MEDAN, KOMPAS -- Bahasa Batak Toba diajarkan dalam muatan lokal di beberapa kabupaten penutur Bahasa Toba seperti Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, dan sebagian Tapanuli Tengah, anak-anak di perdesaan mulai menggunakan Bahasa Indonesia.
“Setelah otonomi daerah, banyak pendatang dari perkotaan menjadi pegawai daerah dan lebih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Sementara masyarakat di daerah merasa yang berbau perkotaan lebih baik,” kata Manguji Nababan dari Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Medan, Selasa (20/2). Akibatnya anak-anakpun lebih suka menggunakan bahasa Indonesia.
Namun demikian penutur bahasa daerah Batak-Toba, misalnya membuat komunitas yang diberi nama Komunitas Malambok Pusu-Pusu yang melestarikan bahasa dan budaya Batak-Toba. Mereka berkomunikasi di media sosial facebook dengan anggota 9.500 orang dari seluruh Indonesia berbahasa Batak. “Sudah dua kali ada pertemuan. Yang diperlukan adalah dukungan pemerintah daerah untuk melestarikan bahasa,” kata Manguji yang setuju pemerintah daerah menggunakan bahasa daerah pada hari tertentu untuk melestarikan bahasa daerah.
Flansius Tampubolon Staf Pengajar Program Studi Satra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara mengatakan ada trend peningkatan jumlah mahasiswa sastra Batak. Sebelum tahun 2014 jumlah mahasiswa sekitar 35-40 orang, namun sejak 2014-2016 jumlah mahasiswa menjadi 47-52 orang per angkatan. Namun tahun 2017 jumlah mahasiswa turun kembali 35 orang. “Peminatnya naik dari 60 menjadi 80 pendaftar per angkatan, hanya tahun lalu peminat agak turun,” kata Flansius.
Pihak fakultas juga menyederhanakan struktur. Jika sebelumnya Program Studi Sastra Batak berada di bawah Departemen Sastra Daerah bersama Program Studi Sastra Melayu, mulai 2017, Departemen Sastra Daerah dihapus, dan langsung pada Program Studi Sastra Batak setara dengan program studi lainnya. (WSI)