JAKARTA, KOMPASDalam pertemuan informal membahas draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran, Selasa (13/2), di ruang kerja Ketua DPR, Jakarta, gagasan tentang sistem hybrid multiplexing yang dulu pernah digulirkan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia Ishadi SK kembali mencuat.
Dengan sistem hybrid multiplexing, DPR dan pemerintah berupaya mencari jalan tengah agar televisi swasta tetap diberi kesempatan untuk mengelola multiplekser sehingga terdapat dua pihak dalam pengelolaan frekuensi kelak, yaitu TVRI dan RRI selaku Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga-lembaga Penyiaran Swasta.
Pertemuan tersebut dihadiri Ketua DPR Bambang Soesatyo, Menkominfo Rudiantara, para pimpinan fraksi, dan Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafid. ”Menurut saya, yang ideal adalah bagaimana agar industri penyiaran yang masih eksisting (beroperasi sekarang) tetap bisa hidup, tetapi di sisi lain juga membuka peluang seluas-seluasnya untuk pemain baru masuk ke industri penyiaran sehingga kita memiliki industri-industri penyiaran yang sehat dan fair dengan beragam konten,” kata Meutya, Rabu (14/2), di Jakarta.
Sejak 2015 hingga sekarang, pembahasan RUU Penyiaran berjalan lambat. Karena itu, dalam pertemuan tersebut pemerintah berharap agar pembahasan RUU ini tidak berlarut-larut, apalagi pada 2018 ini merupakan tenggat bagi Indonesia untuk terjun ke digitalisasi penyiaran.
”Semakin lama, kita semakin tertinggal. Padahal, yang kita harapkan dengan adanya digitalisasi adalah akan ada kompetisi yang fair dan baik di dunia penyiaran. Mereka yang bermain di industri penyiaran pun bisa memberi suguhan dan pelayanan yang lebih baik,” katanya.
Bambang menyampaikan, sistem hybrid multiplexing adalah campuran antara sistem single mux dan multimux. Dengan mengombinasikan keduanya, diharapkan rasa keadilan bagi semua pihak, yaitu negara maupun para pelaku usaha industri penyiaran, bisa terpenuhi.
Tak ada jaminan
Menanggapi hal ini, pengamat penyiaran Ignatius Haryanto mengatakan, dengan sistem hybrid multiplexing, tidak ada jaminan bahwa keberagaman kepemilikan dan konten di dunia penyiaran akan terjaga. Dengan menyerahkan pengelolaan multiplekser ke negara dan swasta, tidak mudah untuk mencari siapa yang akan bertanggung jawab mengelola pembagian frekuensi secara adil kepada lembaga penyiaran.
”Dengan membagi frekuensi kepada kroni-kroninya, maka sulit untuk dikatakan akan ada satu terobosan isi siaran yang lebih beragam daripada sebelumnya,” kata Haryanto.
Saat ini, draf RUU Penyiaran baru akan dirapatkan pada sidang paripurna untuk kemudian ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Selanjutnya, Komisi I bersama pemerintah masih akan membahasnya kembali.
Dalam fase ini, publik masih berpeluang menawarkan sejumlah alternatif dan gagasan. Diharapkan DPR bersedia menerima masukan seluas-luasnya agar konten dari RUU ini benar-benar mewakili kepentingan masyarakat luas, bukan sekadar segelintir pemodal saja. (ABK)