Revisi UU Perkawinan soal batas usia minimal menikah mesti diikuti dengan implementasi regulasi itu agar tidak hanya bagus di kertas. Hal itu membutuhkan sosialisasi secara masif ke masyarakat dan pemangku kebijakan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Salah satu kemajuan yang dicapai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2019 adalah berhasil merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan. Selain menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, perubahan undang-undang tersebut juga mengatur dispensasi perkawinan secara ketat.
Setelah melalui serangkaian pembahasan di Badan Legislasi DPR, pada 16 Agustus 2019, Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun pasal yang direvisi dalam UU No 1/1974 adalah Pasal 7.
Pemerintah dan DPR sepakat mengubah usia minimum menikah untuk laki-laki dan perempuan sama, yakni usia 19 tahun. Sebelum direvisi, Pasal 7 Ayat 1 UU No 1/1974 mengatur perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan mencapai umur 16 tahun.
Selain soal batas usia, revisi UU Perkawinan mengatur lebih ketat soal dispensasi dalam Pasal 7 Ayat (2). Kini, permohonan dispensasi hanya bisa kepada pengadilan dengan alasan mendesak disertai bukti pendukung. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya, permohonan dispensasi bisa juga disampaikan kepada pejabat lain yang ditunjuk orangtua pria ataupun wanita.
Perubahan UU Perkawinan juga memberikan ruang kepada calon mempelai. Jika dulu suara calon pengantin tidak pernah didengar, saat ini pengadilan wajib mendengar pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Langkah merevisi Pasal 7 UU Perkawinan merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Desember 2018 karena pasal tersebut dinilai tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki dinilai sebagai bentuk diskriminasi.
Sosialisasi harus masif
Meskipun revisi UU Perkawinan tersebut dinilai sebagai lompatan besar yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan DPR, tindak lanjut dari revisi undang-undang tersebut menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, pascarevisi UU Perkawinan, sejumlah kalangan, terutama organisasi masyarakat sipil yang bergerak untuk menghentikan perkawinan anak, berharap pemerintah segera melaksanakan sosialisasi perubahan UU Perkawinan ke semua pemangku kebijakan dan tingkatan pemerintahan.
Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin sependapat bahwa sosialisasi perubahan undang-undang tersebut harus masif sehingga masyarakat semakin menyadari bahaya dari perkawinan anak.
Upaya untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak juga lahir dari institusi penegak hukum. Beberapa bulan setelah Pasal 7 UU Perkawinan direvisi, pada 21 November 2019 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Sejak diterbitkan, pihak MA gencar menyosialisasikan perma tersebut sebagai pedoman bagi semua hakim apabila mengadili perkara dispensasi nikah.
Perubahan UU Perkawinan yang diikuti lahirnya Perma No 5/2019, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari, merupakan kemajuan. Saat ini, selain melakukan uji publik atas draf Strategi Nasional Perkawinan Anak, pemerintah juga menyusun draf Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan dan Dispensasi Perkawinan Anak.
”Artinya, proses penyusunan kebijakan nasional untuk menjamin UU No 16/2019 dapat operasional dan tengah berjalan,” katanya.
Proses penyusunan kebijakan nasional untuk menjamin UU No 16/2019 dapat operasional dan tengah berjalan.
Namun, luasnya wilayah Indonesia menghambat sosialisasi perubahan UU Perkawinan. Kendati sudah direvisi sejak Agustus lalu, informasi regulasi itu belum menjangkau semua desa, kelurahan, dan kecamatan.
”Meski ada UU No 16 /2019, masih ada camat yang menerbitkan surat dispensasi perkawinan, seperti yang dilakukan camat di Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah,” kata Dian.
Praktik perkawinan anak hingga kini marak terjadi di daerah terdampak bencana alam, seperti Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah. Sejumlah pengantin menikah pada usia 13 tahun dan 14 tahun. Karena masih anak-anak, perkawinan mereka hanya dilakukan secara adat dan agama, tetapi tidak dilakukan pencatatan.
Terkait pencegahan perkawinan anak, KPI dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan uji materi atas UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Undang-undang itu dinilai tidak sejalan dengan upaya pencegahan perkawinan anak karena Pasal 1 Angka 6 dalam UU No 8/2015 khususnya yang memuat frasa ”atau sudah/pernah kawin” mempertahankan diskriminasi terhadap anak karena status perkawinan, serta membuat ketidaksamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan.
Sosialiasi pencegahan perkawinan anak juga gencar dilakukan organisasi masyarakat sipil, baik yang bergerak di isu perempuan maupun anak. Jaringan AKSI Inklusif dan Inspiratif untuk Remaja Perempuan (Jaringan AKSI), misalnya, pada Desember 2019 menggelar Seminar dan Lokakarya Analisis Situasi Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak.
Aditya Septiansyah, Manajer Program Aliansi Remaja Independen, berharap kaum muda, terutama anak perempuan, dilibatkan secara aktif dalam setiap pembahasan dan penyusunan kebijakan, program, dan anggaran terkait pencegahan perkawinan anak. Pelibatan kaum muda jadi strategis dan substansial karena mereka lebih mengetahui kebutuhannya serta bisa memastikan tidak ada haknya yang dilanggar dan diabaikan.
Revisi UU Perkawinan soal batas usia minimal menikah memang lompatan, tetapi kuncinya adalah implementasi dari undang-undang tersebut agar jangan sampai undang-undang tersebut bagus di kertas saja.