Keluhan para kepala sekolah terhadap ketidakhadiran guru di sekolah semakin meningkat. Program pelatihan dan pengawasan kepada para guru akan ditingkatkan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluhan para kepala sekolah terhadap ketidakhadiran guru di sekolah semakin meningkat. Program pelatihan dan pengawasan kepada para guru akan ditingkatkan demi peningkatan kompetensi siswa.
Senior Education Specialist Bank Dunia Javier Luque melakukan analisis terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Ia menggunakan populasi sekolah yang terlibat dalam Programme for International School Assessment (PISA) 2018 dan PISA 2015.
Salah satu yang ia amati adalah kiprah para guru pada jenjang SMP, SMA, dan SMK di Indonesia. Analisis Javier menunjukkan, pada 2018 keluhan para kepala sekolah terhadap tingkat ketidakhadiran guru di sekolah relatif meningkat dibandingkan 2015.
”Keluhan dari kepala sekolah kepada para guru di SMK dan SMA meningkat,” kata Javier di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Pada 2015, kepala sekolah SMK mengeluhkan ketidakhadiran guru yang hampir mencapai 10 persen. Pada 2018 ini, keluhan tersebut mendekati angka 14 persen. Peningkatan yang sama juga terjadi di SMA, yakni dari sekitar 3 persen pada 2015, sedangkan pada 2018 menjadi 6 persen.
Hal sebaliknya terjadi di jenjang SMP. Keluhan kepala sekolah terhadap ketidakhadiran guru menurun tipis menjadi lebih dari 4 persen pada 2018. Adapun pada 2015 ada sekitar 5 persen kepala sekolah yang mengeluhkan ketidakhadiran guru.
Javier juga memaparkan tingkat keluhan kepala sekolah terhadap kesiapan guru saat mengajar di kelas. Keluhan dari kepala sekolah SMK pada 2015 tidak lebih dari 15 persen, sedangkan pada 2018 nilainya hampir mencapai 25 persen. Di SMA, keluhan pada 2015 tidak lebih dari 3 persen, sedangkan pada 2018 mencapai sekitar 6 persen.
”Keluhan dari para sekolah ini tentu sangat subyektif. Tetapi, yang ditanyakan kepada mereka pada 2015 dan 2018 adalah hal yang sama,” katanya.
Sementara itu, jumlah guru bersertifikat pada 2015 juga menurun dibandingkan 2018. Pada 2015, guru bersertifikat di SMK lebih kurang sebanyak 52 persen. Pada 2018, jumlahnya hanya sekitar 39 persen. Untuk SMA, jumlahnya juga menurun dari sekitar 70 persen menjadi 60 persen.
Penurunan juga terjadi pada guru SMP. Jumlah guru bersertifikat pada 2015 berjumlah sekitar 70 persen. Pada 2018, jumlahnya kurang dari 60 persen. ”Dalam hal ini mungkin saja ada banyak guru yang pensiun dalam tiga tahun terakhir, sedangkan penggantinya belum tersertifikasi,” ungkapnya.
Mungkin saja ada banyak guru yang pensiun dalam tiga tahun terakhir, sedangkan penggantinya belum tersertifikasi.
Selain pada guru, Javier juga menganalisis tingkah laku para siswa SMP, SMA, dan SMK di Indonesia. Bagi jenjang SMP, indeks siswa yang membolos pada 2018 menurun menjadi sekitar 0,2. Pada 2015, indeksnya mencapai 0,3. Hal yang sama juga terjadi di SMA. Indeks siswa membolos mereka turun dari 0,25 menjadi di bawah 0,1.
Sementara itu, untuk jenjang SMK, indeks siswa membolos naik drastis menjadi 0,5. Padahal, tiga tahun sebelumnya, indeks siswa membolos siswa SMK tidak berbeda jauh dengan siswa SMP ataupun SMA, yakni kurang dari 0,3.
Digali lebih dalam
Peneliti Pusat Asesmen dan Pembelajaran Badan Badan Pengembangan dan Penelitian dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Rahmawati, mengatakan, selama ini program-program pelatihan guru dari pemerintah kerap dilakukan. Meski begitu, target sebenarnya dari program ini adalah siswa.
Untuk itu, keberhasilan dari program harus diukur secara jelas. Sebelum mendapatkan program, guru akan diberikan pre-tes untuk melihat kemampuan awal. Untuk melihat perubahannya, perlu dipastikan bahwa pembelajaran guru berjalan secara transparan agar bisa terpantau oleh guru lain.
”Di Shanghai, nilai siswa bisa maksimal karena kelas di sana sengaja dipasang CCTV untuk merekam aktivitas guru,” katanya.
Melalui CCTV tersebut, pengawas dan guru lain bisa menonton aktivitas guru dengan leluasa. Di akhir pembelajaran, guru akan mendapatkan masukan, baik dari cara mengajar, materi yang diajarkan, mobilitas di dalam kelas, maupun atensi kepada siswa.
Pada 2007 -2011, Kemendikbud dan Bank Dunia pernah melakukan pengamatan pembelajaran menggunakan video. Ada beberapa sekolah yang sengaja direkam dalam pembelajaran Matematika dengan pemberitahuan resmi sebelumnya.
”Tujuannya adalah membentuk budaya agar kelas bisa dimonitor bersama-sama. Ada juga program yang melibatkan monitoring dari orangtua,” kata Rahmawati.