Bangkit Melawan Kekerasan
Hari Sabtu (3/3) pagi, lebih dari seribu perempuan berjalan dari Jalan Thamrin depan Hotel Sari Pan Pasific hingga Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, mengikuti Women’s March Jakarta 2018. Di Taman Aspirasi kawasan Monumen Nasional, seberang Istana Merdeka, mereka berhenti, lalu menggelar berbagai acara.
Sepanjang jalan sekitar 1,5 kilo meter, para perempuan (juga sejumlah laki-laki) dari berbagai latar belakang profesi dan dari berbagai daerah meneriakkan stop kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan . Beberapa peserta yang ikut datang sendiri tanpa ada yang mengundang, bahkan ada yang dari luar kota Jakarta, termasuk yang paling jauh dari Papua.
Mereka membawa spanduk dan poster-poster berisi berisi aspirasi, harapan, dan tuntutan kepada pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, penegak hukum, dan masyarakat agar menghentikan berbagai kekerasan berbasis jender. Tulisan-tulisan dalam poster dan spanduk antara lain berbunyi “”Stop Kekerasan dan Pelecehan pada Perempuan”, “Peran Perempuan Bukan Hanya Menjadi Istri dan Ibu”, Berikan Hak Atas Tanah Bagi Perempuan”, “Bukan Baju Gue yang Porno Tapi Otak Lo!”,”Perempuan Bukan Properti”, dan sejumlah poster bertulisan dalam bahasa Inggris.
Bahkan sejumlah pekerja rumah tangga yang tergabung dalam Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) hadir dengan menggunakan caping dan beberapa peralatan kerja seperti serbet dan lain-lain. Tak hanya komunitas PRT, aksi perempuan tersebut juga diikuti berbagai komunitas dan organisasi perempuan seperti pekerja migran, perempuan disabilitas, dan lainnya.
Mereka berbaur menjadi satu, baik yang datang bersama komunitas/organisasinya maupun personal, semuanya meneriakan yel-yel perlawanan terhadap kekerasan berbasis jender. Tak hanya diteriakkan di jalan, di media sosial mereka juga menyebarkan tagar#Lawanbersama dan #Gerakbersama".
#Lawanbersama dan #Gerakbersama".
Women\'s March 2018 merupakan kali kedua digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama organisasi/komunitas perempuan di Jakarta dan 12 kota di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur. Women\'s March dimulai 3 Maret 2018 di Jakarta, Salatiga (Jateng) dan Sumba (NTT).
Di Jakarta, Women\'s March diwarnai pertunjukan musik dan tari, pembacaan puisi, serta orasi dari sejumlah aktivis perempuan dari berbagai organisasi, perguruan tinggi, maupun dari kalangan seniman dan artis. Sesaat setelah semua berkumpul di Taman Aspirasi, penyanyi dan presenter Melanie Subono memimpin semua yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pembacaan puisi dari tiga perempuan yang berbeda profesi menjadi warna tersendiri dalam Women’s March Jakarta 2018. Saras Dewi, misalnya. Penyair yang juga pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, kemarin, di tengah panas terik mentari dengan suara lantang membacakan puisi berjudul "Suaraku". Bait-bait dari puisi tersebut menyiratkan suara perempuan, seperti "Ejalah namaku/Aku perempuan/Ini kepalan tanganku/Keras diacungkan ke angkasa/Membelah istana para patriarki/Mustahil kau sekap suaraku/Ia bergema menusuk semua celah-celah ruang/Hingga semua kekerasan dan pelecehan/Terbongkar, terbakar dan musnah".
Bait-bait puisi tentang perempuan juga dibacakan dengan suara lantang oleh pemain film, model, dan presenter Hannah Al Rashid lewat puisi berjudul "Because We\'re Women\' (Karena Kami Perempuan) karya Joyce Stevens, aktivis perempuan Australia. Bagi Hannah, puisi yang pernah dibacakan Joyce sekitar 40 tahun yang lalu masih relevan hingga kini.
Hannah menggugah semua perempuan yang hadir agar tidak hanya sekadar bangun pagi karena mengikuti Women\'s March, tetapi juga membangunkan perempuan-perempuan lain yang belum sadar betapa pentingnya perjuangan melawan berbagai kekerasan berbasis jender. "Semua harus bangkit bersama," teriak Hannah.
Bangunkan perempuan-perempuan lain yang belum sadar betapa pentingnya perjuangan melawan berbagai kekerasan berbasis jender
Kondisi perempuan pekerja pabrik yang rentan berbagai kekerasan juga digambarkan Sulami yang mewakili Federasi Buruh Lintas Pabrik (PBLP) dalam puisi berjudul "Perempuan Dipeluk Malam" seperti dalam salah satu bait puisi "Malam tak pernah memberi batasan/Namun tubuh menjadi sasaran atas praduga dan prasangka".
Tak hanya puisi, pertunjukan musik yang ditampilkan Lala Karmela, Yacko, Melanie Subono, dan Sisters in Danger, serta tarian dari Kabar Bumi (One Billion Rising Flash Mob) dan Line Dancing, termasuk orasi seakan memberi energi baru bagi para perempuan yang hadir di Taman Aspirasi tersebut.
Persembahan lagu Iwan Fals "Surat Buat Wakil Rakyat" dari grup musik Sisters in Danger, secara spontan menggerakan peserta Women\'s March ikut menyanyikan lirik lagu tersebut. Apalagi sebelumnya, para personel Sisters in Danger mengungkapkan lagu tersebut sebagai pesan dan harapan para perempuan kepada anggota DPR yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk tidak kriminalkan perempuan.
Kehadiran Alce Makanuay, perawat di Tanjung Ria, Kota Jayapura, Papua yang tampil membawa orasi juga menggugah perempuan yang hadir, karena meneriakan pentingnya perlindungan kepada perempuan Papua, yang hingga kini berjuang melepaskan diri dari berbagai praktik kekerasan. Perempuan di Papua rentan alami kekerasan karena peranan adat yang begitu kuat. Ketika dipinang dan laki-laki menyerahkan uang, seolah-olah perempuan diperlakukan seenaknya oleh laki-laki. "Hari ini saya ada di sini jangan dilihat hitam kulit saya keriting rambut saya, karena perjuangan kita sama," ujarnya.
Bagi sejumlah peserta dari luar daerah, kegiatan Women\'s March menjadi gerakan bersama yang mendorong perempuan-perempuan dan kelompok rentan yang selama ini tertindas dan mengalami diskriminasi dan kekerasan untuk bangkit melawan. Hendri, mahasiswa semester 2 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya sengaja datang ke Jakarta mendukung kegiatan tersebut, karena tergerak untuk bersama dalam gerakan melawan berbagai kekerasan. Ia membuat poster yang berisi tulisan perlawanan terhadap kekerasan berbasis jender. "Saya biayai sendiri tiketnya ke Jakarta, saya menyusun kata-kata dan mencetak poster," ujar Hendri yang kemarin berkali-kali diajak foto oleh sejumlah peserta Women\'s March Jakarta.
Semua harapan dari para perempuan terangkum dalam delapan tuntutan yang dibacakan perempuan perwakilan anak muda pada akhir acara tersebut. yang intinya menuntut pemerintah dan DPR, penegak hukum agar menghapus segala kebijakan dan aturan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan berbasis jender. Mereka mendorong pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dua puluh tahun reformasi
Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu dalam orasinya mengungkapkan Women’s March 2018 yang bertepatan dengan 20 tahun reformasi Indonesia menjadi momen menuntut reformasi bagi pemenuhan hak-hak perempuan. Hingga kini masih banyak perempuan yang belum terlindungi dari berbagai kekerasan. “Kekerasan seksual angkanya makin meningkat, terutama di ranah privat yang pelakunya orang-orang terdekat dengan korban, dan di ranah publik pemerkosaan terus menerus terjadi,” ungkap dia.
Pada kesempatan tersebut, Azriana juga mengingatkan bahwa dari sisi kebijakan dan perundang-undangan ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan melalui kriminalisasi atas tubuh perempuan itu saat ini sedang berlangsung. Hal itu terlihat di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dibahas di DPR beberapa waktu lalu.
Kondisi ini dinilai tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widoo yang menyatakan kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa. “Karena itu, tahun ini kami ingin meminta kepada Presiden Joko Widodo, jika memang kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa, saatnya pemerintah melakukan langkah-langkah nyata untuk memastikan tidak ada lagi perempuan menjadi korban kekerasan seksual,” teriak Azriana.
Bagaimana caranya? Pemerintah harus mencabut seluruh kebijakan yang berpotensi kriminalkan perempuan dan melahirkan aturan perundang-undangan yang melindungi para korban kekerasan seksual, terutama dalam mengakses keadilan.
Suara perempuan pekerja migran, kemarin disampaikan Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care. "Situasi perempuan pekerja migran sampai saat ini belum terlindungi. Women March tahun ini ditandai kisah sedih satu dari pekerja migran Indonesia di Malaysia, Adelina Sau pekerja migran dari Nusa Tenggara Timur yang meninggal di Malaysia," ujarnya.
Bagi Anis, kasus Adelina adalah panggilan darurat bagi pemerintah untuk segera menyikapi persoalan ini lebih serius, karena negara belum berhasil membangun sistem perlindungan pekerja migran yang berbasis jender. Meskipun mayoritas pekerja migran perempuan, sampai saat ini mereka masih menghadapi 79 kerentanan, terutama berbasis jender, sebelum berangkat, saat bekerja di luar negeri, hingga pulang ke Tanah Air.
"Setiap hari lima di antara mereka meninggal dunia terutama perempuan, lima mengalami kekerasan tidak digaji, mengalami pemerkosaan," kata Anis.
Soal berapa angka pekerja migran yang meninggal, Anis mengungkapkan saat ini tidak ada data pasti, karena data-datanya berbeda. Namun dari laporan Kedutaan Besar RI di Malaysia saja tiap tahun ada 1.000 pekerja migran meninggal. Penyebab kematiannya banyak yang tidak terungkap. "Migrasi menjadi kuburan massal bagi perempuan-perempuan migran," ujar Anis.
Sejumlah aktivitas perempuan juga tampil berbicara dalam kegiatan tersebut.
Migrasi menjadi kuburan massal bagi perempuan-perempuan migran
Sistem perlindungan sosial perempuan pekerja migran melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosia (BPJS) ketenagakerjaan tidak mengatur perlindungan bagi perempuan pekerja migran, terutama jaminan bagi pekerja rumah tangga ketika mengalami kekerasan fisik dan pemerkosaan, tidak digaji majikan, dan lain-lain.
Karena itulah, Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menegaskan, aksi turun ke jalan menuntut perlindungan, bantuan hukum dan pemulihan untuk para korban kekerasan. Karena menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan ada hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada tahun 2017.
Ancaman pembunuhan terhadap perempuan juga terus meningkat, seperti data dalam situs “Menghitung Pembunuhan Perempuan” yang menyebutkan 173 perempuan dibunuh di Indonesia pada tahun 2017 yang 95 persen di antaranya dibunuh laki-laki.
Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace, menyatakan perempuan terus berteriak karena pemerintah selalu menganggap tidak ada masalah dengan perempuan. “Hari ini perempuan turun ke jalan untuk menyatakan kita punya masalah kekerasan. Di mana-mana terjadi kekerasan seksual, yang masalahnya enggak bisa diselesaikan dengan hanya membuat undang-undang lalu memenjarakan perempuaan. Seolah-olah perempuan yang salah,”ujarnya.
Naila Rizqi Zakiah, pengacara LBH Masyarakat mengungkapkan \'Women\'s March tahun ini agak berbeda. Tahun lalu isu yang diangkat sangat luas terkait kesetaraan jender.
"Tahun ini lebih spesifik mengangkat tema lawan bersama kekerasan berbasis jender, karena ada upaya melanggengkan kekerasan berbasis jender dalam hukum dan kebijakan," katanya.
Women\'s March tahun ini lebih spesifik mengangkat tema lawan bersama kekerasan berbasis jender
Kegiatan Women\'s March yang berlangsung hingga sekitar pukul 11.30 setidaknya membawa pesan penting bagi masyarakat luas terutama pemerintah, DPR, dan penegak hukum, bahwa para perempuan di Tanah Air kini bergerak bangkit, bersuara dan melawan berbagai praktik kekerasan dan diskriminasi berbasis jender. Harapannya, suara dan teriakan lantang di Taman Aspirasi tersebut sampai kepada Presiden Jokowi, anggota DPR, serta penegak hukum. Semoga!