Revitalisasi Taman Ismail Marzuki Jadi Pijakan Awal Majukan Seni
Di kalangan seniman, perbedaan pendapat dan sikap adalah hal lumrah. Dialog berkelanjutan diperlukan untuk menyatukan visi bersama.
JAKARTA, KOMPAS — Di kalangan seniman biasa terjadi perbedaan pendapat dan sikap, termasuk revitalisasi Taman Ismail Marzuki. Terlepas isu itu, upaya memajukan program dan ruang karya seni untuk DKI Jakarta juga menjadi diskusi yang tidak dapat diabaikan.
Sastrawan Radhar Panca Dahana, saat ditemui, di Jakarta Selatan, Selasa (11/2/2020), mengemukakan, di antara seniman, baik secara individu maupun kelompok memiliki beda pandangan. Hal ini sudah biasa. Bahkan, pada puluhan tahun lalu, muncul seniman-seniman memiliki haluan politik atau mengikuti kelembagaan tertentu, baik secara formal maupun tidak.
Menyikapi revitalisasi TIM beserta polemik beda pandangan yang hingga kini masih mencuat, salah satunya melalui tagar #saveTIM, Radhar berpendapat, kelompok yang tergabung di #saveTIM adalah seniman yang sebenarnya ingin diajak bicara. Di dalam kompleks TIM memang ada beberapa pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya kelompok seniman yang selama ini telah menghidupi TIM.
Jika tetap bersikeras membentuk forum untuk memfasilitasi beda pandangan tersebut, dia memandang, barangkali Gubernur DKI Jakarta yang mungkin dapat melakukannya. Namun, itu pun akan dirasa sukar lantaran ada potensi bias kepentingan.
Setiap seniman, baik individu maupun kelompok, memang memiliki pandangan berbeda-beda. Realitas ini semestinya tidak perlu dikhawatirkan.
”Kalaupun bisa disatukan dalam satu forum, itu pun ketika mereka (seniman) sedang membahas karya seni tertentu,” ujarnya.
Aktor senior sekaligus pendiri Teater Tanah Air, Jose Rizal Manua, saat ditemui di kompleks TIM, juga mempunyai menyampaikan hal senada. Setiap seniman, baik individu maupun kelompok, memang memiliki pandangan berbeda-beda. Realitas ini semestinya tidak perlu dikhawatirkan.
Dalam konteks revitalisasi TIM, dia berpendapat, adanya forum untuk memfasilitasi aneka pandangan berbeda seniman akan menghadapi situasi yang sulit.
Revitalisasi gedung-gedung di kompleks TIM yang sekarang berjalan seharusnya didukung agar terus berlangsung. Meski demikian, dia akui ada kegiatan berkesenian budaya yang tadinya mengandalkan ruang-ruang di kompleks TIM harus mencari ke luar.
Baca juga: Seniman Belum Satu Suara Terkait Revitalisasi Taman Ismail Marzuki
Sebagai seniman yang sudah berkarya di TIM sejak 1972, dia mengaku beberapa kali mengalami masa pembangunan ataupun pembenahan gedung-gedung di kompleks TIM, seperti kebocoran dan runtuhnya balkon di dalam Graha Bhakti Budaya. Berdasarkan pengamatannya, Jose menyebut, rencana revitalisasi sebenarnya sudah didengungkan pemerintah provinsi, bahkan sebelum DKI Jakarta dipimpin Gubernur Anies Baswedan.
Perbaiki dialog
Penulis sekaligus Rektor Institut Kesenian Jakarta, Gumira Ajidarma, saat dihubungi terpisah, pun menekankan perbedaan pandangan yang terjadi di kalangan seniman. Menurut dia, hal itu lumrah dan tidak perlu dipermasalahkan.
Ketika ditanya pandangan mengenai revitalisasi TIM, menurut dia, hal yang seharusnya ditekankan adalah ada tidaknya prosedur dialog kebutuhan pemakaian TIM kepada para penggunanya. Lomba desain yang dilakukan tahun 2007, Seno memandang, lebih cenderung terlihat mengedepankan sisi arsitektur yang spektakuler.
”Desain pemenang lomba memang bagus, tetapi ketika akan direalisasikan, prosedur dialognya tidak seperti era Gubernur Ali Sadikin ketika akan membangun TIM dan konsultannya semua seniman. Prosedur berdialog dengan pengguna sebatas forum diskusi group yang cenderung bukan mengeksplorasi secara tuntas kebutuhan seni saat ini,” katanya.
Mengenai siapa paling berhak mewakili seniman dalam proses revitalisasi TIM, dia berpendapat, hal yang paling tidak menarik adalah mengandalkan pengerahan massa. Itu pun tidak berhubungan langsung dengan kreativitas ataupun kualitas kesenian.
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Danton Sihombing, yang dihubungi terpisah, memandang perlunya pemahaman bersama terlebih dahulu bahwa wilayah pembangunan dan pengelolaan TIM adalah dua hal yang berbeda, di samping itu juga perlu ditinjau keberadaan TIM sebagai aset Pemprov DKI.
Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 yang memberi penugasan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk revitalisasi TIM memuat dua hal penting yang harus dicermati bersama. Pertama, bab tentang pengelolaan dan perawatan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, bab mengenai penguasaan aset dan kajian pengelolaan pusat kesenian Jakarta TIM yang terlebih dahulu akan dikoordinasikan dengan satuan kerja perangkat daerah terkait.
”Penafsiran terhadap dua hal tersebut sebaiknya dibantu para ahli hukum sebab peraturan gubernur adalah produk hukum,” ujarnya.
Menurut Danton, forum yang memfasilitasi beda pandangan seharusnya bisa dilaksanakan asalkan permasalahan hulu, seperti tafsir terhadap Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019, politik anggaran DKI Jakarta, serta sejarah dan visi masa depan TIM, sudah dipahami bersama.
Ekosistem seni
Terkait perkembangan karya seni beserta ruang-ruang untuk memfasilitasinya, Seno memandang kondisinya baik-baik saja. Beberapa di antaranya juga terus tumbuh positif, contohnya Festival Tari Indonesia (Indonesian Dance Festival).
Ketua Komite Film dan Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DKJ Hikmat Darmawan mengakui bahwa di kalangan seniman, baik secara individu maupun kelompok, mempunyai sikap berbeda-beda terhadap revitalisasi TIM. Hal yang amat disayangkan adalah ada sebagian memiliki pandangan berbeda, tetapi mengatasnamakan semua.
Dia menekankan, daripada semata-mata berkutat pada perbedaan pandangan antarseniman, hal yang semestinya mendesak dilakukan adalah pendalaman sejauh mana pertumbuhan ekosistem seni di DKI Jakarta. Memajukan setiap bagian ekosistem secara menyeluruh pun dirasa amat penting.
”Di luar TIM, sudah banyak ruang berkarya yang berdiri di DKI Jakarta, seperti Ciputra Artpreneur, Galeri Salihara, dan fasilitas ruang teater tertutup di Taman Mini Indonesia Indah. Saya rasa, TIM sekarang bukan menjadi satu-satunya barometer atau tempat utama untuk berkarya,” kata Jose. Dia pun mengaku akan mementaskan satu judul pertunjukan teater di luar TIM dalam waktu dekat dan masuk kampung.
Sementara itu, Radhar mengatakan, proses kreatif berkesenian lahir mulai dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan, sampai kotamadya. Misalnya, gelanggang remaja dan balai rakyat. Kantong-kantong budaya seperti itu seharusnya terus didorong maju. Pemerintah setempat semestinya menaruh perhatian tinggi terhadap infrastruktur beserta peralatan fisiknya.
”Pembangunan kebudayaan itu juga investasi yang hasilnya tidak bisa diukur jangka pendek,” ujarnya.
Selain itu, hal yang tak kalah penting untuk dilakukan segera, kata Radhar, adalah perbaikan kelembagaan di ruang atau prasarana untuk berkarya. Kalaupun pengelolaannya bukan oleh seniman, maka profesionalitas tenaga kerja yang ditunjuk harus dipastikan. Seseorang itu juga harus lulus tes uji kepatuhan dan kelayakan.