Menteri Nadiem Undang Swasta Lebih Banyak Berkontribusi di Sektor Pendidikan
Kontribusi pihak swasta dalam memajukan pendidikan bukan lagi sebagai tanggung jawab sosial. Namun, kontribusi ini adalah investasi penting bagi sektor usaha untuk menyerap sumber daya manusia unggul.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem mendorong kontribusi pihak swasta dalam memajukan pendidikan. Hal itu merupakan investasi demi menjaga eksistensi perusahaan di masa mendatang.
”Bagi perusahaan, sektor pendidikan bukan sasaran corporate social responsibility (CSR), tetapi merupakan investasi,” kata Nadiem saat menghadiri Seminar Ilmiah dan Science Fair Karya Ilmiah dan Inovasi Guru serta Siswa Binaan Yayasan Pendidikan Astra-Michael D Ruslim di Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Jika perusahaan tidak mau berinvestasi dalam memajukan pendidikan, menurut Nadiem, bukan tidak mungkin eksistensi mereka akan terancam. Ketersediaan sumber daya manusia pada masa mendatang ditentukan dengan kualitas pendidikan saat ini.
Paradigma ini sekaligus akan mengubah kebijakan pemerintah ke depan. Menurut Nadiem, kolaborasi dan kemitraan akan menjadi strategi baru dalam melakukan transformasi pendidikan. Kemitraan ini akan melibatkan organisasi masyarakat dan pihak swasta. ”Upaya akan sukses jika bukan hanya pemerintah saja yang bergerak. Sekolah, guru, masyarakat sipil, hingga perusahaan juga harus terlibat,” katanya.
Dalam lima tahun ke depan, Nadiem akan memetakan sekaligus memastikan perusahaan mana saja yang konsisten menggerakkan sistem pendidikan dalam negeri. Kontribusi mereka tidak hanya dipantau melalui pendidikan vokasi, tetapi juga pendidikan tinggi, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan anak usia dini (PAUD). ”Sebab, ini adalah masa depan kita sekaligus masa depan sektor bisnis di Indonesia,” tambahnya.
Dalam hal ini, Nadiem menyebut bahwa PT Astra International Tbk melalui YPA-MDR dapat menjadi contoh bagi perusahaan lain. YPA-MDR Astra telah melakukan pendampingan pada sekolah-sekolah yang berada di Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
”Di sana, siswa kelas VIII dan IX SMP masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Dari situ kami terjunkan guru-guru muda kami,” kata Direktur PT Astra International Paulus Bambang Widjanarko.
Menurut dia, Astra tidak sekadar ingin memberikan bantuan berupa materi, tetapi juga ingin memberikan dampak bagi dunia pendidikan. Paulus berharap, dalam lima tahun ke depan, anak-anak di Rote Barat bisa berkiprah hingga ke tingkat nasional. ”Kami bersemangat karena masih terdapat banyak ketimpangan di negeri ini. Masih banyak yang belum mendapatkan sekolah atau guru yang mumpuni,” katanya.
Nadiem menyarankan agar pembenahan pendidikan yang dilakukan di Rote Barat tidak sekadar menyasar sekolah. Komunitas di sekitarnya juga dinilai penting untuk diajak berubah. Nadiem khawatir, tanpa mengubah paradigma keluarga dan kelompok masyarakat, perubahan pendidikan di sekolah akan sia-sia.
”Saat sekolah mau berubah bisa jadi akan ketarik kembali. Dalam kecamatan seperti Rote Barat, hal itu penting karena akan saling berbenturan dengan sekolah lain,” katanya.
Keberagaman
Dalam kesempatan tersebut, Nadiem turut memaparkan tentang program merdeka belajar pada pendidikan dasar dan menengah yang telah ia canangkan. Sudah saatnya menerapkan prinsip keberagaman dalam transformasi sekolah.
”Tidak ada satu cara, resep, dan proses terbaik bagi setiap daerah, budaya, unit untuk memajukan sekolahnya. Keseragaman sama sekali tidak menghasilkan kualitas yang kita harapkan meski sudah dicoba bertahun-tahun,” katanya.
Nadiem beranggapan, kualitas pendidikan yang baik hanya bisa ditentukan oleh hubungan antara guru dan siswa di kelas serta hubungan guru dan guru antarsekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah yang memiliki budaya pembelajaran yang baik dan inovatif. ”Guru harus bisa menginterpretasikan apa yang ada di silabus dengan kondisi yang dihadapi di kelasnya masing-masing,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Gogot Suharwoto mengatakan, saat ini masih terjadi kesenjangan kompetensi guru di Indonesia, khususnya terkait teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dari sebanyak 28.864 guru yang diseleksi Duta Rumah Belajar pada 2019, hanya sekitar 46 persen yang terliterasi TIK.
Kesenjangan ini terjadi antara lain karena kondisi geografis yang beragam di Indonesia sehingga sumber belajar antarwilayah belum merata. ”Yang mampu membuat konten jumlahnya di bawah 16 persen. Kami berharap satu guru bisa membuat satu konten,” katanya.