Kekerasan Anak, Coreng Hitam Bagi Malang Kota Pendidikan
Selama ini Malang dengan bangga menyebut dirinya sebagai Kota Pendidikan. Sayangnya, belakangan, secara berturutan muncul kasus kriminal menjerat siswa usia sekolah. Tampaknya, harus ada evaluasi model pendidikan.
Selama ini Kota Malang bangga dengan predikat Kota Pendidikan. Namun, kebanggaan itu tercoreng kasus-kasus kriminal yang menjerat siswa akhir-akhir ini. Bisa jadi ada yang keliru pada model pendidikan dan pola pengasuhan anak sehingga perlu dievaluasi.
Publik baru saja dihebohkan kasus ZA, pelajar SMA, yang divonis bersalah karena terbukti menganiaya begal hingga tewas di Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Saat berita itu masih hangat, awal Februari 2020 ini, publik kembali dikejutkan oleh kasus kekerasan yang menjerat siswa.
Kali ini, MS (13), siswa SMP di Kota Malang, diduga menjadi korban perundungan oleh sejumlah temannya saat di sekolah. Semula pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Malang mengelak ada tindakan perundungan itu. Namun, bukti fisik yang diderita korban, oleh polisi diindikasikan akibat adanya tindak kekerasan.
Selasa (4/2/2020) sore, MS dijadwalkan menjalani amputasi salah satu ruas jarinya akibat kekerasan yang diterimanya. ”Ya, sore ini MS akan menjalani amputasi jari tangannya. Kata dokter yang memeriksa, sarafnya sudah mati sehingga harus diamputasi,” kata Taufik (47), paman MS.
Hingga saat ini, pihak keluarga MS belum melaporkan pelaku ke polisi. Pertimbangannya, lebih memprioritaskan pemulihan kesehatan ataupun kondisi psikis MS. ”Dia harus bisa menerima kondisinya setelah amputasi serta menerima kenyataan bahwa ke depan harus hidup dengan bayangan kasus yang menimpanya. Adapun untuk pelaku, keluarga kami ingin agar mereka mendapatkan efek jera sehingga hal seperti ini tidak terulang lagi. Cukup keponakan saya saja,” kata Taufik.
MS mengalami perundungan pada Januari 2019. Ia sama sekali tidak memberi tahu keluarganya mengenai perundungan itu. Keluarga curiga saat kemudian mereka mendapati MS sakit dan akhirnya dirawat di rumah sakit lebih dari 12 hari. Beberapa waktu setelah perundungan, muncul sejumlah lebam di badannya. Tak lama kemudian kasus yang menimpa MS pun viral di media massa.
Polres Malang Kota pun lantas menyelidiki kasus tersebut. Sejumlah pihak diperiksa, termasuk terduga perundungan. Wali Kota Malang Sutiaji menaruh perhatian atas kasus itu. Ia mengaku, kasus tersebut mencoreng dunia pendidikan di Kota Malang. Ia berharap semua pihak melakukan evaluasi dan introspeksi diri untuk mencegah kasus tersebut terulang.
”Saya menginstruksikan kepala sekolah untuk segera mengumpulkan wali murid, dalam rangka memberi pembinaan secara intensif agar anak-anak tidak guyon yang kebablasan seperti kali ini,” katanya. Pihaknya melalui Dinas Pendidikan Malang juga terus memantau pemulihan kesehatan ataupun psikis korban di rumah sakit.
Selama ini, Pemkot Malang memberlakukan kebijakan agar siswa mematikan telepon seluler dan televisi pada pukul 18.00-20.00. Pada jam itu, orangtua diharapkan bisa mendampingi anak-anaknya belajar, termasuk mengintensifkan komunikasi antara orangtua dan anak, guna mengetahui persoalan yang dihadapi anak. Namun, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini memang belum terukur.
Evaluasi
Kasus kekerasan yang melibatkan anak juga disorot oleh DPRD Malang. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang I Made Rian Diana Kartika menyatakan keprihatinan atas kasus kekerasan yang terjadi hampir tiap tahun. ”Kami membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap kasus itu. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas Pendidikan,” katanya.
Evaluasi menyeluruh, sebagaimana diinisiasi DPRD Malang, diperlukan untuk mengungkap kenapa kasus-kasus kekerasan di sekolah terus berulang. Apakah pelaku memang selama ini murni pelaku atau mereka sebenarnya juga bagian dari korban? Perundungan bisa ditelisik lebih dalam menurut teori defense mechanism atau mekanisme pertahanan ala Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis.
Menurut Freud, setiap manusia memiliki proses pertahanan diri untuk melindungi diri dari ancaman. Ada beberapa mekanisme pertahanan diri, yaitu represi (menekan pemikiran agar tidak sampai merasa cemas), denial (penolakan), proyeksi, rasionalisasi, intelektualisasi, pembentukan reaksi, identifikasi (introyeksi), regresi (kemunduran), fiksasi, dan displacement atau pengalihan.
Jika para pelaku perundungan pernah menjadi korban perundungan atau kekerasan, bukan tidak mungkin, sebagaimana teori Freud, mereka akan mempertahankan diri dengan melakukan pengalihan ancaman atau rasa sakit atau penderitaan kepada orang lain. Mereka pun bisa terikat secara emosional pada seseorang atau kelompok untuk menghilangkan kecemasannya. Di sini, maka akan terbentuk sekelompok perundung.
”Mereka yang mengalami hal yang sama, seperti pernah jadi korban, memiliki perasaan iri dan emosional sama atas sesuatu, bisa saja berkumpul menjadi satu kelompok. Dan orang dalam kerangka kelompok memang cenderung merasa kuat dan cenderung menunjukkan eksistensinya, termasuk dengan merundung,” kata sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari.
Kecenderungan perundungan, menurut Luluk, bisa terjadi karena faktor internal individu, keluarga, kelompok bermain, lingkungan komunitas, dan lainnya. Bahkan faktor dunia digital dengan kebebasan yang luar biasa seperti sekarang ini, sangat membentuk watak dan emosional anak.
”Tidak jarang kita saksikan, semakin lengketnya anak dengan gawai, maka dia akan semakin cuek dan tidak peduli pada sekitar serta cenderung membantah. Perundungan salah satunya terjadi juga karena pengaruh tontonan atau mainan dalam gawai,” kata Luluk.
Dalam sebuah aplikasi medsos, misalnya, seseorang bisa bebas berekspresi apa pun tanpa peduli orang lain. ”Orang mau marah, memaki, atau bersikap tidak baik pun dianggap wajar dan justru dianggap hiburan. Sehingga, ketika hal itu diterapkan di dunia nyata, terhadap temannya, mereka merasa tidak bersalah.
Padahal, tidak semua orang atau anak punya karakter siap dengan candaan atau guyonan atau makian yang kita buat,” imbuh Luluk. Untuk menghentikan perundungan, menurut Luluk, yang diperlukan adalah membuat orang atau anak paham bahwa berbuat tidak baik bisa berakibat sanksi hukum. ”Peran sekolah, orang tua, dan polisi sangat diperlukan di sini,” katanya.
Empati
Pakar pendidikan dari UMM, Fauzan, mengatakan, perundungan dan kekerasan pada anak menunjukkan kemampuan sosial (sense of sosial) anak kurang. ”Si anak itu tidak memiliki empati, bahkan simpati saja tidak. Biasanya anak yang begitu, resistensinya tinggi jika melihat ada yang dianggap tidak menguntungkan dia, misal anak lebih pintar, lebih disukai, lebih baik, dan seterusnya. Dan itu bisa memicu perundungan,” kata Fauzan.
Oleh karena itu, menurut Fauzan, nilai-nilai simpati dan empati perlu segera ditanamkan di kalangan siswa saat di sekolah. Pembentukan kepribadian, menanamkan simpati dan empati, tidak bisa dicantolkan ke mata pelajaran. Namun, tetap harus ada gerakan di sekolah yang mengarahkan bagaimana mendidik anak agar memiliki empati atau simpati.
”Keterlibatan keluarga, orangtua, jadi kunci sukses pembentukan kepribadian ini. Bentuknya adalah contoh langsung, bukan pelajaran teori atau pemelajaran formalistik. Harus masuk pada wilayah implementatif,” katanya. Kasus kekerasan terhadap anak yang terus terulang di Malang menjadi alarm atas perlunya evaluasi pola pendidikan dan pengasuhan terhadap siswa.
Pembentukan kepribadian, berikut kemampuan sosial siswa, membutuhkan peran, kepedulian, serta teladan dari berbagai pihak. Harapannya, bukan hanya citra Malang sebagai ”Kota Pendidikan” bisa menjadi lebih baik, tetapi lebih dari itu, siswa bisa tumbuh berkembang tanpa harus mengalami kekerasan ataupun perundungan.