Jumlah permohonan perlindungan korban kekerasan dan tindak pidana lainnya di LPSKmeningkat. Hal ini selain karena kemitraan LPSK dengan lembaga-lembaga layanan, juga karena kesadaran masyarakat meningkat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi persoalan besar di Tanah Air, menyusul meningkatnya permohonan perlindungan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 2019 jumlah permohonan perlindungan dari korban kekerasan seksual anak mencapai 350 atau meningkat 29 persen dari tahun 2018 yang berjumlah 271 permohonan.
Hingga 2019, jumlah pemohon perlindungan dari kasus korban kekerasan seksual yang mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencapai 507 orang (termasuk orang yang terlindung dari 2017 dan 2018). Seiring meningkatnya jumlah permohonan perlindungan dalam kasus kekerasan seksual, LPSK menemukan modus kekerasan seksual juga makin bervariasi.
Hal ini terungkap dalam “Catatan LPSK: Refleksi 2019 dan Proyeksi 2020, Harapan Saksi/Korban Menanjak vs Perhatian Negara Yang Masih Landai ” yang disampaikan di Jakarta, Selasa (7/1/2020). Catatan LPSK tersebut disampaikan secara bergantian oleh Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo bersama anggota LPSK lainnya yakni Achmadi, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istania DF Iskandar, Maneger Nasution, dan Susilaningtias.
Berdasarkan data LPSK, sebanyak 507 korban kekerasan seksual yang terlindung terdiri dari 199 perempuan dan 77 laki-laki dewasa, serta 174 anak perempuan dan 57 anak laki-laki. Adapun pemohon perlindungan paling banyak dari Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur.
“Yang sangat menyedihkan para pelaku kekerasan seksual adalah anggota keluarga korban. Salah satunya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah korban di Lampung. Pelakunya bisa ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, sepupu. Jadi ini Indonesia darurat kekerasan seksual,” kata Livia.
Yang sangat menyedihkan para pelaku kekerasan seksual adalah anggota keluarganya sendiri.
Karena itulah, pada waktu lalu LPSK juga ikut dalam tim kecil pemerintah yang menggodok Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. "Kekerasan seksual merupakan persoalan serius, kita harus bisa untuk memberikan perlindungan, apalagi jenis-jenis kasus itu sekarang sudah sangat variatif dan sangat mengerikan,” papar Livia.
Restitusi masih banyak kendala
Dalam hal pembayaran restitusi untuk korban kekerasan seksual, pada tahun 2019 dari 25 perkara dengan 61 korban penilaian restitusi mencapai sekitar Rp 3,3 miliar, namun yang dibayarkan hanya Rp 91 juta. Rendahnya pembayaran restitusi untuk korban tidak hanya di kekerasan seksual tapi juga di kasus-kasus yang seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Tantangannya antara lain karena belum ada petunjuk teknis terkait sita aset, kurangnya perhatian terhadap kemampuan pelaku dalam realisasi restitusi. Selain itu perlu kepekaan aparat penegak hukum untuk menggunakan wewenang penuntutan dengan memastikan terpidana mau berpartisipasi untuk melakukan pemulihan kepada korban melalui pembayaran restitusi.
Tantangannya antara lain karena belum ada petunjuk teknis terkait sita aset, kurangnya perhatian terhadap kemampuan pelaku dalam realisasi restitusi.
Selain kekerasan seksual, permohonan perlindungan dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga meningkat 49 persen (162 pemohon) dibandingkan tahun 2018 (109 pemohon). Di antara kasus tersebut, menurut Antonius Prijadi, terdapat kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan yang banyak terjadi di Kalimantan Barat.
“Kami mencatat terjadi kenaikan yang cukup signifikan perihal jumlah permohonan yang masuk ke LPSK. Statistik menunjukkan, jumlah permohonan perlindungan di tahun 2019 meningkat 41,54 persen dengan jumlah total mencapai 1.983 permohonan. Sedangkan tahun 2018 hanya berjumlah 1.401 permohonan,” kata Hasto.
Selain kasus kekerasan seksual dan TPPO, permohonan perlindungan dalam kasus terorisme dan tindak pidana lainnya juga meningkat. Meningkatnya permohonan selain karena kemitraan yang dibangun LPSK dengan lembaga-lembaga layanan, juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat. Di luar itu, menurut Edwin, layanan melalui saluran khusus (hotline) 148 dan aplikasi permohonan perlindungan secara daring di LPSK juga juga mempengaruhi permohonan yang masuk ke LPSK.
Anggaran turun
Kendati layanan yang diberikan atas permohonan perlindungan atas sejumlah kasus meningkat dari 3.565 layanan (2018) menjadi 9.308 layanan (2019) pada tahun 2020, anggaran LPSK justru turun dari Rp 76,6 miliar (2019) menjadi sekitar Rp 54,5 miliar (2020).
Alokasi anggaran untuk tahun 2020 merupakan terendah yang diterima LPSK dalam 5 tahun terakhir. Sejak tahun 2015 hingga 2018, anggaran LPSK berada di kisaran Rp 150 miliar hingga Rp 75 miliar.
Menghadapi kondisi tersebut, menurut Hasto, LPSK akan melakukan pendekatan kepada pemerintah dan DPR agar memberikan dukungan untuk anggaran bagi LPSK. Untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah, LPSK berencana membangun sejumlah perwakilan daerah. Pada tahun 2020, LPSK akan membuka kantor perwakilan dan siap beroperasi di Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Yogyakarta.