Berfokus pada Masalah Substantif dan Strategis
JAKARTA, KOMPAS - Fokus pada mutu pendidikan harus dimulai pada hal-hal yang substantif dan strategis. Jangan sampai anak-anak muda bangsa Indonesia tidak siap menghadapi tantangan abad 21 yang membutuhkan generasi muda yang cerdas dan berkarakter.
Pemihakan pada mutu pendidikan, salah satunya, dengan memasukkan capaian hasil belajar siswa di kemampuan membaca, matematika, dan sains sebagai indikator mutu di rencana pembangunan jangka menengah dan rencana strategis kementerian. Acuannya meningkatkan hasil belajar secara nasional dan internasional yang harus diinterveni agar merangkak naik secara cepat.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Subandi di acara Beranda PSPK Jilid XV bertajuk Pendidikan Karakter dan Keterampilan Abad 21 dalam Perencanaan Pembangunan di Jakarta, Senin (12/11/2018), mengatakan pada 10 tahun lalu, bicara kinerja pendidikan memang ke akses. "Sekarang sudah berpikir ke kualitas," jelas Subandi.
Menurut Subandi, indikator kualitas selama ini lewat mutu guru. Yang dinilai pun jumlah guru yang S1 dan bersertifikat pendidikan. Kemudian disadari, indikator mutu ini tidak relevan meningkatkan mutu pendidikan.
"Sekarang indikator mutu dilihat dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia dan PISA. Memang masih menggambarkan mutu kognitif, tapi kita jadi bisa melihat mutu yang dapat diperbandingkan," ujar Subandi.
Dengan melihat hasil belajar, guru didorong menerapkan pembelajaran yang membangkitkan kreativitas, berpikir kritis, analisa, sampai siswa berani berpendapat, dan berani, dan inovatif. Adapun kemampung nonkognitif dikaitkan dengan revolusi mental dalam dunia pendidikan, diwujudkan dengan ajakan tidak menyontek, membuli, hingga mengkonsumsi narkoba.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu (14/11/2018), mengatakan pemerataan mutu pendidikan dapat dipercepat melalui sistem zonasi. Dengan zonasi, juga dilakukan evaluasi mulai dari sertifikasi guru, akreditasi sekolah, hingga konten pembelajaran di kelas.
"Kita bisa melihat peta situasi pendidikan mulai dari zona, kabupaten/kota, dan provinsi. Akan tampak pemerataan delapan standar pendidikan dan distribusi guru," katanya.
Berdasarkan peta itu, bisa diambil intervensi spesifik sesuai masalah di zona-zona tersebut. Bentuknya bisa dari pelatihan guru hingga kebijakan afirmatif.
Selain itu, zonasi juga merupakan cara menyinergikan penganggaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dana Alokasi Khusus, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. "Aturannya jelas bahwa pemerintah daerah harus menyisihkan 20 persen pendapatannya untuk pendidikan. Zonasi memastikan kewajiban tersebut dijalankan," ujarnya.
Sementara itu, pendiri dan peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najelaa Shihab mengingatkan mutu pendidikan tidak cukup diukur dari pencapaian hasil akademik atau kognitif siswa semata. Pemerintah harus mulai mengakui indikator nonkognitif seperti pembentukan karakter juga sama pentingnya dengan pencapaian akademik.
Tidak seharusnya pengembangan kemampuan nonkognitif siswa dinomorduakan. Sebab, kemampuan nonkognitif justru penting sebagai bekal dasar siswa untuk meningkatkan prestasi akademik.
"Dalam abad 21, justru penting membekali siswa dengan karakter dan keterampilan abad 21. Jadi, mutu pendidikan pun harus bergerak ke sana. Untuk itu, butuh rencana aksi yang jelas dan indikator yang disepakati bersama," kata Najelaa.