JAKARTA, KOMPAS — Kurangnya rasa saling mempercayai di antara elemen masyarakat yang menyangkut pendidikan merupakan masalah mendasar. Rasa saling mempercayai harus dibangun dengan cara memberi guru kemerdekaan untuk mengembangkan metode mengajar yang sesuai dengan situasi kelas. Untuk itu, kapasitas guru perlu ditingkatkan.
"Tanpa ada rasa saling mempercayai antara pemangku kepentingan pendidikan, pendidikan tidak akan manusiawi," kata Pendiri Yayasan Sekolah Cikal Najeela Shihab di sela-sela acara Temu Pendidik Nasional (TPN) 2018 di Jakarta, Sabtu (6/10/2018).
Najeela menjelaskan, di antara semua pihak, yang paling tidak dipercayai adalah guru. Dinas pendidikan, pengawas sekolah, dan orangtua tidak meyakini guru bisa mengajar siswa dengan baik. Oleh karena itu, mereka menerapkan standar yang kaku. Padahal, standar semestinya merupakan tujuan, bukan cara mengajar. Hal ini karena cara mengajar harus disesuaikan dengan situasi kelas dan kemampuan siswa.
Di sisi lain, guru juga kurang memercayai siswa. Diikat dengan aturan yang kaku, guru pesimistis siswa bisa berubah menjadi lebih baik. "Banyak guru yang terburu-buru menghakimi seorang siswa tidak akan bisa berkembang jauh karena berasal dari keluarga tidak harmonis, miskin, ataupun siswa tersebut dicap nakal," tutur Najeela.
Pemikiran yang keliru dan bahkan menyakitkan pelbagai pihak itu harus diubah. Oleh sebab itu, TPN 2018 mengambil topik "Memanusiakan Hubungan". Artinya, pendidik meninjau kembali makna hubungan mereka dengan siswa, orangtua, pemerintah, dan sesama rekan pendidik. Apabila hubungan ini tidak dikonstruksikan ulang, guru akan bekerja berdasarkan stigma. Akibatnya, siswa yang menjadi korban.
TPN 2018 merupakan kegiatan selama tiga hari yang melibatkan seribu orang peserta dari 148 kabupaten/kota. Mereka semua merupakan guru dari berbagai bentuk lembaga pendidikan, yaitu sekolah formal, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan madrasah.
Dalam kegiatan berbagi ilmu serta pelatihan ini, peserta dari tingkat kelas berbeda digabung. Artinya, di dalam satu kelas yang membahas sebuah topik, isinya antara lain ada guru SD, SMP, SMA, taman kanak-kanak, dan kejar paket. Metode ini memungkinkan proses berbagi pengalaman dan persepsi menjadi kaya dan lebih inspiratif.
Najeela memaparkan, TPN merupakan inisiatif peningkatan kapasitas guru tanpa perlu menunggu arahan dari pemerintah. Seusai pelatihan, peserta tetap saling berkomunikasi di media sosial untuk menceritakan pengalaman mereka mempraktikkan hasil pelatihan dan evaluasinya. Selain itu, juga ada Surat Kabar Guru Belajar yang rutin terbit dan berisi berbagai alternatuf metode pembelajaran.
"Ada banyak guru luar biasa yang bisa berkarya walaupun sekolahnya penuh keterbatasan. Kinerja mereka perlu disorot dan disebarluaskan supaya guru-guru lain juga percaya mereka sendiri juga bisa melakukannya," kata Najeela.
Tujuan belajar
Di dalam salah satu kelas pelatihan, para guru mengungkapkan salah satu kendala mereka berimprovisasi dalam mengajar ialah karena takut ditegur oleh kepala sekolah. Sementara itu, kepala sekolah takut ditegur oleh pengawas apabila cara guru mengajar tidak persis seperti yang tercantum dalam buku teks panduan.
Pelatih dari Kampus Guru Cikal, Chusnul Chotimah, menerangkan pentingnya membuka ruang diskusi di antara para pendidik, kepala sekolah, dan pengawas. Pada intinya, kompetensi inti dan kompetensi dasar yang ada di dalam buku teks kurikulum merupakan tujuan. Cara penerapannya harus disesuaikan dengan kebutuhan kelas. Dalam hal ini, hanya guru yang tahu dan bisa mengemas pelajaran agar bisa dicerna oleh siswa dan memanfaatkan hal-hal yang ada di sekitar sekolah.
"Kompetensi inti dan dasar kurikulum semua bertujuan membuat siswa mampu berpikir kritis, mampu berpendapat, dan memiliki komitmen untuk terus belajar. Jika metodenya kaku, mereka tidak akan menganggap belajar sebagai suatu kebutuhan," tutur Chusnul.
Guru dan siswa harus mandiri dalam menentukan cara belajar. Proses ini membutuhkan refleksi dari kedua belah pihak yang kemudian disepakati dan dipertanggungjawabkan bersama-sama.
"Guru yang memulai dengan menunjukkan kepada siswa bahwa kita memercayai mereka. Bukan dengan memberi ceramah, tetapi menegur baik-baik dan bersama mencari solusi pada permasalahan mereka," lanjut Chusnul.
Salah satu peserta, Wakil Kepala sekolah Bidang Kurikulu. SMKN 2 Sijunjung, Sumatera Barat, Sri Hastuti mengatakan, akan mengumpulkan orangtua siswa dan mengajak mereka berdialog tentang tujuan pembelajaran. Dengan demikian, orangtua juga tahu cara melibatkan diri dalam pendidikan anaknya. (DNE)