Penulis dan penerbit perlu memprioritaskan pengenalan budaya Indonesia kepada dunia luar sehingga Indonesia makin dikenal dalam literasi secara multinasional.
JAKARTA, KOMPAS Setelah sukses di ajang Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia akan menjadi fokus pasar (market focus) di London Book Fair 2019. Mengusung tema ”17.000 islands of imagination”, karya yang dihasilkan diharap lebih mempromosikan Indonesia.
Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Joseph Pesik di Jakarta, Rabu (14/2), mengatakan, di dunia teknologi informasi saat ini, penulis harus dapat membuat karya yang tidak hanya berbasis buku, tetapi juga buku yang dapat dikonvergensikan dalam media apa pun, film, permainan, dan musik.
”Penulis kita punya potensi dengan konten yang tidak kalah hebat dengan penulis luar negeri, tetapi konvergensi antarmedia ini harus sudah dipikirkan agar terbangun sinergi lintas sektor dan ada peluang peningkatan nilai ekonomi kreatif,” ujar Ricky.
Ricky juga mengatakan, tantangan bagi penulis dan penerbit Indonesia adalah mempromosikan karya yang dihasilkan. Padahal, menurut Ricky, masyarakat Inggris menyukai buku karya Indonesia yang mengandung konteks budaya Indonesia.
”Penulis dan penerbit harus mempersiapkan diri agar menghasilkan karya yang beda dan khas Indonesia. Mereka juga harus bisa bertransaksi dengan pihak luar dengan baik,” katanya.
Pada pertemuan di Jakarta, Selasa malam, Ketua Komite Buku Nasional (KBN) Laura Prinsloo mengatakan, ada beberapa genre yang cocok untuk dipasarkan di Inggris, seperti Islam, keuangan, sastra, dan nonfiksi.
”Mereka memandang Indonesia sebagai negara terbesar yang berpenduduk Muslim dan sangat toleran, beraneka ragam suku, budaya, dan agama. Itu nilai jual kita,” ujarnya.
Laura mengatakan, tahun ini, setidaknya ada lima acara yang akan membawa buku-buku karya penulis Indonesia untuk unjuk gigi di ranah internasional. Acara tersebut adalah Bologna Children\'s Book Fair pada 26-29 Maret, London Book Fair pada 10-12 April, Beijing Book Fair pada Agustus, Frankfurt Book Fair pada Oktober, dan Sharjah International Book Fair.
Laura berharap para penerbit dapat menggunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya untuk menjual hak cipta bagi kalangan perbukuan di luar negeri. KBN sendiri telah memberikan pelatihan kepada penerbit dan penulis yang akan berangkat ke London Book Fair untuk bisa mempromosikan karyanya. Namun, ia mengaku tidak mudah bagi penerbit-penerbit kecil untuk pergi keluar karena terkendala biaya.
”Kami ingin pemerintah bisa memberikan fasilitas, karena kita, kan, juga concern pada penerbit-penerbit menengah dan kecil yang punya konten bagus. Tidak hanya penerbit besar,” katanya.
Kurang digarap
Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Nasir Tamara mengatakan, selama ini tulisan-tulisan tentang Indonesia malah ditulis orang asing. Padahal, orang Indonesia yang seharusnya paling memahami masalah sosial, politik, dan budaya di negaranya sendiri.
”Jadi, persepsi tentang Indonesia sebagai sebuah negara hanya dipandang dari sudut luar, tidak dari dalam. Orang Indonesia malah mengambil referensi dari luar. Ini tidak seimbang,” ujar Nasir.
Menurut Nasir, perlu bagi penulis dan penerbit untuk memprioritaskan pengenalan budaya Indonesia kepada dunia luar sehingga Indonesia semakin dikenal dalam literasi secara multinasional. Penulis Agustinus Wibowo mengatakan, riset yang mendalam sangat diutamakan dalam menulis budaya Indonesia. Selain itu, kunci utama untuk bisa menghasilkan karya yang bagus adalah dengan proses belajar dari penulis senior, tidak hanya dalam negeri, tetapi juga luar negeri. ”Jadi, kita bisa punya referensi yang lebih luas untuk bertutur soal Indonesia dengan membandingkan negara lain,” ujarnya. (DD18)