JAKARTA, KOMPAS - Pelaksanaan konsep merdeka belajar diharapkan bisa segera dilakukan di sekolah-sekolah. Disarankan agar jangan menunggu aturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena konsep ini dibuat justru untuk melepas budaya birokratis, yang dalam praktiknya baru bertindak, hanya setelah aturan dibuat.
"Kebijakan ini untuk melepas guru dari pemaksaan aturan. Memberi guru kebebasan untuk berkreasi dalam melakukan pendidikan," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dalam temu dengan media di Jakarta, Senin (23/12/2019) lalu.
Ia menyadari perlu waktu bagi guru untuk beradaptasi dengan konsep merdeka belajar, karena selama ini mereka bekerja dalam suasana ketakutan melanggar. Kemendikbud tetap mendampingi para guru dalam bertugas, bahkan juga akan memunculkan berbagai praktik baik yang selama ini sudah terjadi secara sporadis di sekolah-sekolah.
Akan tetapi, pemerintah tidak akan membuat petunjuk mengenai cara kerja yang harus dilakukan guru. Mengingat, di lapangan petunjuk ini sering dijadikan aturan baku yang mengikat, sehingga justru berdampak membunuh kreativitas para guru.
Menurut Nadiem, standar capaian pemelajaran sudah sangat jelas di dalam Kurikulum 2013. Cara mencapai standar itulah yang dibebaskan kepada guru, agar mengembangkan pola yang sesuai dengan kondisi kelas masing-masing. Apalagi, menentukan kelulusan siswa adalah hak prerogatif sekolah. Pemastian tercapainya standar kurikulum di akhir masa sekolah sudah merupakan kewajiban guru dan kepala sekolah.
Pemerintah sudah mengganti Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, mulai 2021. Metode dan soal Ujian Sekolah juga dibebaskan, disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap sekolah, dengan syarat turut melihat portofolio perkembangan siswa.
"Tidak boleh lagi ada alasan belajar di sekolah hanya demi nilai. Belajar harus demi pengembangan potensi masing-masing, demi penguasaan literasi, numerasi, dan karakter yang baik. Cara dan kecepatannya sesuai dengan gaya setiap siswa," tutur Nadiem.
Kemendikbud, lanjut Nadiem, juga mengkaji relevansi indikator capaian per jenjang kelas. Hasil pengkajiannya, bisa tetap diterapkan, atau bisa dihilangkan dan diganti dengan standar capaian sekolah pada jenjang akhir seperti kelas VI, IX, dan XII. Namun, untuk saat ini yang terpenting adalah setiap anak bisa belajar di setiap jenjang kelas dan mengembangkan potensinya dengan baik, bukan cuma menghafal dan mengerjakan soal.
Nadiem mengutarakan merdeka belajar ini digodok dari berbagai aspek, termasuk pendidikan masyarakat. Orangtua sebagai salah satu dari tripusat pendidikan juga harus memahami konsep ini, agar sejak di rumah anak tidak ditanamkan pemikiran bahwa belajar hanya demi nilai rapor. Belajar harus untuk kompetensi nyata yang dibutuhkan anak dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan kelak profesional.
"Cara pandang yang harus diubah ialah mencurigai bahwa guru dan kepala sekolah akan berbuat curang ketika diberi otonomi. Hendaknya kita jangan meremehkan guru dan kepala sekolah. Merdeka belajar ini mengembalikan kepercayaan kepada mereka dalam menunaikan kewajibannya," ucapnya.
Konsep Larry Rosenstock
Konsep merdeka belajar ini merupakan hal yang sudah diterapkan secara global. Pada Simposium Pendidikan Dunia (WISE) 2019 yang diselenggarakan pada bulan November di Qatar, Anugerah Pendidik WISE 2019 diberikan kepada Larry Rosenstock asal Amerika Serikat yang terkenal dengan konsep kesetaraan dan kemerdekaan dalam belajar.
Ia mempercayai pendidikan sebagai penembus batas-batas sosial, ekonomi, suku bangsa, dan agama/kepercayaan selama diterapkan dengan menghormati perbedaan potensi setiap individu. Di negara asalnya ia dipercayai mengelola jaringan sekolah negeri mulai dari TK hingga zonasi dengan penerapan kemerdekaan belajar.
Sama seperti di Indonesia, para siswa di tiap-tiap sekolah masuk berbasis sistem zonasi. "Landasan utama ialah jangan menghakimi siswa ketika kita baru pertama bertemu dengan mereka. Yakini bahwa siswa selama sekolah bisa berkembang dengan baik. Oleh sebab itu, kita juga harus memercayai guru bisa memberi setiap siswa kesempatan untuk tumbuh," papar Rosenstock.
Pengawasan ketat dilakukan terhadap para guru, bukan untuk memaksa mereka berjalan di rel yang sama, tetapi memastikan setiap guru memberi pemelajaran bermutu kepada siswa. Terlepas metode yang digunakan oleh mereka.
Guru kerap menggunakan hal-hal yang diminati oleh siswa untuk belajar, misalnya musik, seni rupa, komputer, dan membuat kriya. Pelajaran secara tematis dilebur ke dalam aktivitas ini sehingga siswa tidak menyadari bahwa di saat melakukan hal yang mereka gemari sebenarnya sedang belajar banyak hal.
"Personalisasi belajar bagi tiap siswa hanya bisa tercapai apabila guru percaya diri bahwa mereka bisa mengembangkan kemampuan mengajar secara kreatif. Di sini tugas kepala sekolah dan pengawas, yaitu memberi guru sokongan untuk terus berkembang. Bukan untuk pangkat dan jabatan, tetapi kepada kepuasan mereka mendidik siswa dengan cara yang tidak terbatas pada modul," tutur Rosenstock.
Di Indonesia, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan juga mulai mengulas kembali berbagai aturan pendidikan yang ada. Salah satunya adalah Peraturan Mendikbud 22/2016 yang menekankan kepada proses belajar di kelas menjadi mutu pemelajaran yang diberikan oleh guru.