Merayakan Perbedaan, Merawat Keberagaman
Jauh sebelum republik ini ada, bumi Nusantara telah dihuni beragam suku, agama, dan budaya. Perbedaan itu patut dirayakan karena menjadi kekayaan yang tidak banyak dimiliki bangsa lain. Toleransi menjadi kunci merawat pluralisme itu.
Hujan yang mengguyur Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (15/2) malam, belum sepenuhnya reda. Namun, lebih dari 150 pemuda tak menyurutkan langkah mengunjungi lima wihara di ”Kota Kembang” pada malam perayaan Imlek itu.
Mereka datang bukan untuk beribadah. Generasi milenal itu ingin mengenal lebih jauh tentang budaya perayaan Imlek oleh warga Tionghoa. Kegiatan Tur Malam Imlek tersebut digagas komunitas Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) dan Sahabat Lintas Iman (Salim).
Pesertanya berasal dari berbagai latar belakang, baik mahasiswa maupun pekerja. Mereka juga terdiri dari beragam suku dan agama. Mereka berbaur dalam semangat yang sama: merayakan keberagaman tanpa menonjolkan perbedaan.
Tur dimulai dengan mendatangi Wihara Satya Budhi di Jalan Kelenteng. Peserta disambut ratusan lampion yang mempercantik suasana. Sejumlah polisi berjaga di sekitar wihara. Warga Tionghoa pun mulai berdatangan untuk berdoa.
Tur ini bukan sebatas kunjungan. Kegiatan itu juga menjadi edukasi karena peserta dapat bertanya kepada pengurus wihara mengenai sejarah wihara yang dibangun pada 1885 tersebut.
Peserta diperbolehkan masuk wihara. Mereka dapat melihat langsung warga Tionghoa yang berdoa. Peserta juga diizinkan memotret serta merekam isi dan kegiatan di wihara itu.
Akan tetapi, memotret diwajibkan tidak dengan lampu kilat. Peserta juga tidak diperkenankan memotret umat yang sedang berdoa dan kegiatan lain yang dapat mengganggu. Ini menjadi bagian penting untuk menanamkan nilai saling menghormati.
Peneliti diaspora Tionghoa Bandung, Sugiri Kustedja, menemani peserta tur menyusuri wihara itu. Menurut Sugiri, tur ke wihara membuat pengunjung lebih mengenal keberagaman masyarakat Indonesia.
”Tidak hanya pada Tur Malam Imlek yang setahun sekali, tetapi sewaktu-waktu juga bisa datang ke sini. Tempat ini sangat terbuka,” ucapnya.
Peserta melanjutkan tur dengan berjalan kaki sejauh 160 meter ke Wihara Tanda Bhakti. Secangkir kopi yang disediakan pengurus wihara untuk setiap pengunjung membuat diskusi selama 30 menit itu terasa hangat.
Wihara Tanda Bhakti didirikan pada 1976. Salah satu pendiri wihara itu, Tan Kwat Sian, mengaku cukup kaget dikunjungi ratusan pemuda lintas agama.
”Senang sekali melihat pemuda Indonesia bersatu. Kalau dari muda sudah kompak, semoga ke depannya semakin kompak karena anak-anak muda akan memimpin negara ini di masa depan,” ujarnya.
Tan mengatakan, kunjungan peserta tur itu menumbuhkan harapan lahirnya generasi toleran di masa mendatang. Menurut dia, hal itu menjadi modal penting untuk menghadapi goncangan kelompok intoleran yang dapat mengancam persatuan bangsa.
”Situasi politik sering menonjolkan perbedaan sehingga sangat memprihatinkan. Kunjungan pemuda lintas agama ini menumbuhkan keyakinan persatuan bangsa akan tetap terjaga,” ujarnya.
Setelah puas berdiskusi dengan pengurus Wihara Tanda Bhakti, tur dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 500 meter ke Wihara Dharma Ramsi. Para peserta berjalan memanjang di trotoar sehingga menjadi perhatian sejumlah orang. Beberapa di antaranya tertarik dan ikut dalam tur itu.
Suasana Wihara Dharma Ramsi tampak lebih ramai. Pengurus wihara sibuk mempersiapkan perayaan Imlek pada Sabtu. Di depan wihara, sejumlah remaja bersemangat berlatih barongsai. Peserta tur menyebar menyusuri setiap sudut wihara.
Pengurus wihara pun dicecar sejumlah pertanyaan, di antaranya sejarah berdirinya wihara itu dan beragam kegiatan yang disiapkan selama Imlek. Hal itu membuat mereka sangat bersemangat dan tak lupa mengabadikan kunjungan itu dengan berfoto bersama.
Lokasi Wihara Dharma Ramsi berbatasan dengan RW 004, Kampung Toleransi, di Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung.
Kampung Toleransi itu diresmikan oleh Pemerintah Kota Bandung pada 20 Agustus 2017. Kerukunan antarumat beragama di Kampung Toleransi itu sampai saat ini terjalin baik.
Di RW tersebut terdapat enam gereja, empat vihara, dan dua masjid. Total penduduk sekitar 2.054 jiwa yang terdiri dari penduduk beragama Islam sekitar 1.200 orang, Protestan (600 orang), Katolik (150 orang), Buddha (120 orang), dan Hindu (4 orang).
Kedatangan komunitas Jakatarub dan Salim itu mendapat sambutan hangat pihak pengelola wihara dengan menjamu makanan berupa bubur kacang hijau dan ketan hitam.
”Jamuan ini bersifat sederhana. Karena begitu banyak yang datang, kami memilih bubur kacang hijau dan ketan hitam yang mudah proses memasaknya dan lebih praktis saja karena kami juga harus menyiapkan tempat dan segala sesuatunya untuk umat beribadah,” kata Asikin (70) dari bagian Humas Wihara Dharma Ramsi, Bandung.
Sementara itu, Siti Yuwarningsih atau yang akrab dipanggil Yuyu (68), tokoh masyarakat di Kelurahan Cibadak, di sela-sela penampilan barongsai mengatakan, seluruh pemuda yang menampilkan tarian barongsai berasal dari kalangan Muslim.
”Pihak wihara biasa meminta pemuda Karang Taruna di sini untuk tampil membawakan barongsai. Para pemuda itu uniknya semua dari kalangan Muslim,” ucap Yuwarningsih.
Bagi Andis Andriawan (20), peserta tur sekaligus mahasiswa Program Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, perjalanan ini adalah pengalaman pertamanya masuk wihara. Selain dapat pengetahuan baru, juga menambah teman.
Andis mengatakan, melalui tur itu, dia menjadi lebih mengenal budaya warga Tionghoa dalam merayakan Imlek. Selain itu, dia juga mengetahui nilai-nilai yang disampaikan dalam perayaan itu.
”Imlek menjadi momen ucapan syukur untuk tahun yang dilewati dan memohon berkat untuk tahun berikutnya. Ternyata Imlek bukan perayaan agama, melainkan budaya Tionghoa,” ujarnya.
Menurut Andis, sangat penting bagi generasi muda mengenal perbedaan dan memupuk persaudaraan. Untuk itu, pluralisme wajib dirawat dengan cara saling menghormati sehingga menjadi benteng dari ancaman disintegrasi.
Dia pun mengkhawatirkan ancaman perpecahan jika salah menyikapi perbedaan itu. Oleh sebab itu, dia selalu tertarik mengikuti kunjungan ke tempat ibadah atau perayaan budaya.
”Saya ingin banyak belajar tentang keberagaman. Dari dulu kita sudah majemuk dan hidup damai. Jadi, tidak ada alasan kalau sekarang harus ribut dengan mempermasalahkan perbedaan,” ujarnya.
Rangkaian tur dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 350 meter mengunjungi Wihara Kong Miao dan Wihara Sinar Mulia. Pengurus kedua wihara itu juga antusias menyambut peserta tur.
Bendahara Jakatarub Yunita mengatakan, pihaknya sudah empat kali menggelar Tur Malam Imlek. Komunitas ini juga rutin mengunjungi rumah ibadah pada saat hari besar keagamaan.
Yunita mengatakan, kegiatan itu bertujuan untuk mengenalkan generasi muda terhadap keberagaman di sekitarnya. Melalui pengenalan itu, diharapkan lahir sikap saling menghormati dan semangat toleransi sehingga melahirkan kerukunan.
”Perbedaan itu nyata. Jadi, kami ingin membuka ruang bertemu di antara masyarakat sehingga bisa saling mengenal. Toleransi yang tumbuh perlu terus dipupuk untuk merawat kemajemukan itu,” ujarnya.