Beri Masyarakat Kesempatan Kelola Lahan
Laraswati Ariadne Anwar dari Putrajaya, Malaysia
PUTRAJAYA, KOMPAS - Pembangunan berkesinambungan masih menjadi tantangan bagi masyarakat adat Malaysia. Belum semua masyarakat adat memiliki kesempatan menentukan pengelolaan lahan sesuai dengan kebutuhan sehingga mereka dikepung ekspansi perkebunan korporasi.
Hal tersebut dialami masyarakat Mah Meri yang berdiam di Pulau Carey, Negara Bagian Selangor, Malaysia. Tempat tinggal mereka yang tersebar dalam lima kampung adat dengan total luas wilayah 585,9 hektar ini berada di tengah kepungan perkebunan sawit milik salah satu perusahaan terbesar di negara tersebut.
"Sejarah wilayah Mah Meri memang dikelilingi perkebunan milik pengusaha Inggris Edward Valentine Carey yang datang merambah lahan ini 126 tahun lalu," papar Pengelola Kampung Adat Mah Meri Rashid Esa ketika ditemui di Pulau Carey, Sabtu (4/8/2018).
Setelah kemerdekaan Malaysia pada tahun 1957, pulau ini diambil alih oleh pemerintah negara bagian Selangor. Perkebunan sawit kemudian dikelola oleh korporasi. Penanaman sawit yang diterapkan di Pulau Carey adalah monokultur.
Rashid menjelaskan, metode tersebut merambah vegetasi asli Pulau Carey, termasuk hutan bakau. Di pantai Tanjung Rhu, misalnya, tempat suku Mah Meri biasa melakukan ritual kepercayaan Puja Pantai dan Puja Moyang, hutan bakau sudah terkikis akibat tergusur perkebunan. Ditambah lagi adanya penambangan pasir di sebelah utara pantai.
Peristiwa tsunami tahun 2004 menghancurkan sebagian besar bakau di pantai Tanjung Rhu. Sejak saat itu, kawasan yang letaknya berseberangan dengan Provinsi Sumatra Utara ini tidak pernah pulih total. Tunas-tunas bakau tidak bisa tumbuh besar karena terus dilahap gelombang dari Selat Malaka.
Ketika air pasang, gelombang laut mencapai 100 meter dari bibir pantai yang asli, bahkan menyentuh bawah tanggul yang memisahkan pantai dengan perkebunan kelapa sawit. Dampaknya sangat dirasakan masyarakat Mah Meri yang bermata pencaharian nelayan tradisional.
"Dulu, masyarakat cukup berjalan 10 meter-20 meter dari tanggul untuk menangkap ikan yang berkumpul di sela-sela akar bakau. Sekarang harus berjalan sampai hampir 100 meter hanya demi mencari kerang," tutur Rashid.
Apabila mereka ingin menangkap ikan, kini harus menyusuri pantai hingga 3-5 kilometer. Butuh kesempatan bagi masyarakat adat, pemerintah daerah, dan perusahaan untuk duduk bersama membahas metode pengelolaan lahan yang menguntungkan secara ekonomi sekaligus menjaga kelestarian alam.
Gerakan masyarakat
Berbeda dengan Mah Meri, msyarakat Kampung Sijangkang, Kuala Langat, Selangor, memutuskan untuk mengambil inisiatif melestarikan rawa bakau mereka. Pada tahun 2015, setelah mengalami erosi akibat penebangan yang tidak bertanggung jawab, masyarakat memutuskan berubah sebelum wilayah mereka mengalami kerusakan lebih parah.
"Pada saat itu sudah tidak ada pilihan selain memperbaiki diri. Rawa sudah hampir gundul, penuh sampah, dan tercemar pupuk sintetis dari perkebunan di sekitar," kata pengelola Taman Paya Bakau Kampung Sijangkang Mohd Suhaimi.
Masyarakat mulai membibit tunas-tunas antara lain bakau, nipah (Nypa fruticans), dan kayu nireh batu (Xylocarpus granatum). Mereka kemudian menanam dan merawat tumbuh-tumbuhan itu agar subur dan kembali melindungi wilayah berukuran 20 hektar itu.
"Setelah ada hasil, baru kami mendekati pabrik-pabrik di wilayah industri sekitar Kuala Langat untuk meminta dana kepedulian sosial yang dipakai untuk membangun dek pejalan kaki," ujar Suhaimi.
Ia mengungkapkan, masyarakat berencana menjajaki kerja sama dengan Dinas Perhutanan Selangor agar diberi bibit berbagai tanaman langka. Di Taman Rawa Bakau Sejangkang terdapat 17 jenis bakau atau setengah dari total spesies bakau di Malaysia.
Adapun sebagai bentuk komitmen warga kepada lingkungan, mereka menerapkan perkebunan tumpang sari. Suhaimi mengungkapkan, mayoritas warga bekerja sebagai petani sawit. Lahan perkebunan tidak diisi sawit semata, tetapi juga ditanami cempedak, kelapa, pisang, singkong, dan nanas untuk menjaga keseimbangan tanah.