ACCRA, KOMPAS - Semua organisasi media harus bekerja sama demi meneguhkan pentingnya peran media di dunia yang makin tidak menguntungkan. Stephen Dunbar, President International The New York Times Company, pada sesi pleno World Press Freedom Day, di Accra, Ghana, Rabu (2/5/2018), mengatakan, tantangan utama media adalah tekanan ekonomi yang ditunjukkan dengan menurunnya keuntungan finansial.
Di sisi lain, peran media arus utama cenderung berkurang pula karena perkembangan media sosial. ”Jadi, tidak bisa diatasi sendiri-sendiri oleh media, antara satu dan yang lainnya harus ada kerja sama,” ujar Dunbar.
Sejak deklarasi Windhoek dicetuskan pada 1961, yang melahirkan World Press Freedom Day (WPFD), tantangan media terus bertambah, selain faktor ekonomi dan media sosial. Menurut Kwame Karikari, pendiri Media Watch West Africa, tidak ada pemerintah di Afrika yang ingin mereformasi UU Pers. Mereka justru ingin mengontrol media. ”Aspek politik masih menjadi masalah meski ada yang relatif bebas,” ujarnya.
Salah satu hal penting yang diangkat dalam panel yang melibatkan Ferial Haffajee dari Huffington Post South Africa,Moustafa Souag dari Al Jazeera, dan Gwen Lister dari Namibia Media Trust adalah bagaimana mengidentifikasi wartawan sungguhan, yang bekerja dengan profesional, dan wartawan abal-abal. Hal ini dapat diukur dari tingkat kesejahteraannya. ”Kalau dibayar baik, pasti tidak macam-macam,” kata moderator Nadia Abdel-Masseh dari France24.
Isu pelecehan terhadap perempuan wartawan di AS menurut Dunbar adalah masalah fundamental yang harus dituntaskan. Dia yakin ini tidak spesifik di negaranya saja.
WPFD yang berlangsung hingga Kamis ini diadakan UNESCO bersama Kementerian Informasi Ghana, diikuti wartawan dari Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika, serta hampir seluruh organisasi media besar; termasuk lembaga swadaya masyarakat pendukung, seperti Reporters Without Borders. Indonesia tahun lalu menjadi tuan rumah diwakili Dewan Pers dengan melibatkan Universitas Multimedia Nusantara melalui program Young Journalist.