Bentara Budaya Bali menampilkan dua tokoh seni penerima penghargaan 35 Tahun Bentara Budaya, yakni Ni Luh Menek dan Samadi, dalam sebuah pertemuan budaya, Sabtu (24/2). Ni Luh Menek, penari dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali, memaknai pembukaan pameran topeng karya Samadi, pelestari topeng tradisi dari Bobung, Patuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penghargaan 35 Tahun Bentara Budaya itu diserahkan pada 26 September 2017 di Bentara Budaya Jakarta, bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun ke-35 Bentara Budaya. Serangkaian penghormatan kepada penerima penghargaan 35 tahun Bentara Budaya, Bentara Budaya Bali (BBB) menghadirkan Menek dan Samadi dalam acara bertajuk ”Pameran Topeng dan Pertunjukan Tari Penerima Penghargaan Bentara Budaya”.
Direktur Program Bentara Budaya dan Ketua Dewan Kurator Bentara Budaya Frans Sartono mengatakan, sejak didirikan 35 tahun silam, Bentara Budaya didedikasikan sebagai tempat kebudayaan dan seni milik masyarakat.
”Penghargaan ini sebagai penghormatan kepada seniman, pelaku kesenian yang secara tekun, konsisten, dan penuh cinta kasih mengabdikan hidupnya untuk menghidupkan kesenian,” kata Frans dalam pembukaan pertunjukan tari dan pameran topeng, Sabtu malam.
Ni Luh Menek adalah penari sepuh, anak didik maestro tari asal Buleleng, Pan Wanres dan I Gede Manik. Menek termasuk penari Bali yang sering diundang ke Istana Tampak Siring, Gianyar, bersama kelompok tari dan gamelan Sekaa Gong Jagaraga untuk menari di depan Presiden Soekarno. Menek juga pernah menjadi duta seni Indonesia untuk pentas di Jepang.
Menek, yang dilahirkan di Jagaraga pada 1939, masih penuh energi ketika menarikan Teruna Jaya pada malam pembukaan pameran topeng di BBB. Menek tanpa kesulitan berdiri setelah bersimpuh saat menari.
”Itu adalah semangat seorang seniman. Energinya konstan. Tidak terlihat jikalau beliau itu sudah sepuh. Ini adalah taksu, atau daya hidup, penari,” kata Prof Dr I Wayan Dibia, seniman tari yang juga seorang akademisi seni yang memberikan sambutan sekaligus membuka pameran.
”Taksu” topeng
Dibia menuturkan, dirinya juga penari topeng. Sebagai penari topeng, penari harus mampu menjadi tubuh baru dari karakter topeng yang dikenakan dan ditarikan. ”Penari bertransformasi menjadi sosok baru sesuai topengnya. Itulah taksu topeng,” kata Dibia.
Sebagai penari topeng, Dibia menilai topeng buatan Samadi sebagai karya seni yang memiliki daya hidup dan karisma. Dibia menyebutkan, topeng Samadi mempunyai taksu.
Saat ditanya tentang taksu pada topeng buatannya, Samadi mengatakan, ”Membuat topeng itu membutuhkan waktu. Saya harus mempersiapkan diri sebelum mengerjakan topeng. Saya membayangkan dahulu wajah topeng yang akan dibuat. Untuk itu, hati saya harus tenang.”
Samadi mulai mengenal kerajinan berbahan kayu itu sejak di sekolah dasar. Setelah lulus SD, pemilik nama Mardi Yitno Utomo itu bekerja sebagai perajin kayu dan membuat topeng. Samadi mempelajari pembuatan topeng tradisi dari Sujiman, penerus perajin topeng tradisi, khususnya topeng panji.
Lebih dari 60 topeng karya Samadi dipajang dalam pameran yang berlangsung hingga Sabtu (3/3) itu. Samadi didampingi Supriadi yang mengerjakan pewarnaan topeng. Mereka menunjukkan cara pembuatan topeng sekaligus memberikan lokakarya tentang topeng di BBB pada Minggu dan Senin (25-26/2). (Cok)