JAKARTA, KOMPAS — Negara menjamin perlindungan terhadap semua anak-anak yang terkena dampak aksi terorisme atau serangan bom bunuh diri di Kota Surabaya, Jawa Timur, Mei lalu. Semua anak baik anak-anak dari pelaku serangan bom maupun anak-anak dari masyarakat yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut akan ditangani pemerintah tanpa diskriminasi.
Karena itu, paskaserangan bom bunuh diri di Surabaya, Selasa (12/6/2018) Kementerian Sosial menerima tujuh anak dari para pelaku serangan tersebut dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, untuk selanjutnya dilakukan rehabilitasi.
Ketujuh anak yang terdiri dari tiga laki-laki dan empat perempuan diserahkan Kapolda Jatim Inspektur Jenderal (Pol) Machfud Arifin kepada staf khusus Menteri Sosial Ismail Cawidu kemudian diberangkatkan ke Jakarta melalui pesawat udara.
Tiba di Jakarta, anak-anak tersebut langsung disambut langsung oleh Menteri Sosial Idrus Marham saat mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Bahkan, Idrus berbuka puasa dengan mereka.
“Anak-anak pelaku bom ini diserahkan ke Kementerian Sosial untuk dibina lebih lanjut sesuai peraturan yang ada. Anak-anak ini korban dari jaringan teroris, mereka tidak tahu apa-apa. Umurnya 6 tahun, 8 tahun, 11 tahun, dan paling tinggi 14 atau 15 tahun. Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa, karena itu kita kategorikan korban-korban dari jaringan teroris,” ujar Idrus.
Penanganan terhadap anak-anak tersebut sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo bahwa seluruh anak bangsa yang menjadi korban konflik sosial, terorisme, harus ditangani secara baik-baik dan tidak ada diskriminasi.
Perlindungan dan pendampingan dari pemerintah kepada anak-anak tersebut, lanjut Idrus, sesuai dengan amanat undang-undang, yakni anak-anak tersebut memiliki hak yang sama dengan anak-anak warga negara lainnya. Mereka perlu dibina dan memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta memiliki hak mendapat pendidikan.
Pada tahap awal, Kemensos akan memberikan pendampingan untuk mengembalikan kepercayaan diri anak-anak tersebut sehingga diharapkan nanti akan mengikis kemungkinan paham-paham radikalisme yang diajarkan orangtua mereka. “Kita harus pastikan untuk membersihkan mereka dari paham-paham radikalisme dan doktrin terorisme itu. Tentu ini perlu waktu,” tambah Idrus.
Soal kondisi anak-anak tersebut, Idrus belum bisa memastikan apakah dalam kondisi labil atau tidak. Hanya saja, saat bertemu kemarin, menurut Idrus anak-anak sempat tertawa-tawa tetapi setelah itu duduk termenung sehingga dihibur tim dari Kemensos. Namun sebelumnya, anak-anak tersebut hampir sebulan telah dirawat dan mendapat pendampingan di Surabaya.
Di mana anak-anak tersebut akan direhabilitasi, Idrus tidak memberitahukan tempatnya, demi kepentingan bersama dan demi keamanan. Namun, dia memastikan Kemensos bertangggung jawab atas anak-anak tersebut, dan akan menempatkan mereka di tempat yang baik dan layak.
Selanjutnya, apakah anak-anak tersebut nanti akan dikembalikan kepada keluarga, Kemensos akan melihat perkembangan lebih lanjut dan akan dilakukan evaluasi, karena menyangkut masalah idiologi dan pemahaman keagamaan yang harus ditangani secara serius.
Idrus menambahkan, perlindungan dan pendampingan Kemensos terhadap anak-anak korban konflik terutama terkait paham radikalisme dan terorisme bukan pertama kali dilakukan, tetapi sebelumnya sudah pernah dilakukan Kemensos sejak tahun 2016 lalu. “Ada 81 anak, bahkan lebih dari pada itu, orangtua mereka juga diberikan semacam pemberdayaan apabila menghadapi persoalan ekonomi,” kata dia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto menyatakan rehabilitas anak-anak dari terduga terorisme harus komprehensif. "Tidak hanya rehabilitasi psikis, sosial, medis, tetapi jika berdasarkan assesment terindikasi infiltrasi radikalisme maka rehabilits terkait counter radikalisme sangat diperlukan agar anak steril dan bisa tumbuh dengan baik. Tetapi memang harus dipastikan dulu hasil assementnya seperti apa," kata Susanto. (mhd/son)