Para ”Pencilan” di Jagat Seni Rupa
Gencarnya inovasi dan cepatnya perkembangan teknologi semakin melompati tahapan panjang proses berkreasi. Karya-karya yang membutuhkan ketelitian dan proses panjang dianggap tak efisien, boros, dan kurang visibel. Namun, anggapan ini tak dihiraukan para pegrafis.
Di kalangan seni rupa, pegrafis ibarat seperti pencilan, fenomena yang menyimpang dari sekumpulan fenomena lainnya. Di saat para perupa lainnya berlomba-lomba membuat karya-karya populer yang bisa dihasilkan dalam waktu cepat dan diminati pasar, para pegrafis membenamkan dirinya pada proses panjang penciptaan karya-karya seni cetak grafis yang sialnya, tidak terlalu laku di pasaran!
Barangkali di sinilah justru letak keunikan seni cetak grafis atau biasa disebut seni grafis. Keberanian para pegrafis memilih ”jalan sunyi” ini menarik untuk ditelusuri.
Jika penikmat seni mau melongok ke dapur pembuatan karya-karya grafis mungkin mereka baru bisa menyadari bagaimana ketelatenan pegrafis berkarya dari tahap ke tahap mampu menghasilkan karya-karya yang mengejutkan.
Proses pembuatan seni grafis menarik karena menyimpan kejutan-kejutan dari proses pencetakannya. Keasyikan-keasyikan penciptaan karya seni grafis itu bisa dirasakan dari berbagai macam teknik grafis, mulai dari cukil kayu (teknik cetak tinggi), intaglio (teknik cetak dalam), serigrafi (teknik cetak saring), ataupun litografi (teknik cetak datar).
Teknik kuno
Dari berbagai macam teknik yang ada, cetak tinggi merupakan seni cetak grafis tertua. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Desain Indonesia, Devy Ferdianto, teknik cetak muncul seiring bangsa China menemukan teknik pembuatan kertas akhir abad I Masehi.
”Prinsip cetaknya sederhana, mulai dari pengukiran stempel batu hingga cukilan di atas kayu sebagai acuan cetak. Bagian pada permukaan acuan yang tidak ingin dicetak dikikis atau dicukil sehingga bagian yang mencetak menyerupai relief memiliki kedudukan paling tinggi. Tinta kemudian dilabur pada permukaan acuan cetak dan dipindahkan ke atas kertas dengan menggosok bagian sisi belakang kertas agar gambar pada relief berpindah ke atas kertas,” katanya.
Teknik cetak tinggi pada umumnya menggunakan kayu sebagai acuan cetak. Karena itulah, teknik ini lebih populer disebut cukil kayu.
Di Eropa, teknik cetak tinggi berkembang sekitar tahun 1400 ketika industri cetak membutuhkan ilustrasi menggunakan teknik ukir kayu. Di Indonesia, pada 1946 perupa Mochtar Apin dan Baharoedin Marasutan memelopori penggunaan teknik cukil kayu menggunakan linoleum, lembaran padatan serbuk kayu yang diikat dengan linseed oil. Karena linoleum jarang ditemukan di Indonesia, banyak pegrafis menggantinya dengan medium lain yang serupa, yaitu hardboard.
Batuan langka
Teknik seni grafis lain yang relatif jarang dipraktikkan pegrafis Indonesia adalah teknik cetak datar atau litografi. Seni cetak litografi ditemukan Alois Senefelder di Jerman tahun 1798. Dahulu, litografi digunakan untuk media pencetakan majalah, koran, poster, dan produk cetak massal lain.
Litografi menggunakan media utama batu sebagai alat cetak. Batu tersebut ditambang di daerah Solnhofen, Bavaria, Jerman, sehingga batu itu diberi nama solnhofer stein.
Prinsip dasar teknik ini adalah area cetak dikenai tinta yang mengandung lemak, sedangkan area bukan cetak dikenai cairan asam dan getah akasia. Setelah itu, batu dipres sehingga tinta pindah ke kertas menjadi karya litografi.
Pada tahap awal, pegrafis menghaluskan terlebih dulu papan batu (solnhofer stein) yang rata-rata beratnya 400 kilogram per unit. Setelah permukaan batu halus dan rata, pegrafis lalu melukis pada permukaannya.
Proses melukisnya juga sulit karena tangan pegrafis tidak boleh menyentuh batu karena permukaan tangan yang mengandung lemak bisa merusak hasil lukisan. Selanjutnya, batu dilumuri getah pohon akasia (gum arabic) dengan campuran asam sekitar 6 persen dan didiamkan semalam agar lemak dari tinta benar-benar menempel di batu.
Setelah lukisan kering, pegrafis harus menghilangkan lemak di luar gambar dengan cairan asam, lalu melapisnya dengan cornelin agar lukisan benar-benar menempel. Tahap paling akhir adalah pengerolan tinta hingga menghasilkan cetakan yang stabil.
Untuk memastikan karya cetak grafis pencetakan litografi biasanya menggunakan kertas khusus buatan tangan (bütten papier) yang mampu bertahan hingga ratusan tahun. Selama lukisan di permukaan batu belum dihapuskan, solnhofer stein mampu mencetak lukisan dalam jumlah banyak seperti mesin cetak.
Sri Maryanto, seniman grafis yang secara khusus mendalami litografi di Akademie der Bildenden Künste (AdbK), Muenchen, Jerman, menganggap litografi sebagai karya seni yang demokratis dan tidak eksklusif karena bisa dimiliki tidak hanya oleh satu kolektor, tetapi banyak orang dengan karakter dan hasil yang nyaris persis. Satu gambar yang diciptakan dengan teknik ini bisa menghasilkan 8-12 cetakan.
Litografi bisa memindahkan gambar dari berbagai material pewarna, entah itu pensil, cat, atau pastel, sama persis dengan aslinya. Memang untuk menghasilkan satu karya membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang agak lama karena proses pencetakannya rata-rata butuh waktu satu minggu.
Di Indonesia, sangat sedikit seniman yang memberi perhatian pada jenis seni grafis ini karena keterbatasan media batu pencetak litografi. Batu cadas pencetak ini hanya bisa ditemukan di Bavaria, Jerman. Keistimewaan batu ini adalah memiliki susunan partikel yang seragam sehingga permukaannya sangat datar.
Tak peduli ”dinomorduakan”
Terlepas dari prosesnya yang begitu rumit dan panjang, di kalangan awam, seni grafis kadang masih disangkutpautkan dengan desain komunikasi visual atau karya-karya yang dihasilkan menggunakan komputer. Padahal, sejatinya seni grafis merupakan bidang seni rupa dua dimensi yang menerapkan proses panjang teknik-teknik manual.
Adapula anggapan miring lainnya yang menganggap karya-karya seni grafis dihasilkan dari teknik reproduktif. Selain itu, karena banyak dicetak di atas kertas, karya-karya seni grafis menghadapi ancaman serius cuaca.
Stigma-stigma seperti inilah yang mungkin menjadikan para kolektor kurang tertarik pada karya-karya seni grafis. ”Banyak yang menilai seni grafis susah dijual, bahkan kadang terkesan ’dinomorduakan’. Namun, saya tetap yakin, seni ini akan terus berkembang dan menemukan penyempurnaan pada masa depan,” kata dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Theresia Agustina Sitompul, yang pernah meraih Juara III Trienal Seni Grafis Indonesia IV 2012 yang digelar Bentara Budaya.
Seperti halnya There, pegrafis muda M Muhlis Lugis, pemenang III Trienal Seni Grafis Indonesia V 2015, juga memilih tetap bertekun dan setia pada kesenangannya mencukil kayu. Karena sangat memperhatikan detail dan kerapian cukilan, untuk menghasilkan satu karya, Muhlis membutuhkan waktu hingga satu bulan.
Pegrafis India, Jayanta Naskar, yang lolos sebagai Juara I Kompetisi Internasional Trienale Seni Grafis Indonesia 2015, sangat sadar bahwa teknik cetak grafis sangat berisiko. Kadang kala, dalam waktu pencetakannya yang berbulan-bulan, hasil akhir yang ditunggu-tunggu ternyata gagal. Namun, justru di sinilah sisi menarik seni grafis yang sangat berisiko itu.
”Karena tekniknya banyak yang tak tahu, orang akhirnya tidak peduli pada proses, tetapi hanya pada hasil,” kata pengamat seni Bambang Bujono. Rupanya, fenomena sunyinya perhatian publik terhadap seni grafis turut merefleksikan situasi masyarakat zaman ini.