Pemahaman tentang Perdagangan Orang Masih Lemah, Perempuan Jadi Korban
Penggerebekan prostitusi daring di Padang, Sumatera Barat, oleh anggota DPR, Andre Rosiade, bersama polisi dinilai kurang tepat dari sisi pemberantasan perdagangan orang. Perempuan korban perdagangan orang dikriminalkan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengungkapan kasus prostitusi daring di Padang, Sumatera Barat, terus menuai protes dari berbagai kalangan. Keikutsertaan anggota DPR, Andre Rosiade, dalam penggerebekan N, seorang perempuan yang dilacurkan, dengan menggunakan dalil moral dan pemberantasan prostitusi dinilai tidak tepat dari sisi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Peran Kepolisian Negara RI juga disoroti.
”(Penggerebekan) ini menandakan lemahnya pemahaman tentang penegakan hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kepatuhan pada institusi kepolisian dalam menegakkan Peraturan Kepala Polri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana,” ujar Dinna Wisnu, akademisi dan praktisi kebijakan publik, kepada pers di Jakarta, Jumat (14/2/2020), seusai Jaringan Peduli Pemberantasan TPPO bertemu dengan Ombudsman RI (ORI).
Selain Dinna, yang juga pernah menjadi Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights tahun 2016-2018, hadir juga beberapa aktivis perempuan. Mereka adalah Yuyum Fhahni Paryani (Wakil Indonesia untuk ASEAN Commission the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children), Anis Hidayah (Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care), Ai Maryati Solihah (anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan Andy Ardian (ECPAT Indonesia). Para aktivis menyampaikan keprihatinan atas lemahnya penanganan dan pembongkaran praktik perdagangan orang di Indonesia. Mereka didampingi anggota ORI, Ninik Rahayu.
Sebagaimana diberitakan, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, bersama polisi menggerebek N, perempuan yang dilacurkan, dan AS (24), mucikari, di salah satu hotel di Padang. Penggerebekan prostitusi daring (online) di Padang, Minggu lalu, sempat viral di media sosial.
Menurut telaah Jaringan Peduli Pemberantasan TPPO, tindakan Andre kurang memperhitungkan indikasi kekejian TPPO sesuai UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO, UU No 12/2017 tentang Pengesahan Konvensi ASEAN yang Menentang TPPO, Khususnya Perempuan dan Anak, serta UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Disriminasi terhadap Perempuan. Karena itu, Mahkamah Kehormatan Dewan DPR diminta memberikan sanksi berat atas pelanggaran peraturan TPPO yang dilakukan Andre. Langkah politisi Partai Gerindra itu dinilai tidak terkait dengan tugasnya di DPR, di Komisi VI.
Para aktivis perempuan juga mempertanyakan peran Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP-TPPO) yang diketuai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang dinilai lamban menangani kasus yang terindikasi TPPO. ”Sejak kasus ini ramai dibicarakan publik, tidak ada satu pun pernyataan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan pemulihan dan pendampingan terhadap N, serta melakukan pengawalan penanganan kasus TPPO, baik terkait modusnya maupun penanganan korban, khususnya kriminalisasi perempuan manakala terjadi eksploitasi seksual,” kata Dinna.
Karena itulah Jaringan Peduli Pemberantasan TPPO mendesak agar segera dilakukan monitoring serta evaluasi sistematis dan menyeluruh oleh ORI untuk menemukan malaadministrasi atas kinerja Gugus Tugas PP-TPPO dalam penanganan kekejian TPPO, terutama kinerja kepolisian atas kasus N di Padang.
Selain itu, Gugus Tugas PP-TPPO juga harus secepatnya menjelaskan kepada publik tentang strategi pemberantasan TPPO, terkait koreksi atas pandangan yang keliru terhadap fenomena pekerja seksual di Indonesia. Sosok N sebenarnya merupakan korban TPPO. Para aktivis perempuan juga menyayangkan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono yang mengimbau masyarakat untuk mengikuti jejak Andre saat menemukan indikasi pelaku tindak pidana.
Pada kesempatan tersebut, Yuyum mengatakan, perempuan dan anak yang dilacurkan adalah salah satu wujud kemiskinan struktural dan kejahatan sistematis, baik di dalam negeri maupun lintas negara. Situasi tersebut membuat perempuan dan anak-anak rentan dikelabui, dibujuk, dipaksa dan terpaksa, ataupun atas kesadaran dan kerelaannya melakukan kegiatan menjual seks.
Dari kasus-kasus yang ditangani selama ini, perempuan dan anak-anak dijebak/terjebak oleh jaringan kejahatan demi eksploitasi seksual. Artinya, perempuan dan anak-anak ini terjebak dalam jaringan kejahatan kemanusiaan yang keji dan bukannya menjajakan diri, apalagi mengatur penjajaan dirinya. Karena itulah kejahatan TPPO masuk dalam kategori kejahatan berat kemanusiaan.
Anis berharap kasus N di Padang menjadi momentum semua pihak, terutama Gugus Tugas PP-TPPO, untuk segera merumuskan peran dan tugasnya. ”Bagaimana negara ini lebih serius mencegah, menangani, dan menegakkan kasus-kasus TPPO di Indonesia. Ini juga menjadi momentum agar restitusi yang sudah dibahas dua tahun terakhir di Mahkamah Agung segera selesai. Sebab, ini menjadi penghambat utama kenapa restitusi tidak pernah sampai kepada korban karena selalu alasannya pelaku tidak punya harta,” tutur Anis.
Ninik menegaskan ORI segera membawa masalah tersebut dalam rapat pleno untuk mengambil keputusan. Ia menilai perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan seperti TPPO karena diskriminasi jender yang dialaminya di berbagai bidang. Melalui kasus ini, Gugus Tugas PP-TPPO didorong segera tampil menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
”Orang dengan mudah mengatasnamakan moral, (tetapi) perempuanlah yang dikorbankan. Banyak pihak yang harus terlihat dalam konteks pemberantasan TPPO, kenapa justru harus perempuan yang dikriminalkan,” tegas Ninik.