lama karya Ranggawarsita, seperti Kalatida, bisa meramalkan fenomena-fenomena yang terjadi saat ini.
Menurut Melani, sastra memiliki keunggulan karena bisa melampaui ”tempurung” atau sekat-sekat dunia dengan cara-cara yang berbeda. Sastra juga bisa membangkitkan ruang yang bisa diisi dengan berbagai macam kemungkinan untuk membangun pengalaman yang berbeda-beda.
Melani menambahkan, saat ini muncul karya-karya sastra yang coba menyikapi dunia ini dengan berbagai macam cara. Namun, yang jelas, permasalahan global ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi sastra serta humaniora pada umumnya untuk mempersoalkan kembali apa arti manusia, bagaimana memanusiakan kembali manusia pada era masa kini.
Zen Hae sendiri menyebut paparan Melani mencoba mempertegas kerja studi budaya. Sekarang, cakupan sastra telah berkembang. Fakultas sastra kini bukan hanya menghasilkan sarjana sastra yang ahli dalam bidang kesusastraan, melainkan juga mereka yang menguasai ”bahasa dan kebudayaan dari suatu bangsa atau wilayah”.
Ketua Komite Sastra DKJ Yusi Avianto Pareanom menyebut, saat ini salah satu hal yang paling merisaukan adalah maraknya politik identitas dalam bentuk kedaerahan dan eksklusivitas. Seperti disebut di atas, banyaknya peredaran kabar bohong dan fitnah setiap kali ada pemilihan kepala daerah atau negara jadi contoh nyata betapa mencemaskannya politik identitas. (ABK)