JAKARTA, KOMPAS - Budaya di kehidupan sekitar, yang kerap tidak disadari, jadi inspirasi pembuat film pendek yang menjadi nominasi Festival Film Indonesia 2018. Tutur budaya yang menarik dan nyata bisa dikembangkan melalui media film.
Hal itu muncul dalam salah satu nominasi film pendek fiksi karya Imam Syafii yang berjudul Topo Pendem. Judul tersebut mengambil istilah praktek pertapaan di dalam tanah, yang diwarisi Sunan Kalijaga di Pulau Jawa. Jenis pertapaan tersebut masih dilakukan segelintir orang namun tidak banyak terekspos.
Keadaan tersebut menginspirasi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut mengadakan riset selama beberapa bulan dan mengemasnya dalam bentuk film yang dibalut dengan cerita fiksi. Film Topo Pendem menceritakan seorang ayah yang memiliki anak laki-laki dengan disabilitas.
Anak tersebut, yang secara tidak langsung diceritakan meninggal, dicoba dihadirkan sang ayah dalam setiap ritual pertapaannya. Kisah film ini tentu tidak sepenuhnya nyata, namun, Imam mencoba mengemas cerita yang menarik dengan menampilkan budaya yang tak lazim dilihat.
"Saya ingin menampilkan cara bertutur budaya melalui film fiksi yang lebih menarik dan lebih realis lebih dalam kemasan. Ini supaya orang nggak menganggap remeh film budaya," ujarnya dalam diskusi film bersama beberapa sutradara nominasi film pendek FFI 2018, di Kongres Kebudayaan 2018 yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Pada kesempatan tersebut, tiga nominasi film pendek dokumenter lain dipertontonkan. Para sutradara yang terlibat juga dihadirkan pada kesempatan diskusi. Film-film yang diputar hari itu, Ojek Lusi, Pagi yang Sungsang, dan O-Sepig.
Film Ojek Lusi menceritakan kondisi korban lumpur Sidoarjo atau Lumpur Lapindo di Jawa Timur yang kini memanfaatkan daerah terdampak sebagai objek wisata. Sementara itu, Pagi yang Sungsang menghadirkan film hitam putih tanpa dialog mengenai cara kerja pelaku kebersihan di Pasar Minggu. Film O-Sepig memperlihatkan peran tukang ojek yang sehari-hari menembus batas perbatasan Indonesia - Malaysia.
Film-film tersebut merupakan sebagian dari total 17 nominasi film terbaik di kategori film pendek fiksi dan dokumenter FFI 2018. Beberapa film akan dihadirkan di Kongres Kebudayaan sampai Sabtu, 8 Desember mendatang.
Aktual
Kehadiran film dokumenter saat ini masih berperan dalam melihat lebih dalam permasalahan yang ada di sekitar masyarakat. Film dokumenter juga diharapkan aktual dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat.
"Film dokumenter bisanya membingkai peristiwa atau cerita untuk zoom in atau melihat lebih satu hal. Film dokumenter berbeda dengan berita di media, yang pada umumnya hanya menyampaikan sesuatu secara sekilas atau di permukaan," kata Anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta Lulu Ratna, yang terlibat dalam FFI 2018.
Film dokumenter juga harus bisa melihat jernih apapun yang terjadi tanpa memberi asumsi. Namun, subjektivitas atau sikap tertentu dalam pembuatan film dokumenter juga penting diberikan pembuat film. "Ini supaya film dapat lebih dalam melihat permasalahan secara menyeluruh," imbuhnya.
Di FFI kali ini, aktualitas makna dan keindonesiaan masih menjadi kriteria penilaian film yang mulai diseleksi Oktober 2018. Setelah pengumuman nominasi 10 November lalu, pengumuman pemenang Piala Citra FFI 2018 akan dilaksanakan di Malam Anugerah pada 9 Desember 2018. (ERIKA KURNIA)