JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi mayoritas masih berupa doktrin sehingga tidak efektif membentuk sikap mental siswa dan mahasiswa. Pemahaman Pancasila memerlukan pengemasan ulang yang menarik dan relevan bagi kehidupan sehari-hari.
"Pancasila jangan sekadar dilihat dari nilai kesejarahannya, tetapi harusnya dilihat utuh juga sebagai cita-cita dan aspirasi bangsa," kata Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono di Jakarta, Selasa (5/6/2108). Selama ini, pembelajaran Pancasila masih seputar penghafalan dan menyinggung sedikit tentang kisah Soekarno merumuskannya.
Hariyono menuturkan, pengemasan pembelajaran Pancasila hendaknya dimulai dengan menggali aspek historis seperti alasan Soekarno menjadikannya dasar negara. Alasan itu adalah bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam latar belakang ras, suku bangsa, agama, dan golongan memiliki cita-cita satu, yaitu merdeka dari penjajahan.
Latar ini mencerminkan bahwa Pancasila lahir dari keragaman yang ada di Nusantara. Adapun cita-cita merdeka merupakan aspirasi bagi masa depan bangsa Indonesia untuk berdaulat, sejahtera, bersatu, dan ikut serta dalam mencapai kedamaian global.
"Dengan demikian, Pancasila tidak terjebak di dalam mata pelajaran ataupun mata kuliah tertentu. Nilai-nilai Pancasila justru tersirat di dalam setiap aspek pendidikan," ujar Hariyono.
Misalnya, ketika membahas cita-cita siswa, guru dan dosen mengajak mereka untuk merencanakan cara menggunakan cita-cita tersebut memecahkan persoalan yang dihadapi bangsa.
Pemahaman guru dan dosen
Untuk mencapai metode pembelajaran berlandaskan nilai-nilai Pancasila, guru dan dosen harus memiliki pemahaman mendalam tentang Pancasila. Hal ini merupakan tantangan karena masih ada guru dan dosen yang pemikirannya terjebak primordialisme suku bangsa dan agama.
"Guru dan dosen berstatus aparat sipil negara perlu diingatkan kembali mengenai sumpah mereka untuk setia kepada Pancasila," tutur Hariyono.
Ia memaparkan, menyusupnya ideologi ekstrem ke lembaga pendidikan umumnya melalui orang-orang yang berpenampilan santun, sehingga membuat guru dan dosen terbuai. Artinya, pemahaman guru dan dosen mengenai Pancasila yang minim mengakibatkan mereka tidak kritis ketika berhadapan dengan ideologi ekstrem yang dibungkus menarik tersebut.
"Lembaga pendidikan harus membuka dialog dengan guru dan dosen mengenai Pancasila dan cita-cita bangsa serta posisi sekolah dan perguruan tinggi untuk mencapainya," ujar mantan wakil rektor Universitas Negeri Malang ini.
Di saat yang sama, lembaga pendidikan juga memastikan kegiatan yang ada di unit kegiatan mahasiswa dan tempat-tempat ibadah di lingkungan kampus dikelola dan diisi oleh orang-orang yang tidak membawa ideologi ekstrem.
Secara terpisah, Wakil Rektor Universitas Indonesia Bambang Wibawarta menjelaskan, pihaknya melakukan tinjauan berkala kurikulum perkuliahan. Di dalamnya mencakup materi kebangsaan.
Kritis
Mahasiswa program studi Kriminologi UI Reza Novianto mengatakan, di kelasnya, Pancasila dibahas secara kritis. Hal ini berguna pada lingkungan akademi untuk meninjau kembali makna dan pemahaman Pancasila yang relevan dengan situasi sekarang.
"Di kelas semestinya dibahas praktik negara dan masyarakat berpancasila agar diketahui apabila ada kekeliruan dan mencari cara yang pas untuk menerapkannya," kata Reza. (DNE)