JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap para korban masih sangat minim. Sementara itu, modus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terus berkembang dan meluas. Di wilayah publik, kekerasan meluas hingga ke ranah pendidikan, yang pelakunya adalah guru dengan korban para siswa.
”Dari semua kasus, dukungan sekolah terhadap korban sangat minim, bahkan cenderung membela pelaku. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak dalam mencari ilmu malah menjadi tempat yang membahayakan,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta Siti Mazumah dalam Diskusi Publik Laporan Tahunan LBH Apik Jakarta, Rabu (14/2), di Jakarta.
Siti mencontohkan, di Jakarta ada empat kasus kekerasan seksual di sekolah yang salah satu korbannya anak perempuan penyandang disabilitas yang hamil hingga melahirkan.
Laporan Tahunan 2017 LBH Apik Jakarta juga mengungkapkan sejumlah kasus kekerasan yang menimpa perempuan di DKI Jakarta. Sepanjang 2017, LBH Apik Jakarta menerima 648 pengaduan, dengan pengaduan tertinggi kasus kekerasan dalam rumah tangga (308).
Namun, dari 648 kasus yang didampingi LBH Apik, hanya 26 kasus pidana yang diputus pengadilan. ”Ketika masuk dalam proses hukum, selain proses hukum yang memakan waktu lama, tuntutan dan vonis terhadap pelaku kejahatan masih jauh dari rasa keadilan,” kata Veni Siregar, mantan Direktur LBH Apik Jakarta.
Kemarin, Laporan Tahunan 2017 LBH Apik Jakarta digelar dalam bentuk diskusi publik. Selain Siti Mazumah, diskusi yang dipandu aktivis perempuan Helga Worotitjan ini juga menghadirkan narasumber Sudirman WP (hakim tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta), Dwi Ayu Kartika (Koordinator Divisi Pemantauan Komnas Perempuan), dan Romy Leo Rinaldo (pengacara publik LBH Jakarta).
Aparat pasif
Dalam menangani proses hukum kasus korban kekerasan seksual, sejumlah kendala dihadapi, antara lain aparat penegak hukum masih bersikap pasif. Saat proses pembuktian, korban dibebani untuk mengumpulkan bukti dan saksi sendiri atas kekerasan seksual yang dialaminya. ”Proses hukum yang panjang dan melelahkan, sampai beberapa tahun, membuat korban enggan melanjutkan kasusnya,” kata Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta.
Sudirman berharap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum bisa diterapkan oleh semua hakim baik hakim laki-laki maupun perempuan. Selain itu, ke depan hakim juga harus proaktif menyampaikan kepada korban untuk mengajukan ganti rugi (restitusi) kepada pelaku.
Dengan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan, LBH Apik Jakarta mendesak pemerintah dan DPR agar mengedepankan kepentingan perempuan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. (SON)